Budaya Tahu Malu
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Banyak orang kepingin masuk TV. Melihat tampang sendiri dalam foto-foto saja sudah membuat senang, apalagi melihat penampilan di layar TV. Siapa yang tidak bangga dikenal oleh jutaan penonton di mana-mana? Akan tidak demikian halnya bagi para pelaku korupsi. Penayangan wajah mereka di TV adalah untuk membuat malu. Bahkan keluarganya tentu ikut menjadi malu. Maka gagasan menayangkan wajah koruptor dianggap baik sebagai upaya untuk menumbuhkan sanksi sosial dan sanksi moral bagi orang-orang yang telah merugikan negara.
Tahu malu atau hiri merupakan salah satu dari keadaan atau bentuk batin (cetasika), yang tergolong elok. Bentuk batin ini biasanya berpasangan dengan takut salah atau ottappa. Bentuk batin lain yang baik di antaranya: keyakinan, kesadaran, keseimbangan, ketulusan, belas kasihan, simpati, kebijaksanaan. Bentuk batin yang buruk antara lain: tidak tahu malu, tidak takut salah, ketamakan, kesombongan, kebencian, keirihatian, keakuan, kemalasan. Bentuk batin yang dapat bersekutu dengan semua pikiran yang baik atau buruk antara lain: kehendak, perhatian, kegiuran.
Menurut kitab Abhidhammattha Sangaha terdapat 25 macam bentuk batin yang baik (sobhana-cetasika), 14 macam yang buruk (akusala-cetasika) dan 13 macam yang dapat bersekutu dengan semua pikiran, apakah itu yang baik atau pun yang buruk (annasamana-cetasika). Bentuk batin yang baik lebih banyak jenisnya daripada yang buruk. Namun mengembangkan yang baik ternyata bukan hal yang mudah. “Hidup itu mudah bagi orang yang tidak tahu malu, yang berani nekad seperti burung gagak berlagak pahlawan, suka memfitnah, tidak tahu sopan santun, pongah, dan menjalankan cara hidup yang kotor. Hidup itu sukar bagi orang yang tahu malu, yang senantiasa mengejar kesucian, yang tidak memiliki pamrih, rendah hati, menjalankan cara hidup yang bersih, dan memiliki pandangan terang.”[1]
Hiri mengingatkan pada siri dalam adat salah satu suku bangsa Indonesia. Adanya siri membuat seseorang tidak mau dipermalukan. Manusia memiliki harga diri yang harus dipertahankan. Sebagaimana siri, malu yang dimaksudkan pada hiri pun bukanlah perasaan dari orang yang pemalu, yang dianggap sebagai suatu bentuk kelemahan. Hiri membuat orang merasa malu kalau melakukan kesalahan dan membuatnya tidak sampai hati untuk merugikan makhluk lain. Dengan memiliki rasa malu untuk berbuat jahat, manusia mengendalikan diri dan selalu waspada seperti seekor kuda yang terlatih baik akan menghindari cemeti. Rasa malu juga timbul apabila seseorang tidak melaksanakan kewajibannya atau tidak melakukan suatu kebaikan. Orang yang tidak memiliki hiri, tidak malu untuk berbuat salah dan mudah melakukan kejahatan tanpa rasa menyesal barang sedikit pun.
Banyak orang yang malu karena kekurangannya, misal tidak cantik, miskin, bodoh atau cacat. Belum tentu ia pemalu. Supaya lebih cantik, orang memoles mukanya dan mengganduli tubuhnya dengan bermacam-macam perhiasan. Supaya tidak ketahuan miskin, orang lebih senang memilih kurang makan dan mendahulukan pakaian yang tak kalah gaya dari orang-orang yang hidup berkecukupan. Ia perlu membual bahkan berdusta, tidak segan menipu, mencuri, dan korupsi supaya bisa berlagak menjadi orang kaya. Sabda Buddha, “’Orang bodoh yang mengetahui kebodohannya, sebenarnya dapat dikatakan bijaksana. Tetapi orang bodoh yang menganggap dirinya bijaksana itulah yang sungguh-sungguh bodoh.”[2] Orang tidak perlu malu karena menyadari kebodohannya. Kesadaran itu harus mendorongnya untuk belajar lebih banyak atau lebih giat. Demikian pula orang tidak perlu malu karena miskin, cacat, atau kurang cantik, tetapi ia harus memiliki rasa malu dan hina kalau berbuat jahat. Malu berbuat jahat ini yang dimaksudkan dengan hiri.
Hiri berhubungan erat dengan ottappa. Takut salah yang dimaksudkan dengan ottappa adalah perasaan takut yang timbul karena tahu apa akibat yang akan terjadi. Tanpa ottappa orang akan berani melakukan kejahatan sehingga akibatnya kemudian ia akan jatuh dalam penderitaan. Orang yang tidak memiliki ottappadibandingkan seperti seekor laron yang terbang menuju api. Makhluk yang tahu bahwa api itu berbahaya, ia akan takut untuk menyentuhnya. Tidak demikian halnya dengan laron yang tertarik oleh api, sehingga maut pun menunggunya. Takut pada ottappa jelas bukanlah perasaan yang ditemukan pada seorang pengecut. Ottappa sebagai rasa takut berbuat jahat justru merupakan keberanian untuk mempertahankan kebenaran atau kesucian.
Hiri tumbuh dari hati nurani dalam diri seseorang (attadhipati), sedangkan ottappa datang dari pengalaman menghadapi dunia luar (lokadhipati). Hiri dipengaruhi oleh harga diri yang secara subyektif menyangkut keturunan, perkembangan usia, norma, dan pendidikan. Ottappa dipengaruhi oleh kesan yang mendalam dari perlakuan masyarakat, teguran, hukuman, dan penderitaan yang dialami atau dibayangkan oleh seseorang. Pengaruh semacam ini menunjukkan bahwa budaya tahu malu dan takut melakukan kejahatan dapat dikembangkan oleh masyarakat.
13 Desember 1989
[2] Dhammapada 63