Buddha Hidup (Korea)
- By admin
- June 4, 2022
- Aneka Cerita dari Dunia Timur
Seorang pencuri melarikan diri ke lereng pegunungan. Ia tiba di pertapaan. Ia tiba di pertapaan seorang rahib. Rahib itu sedang duduk bersila dan membaca mantera. Pencuri yang selalu ketakutan itu memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sunyi, tiada tanda-tanda ada orang lainnya. Ia merasa tenang dan aman. Ditunggunya rahib itu sampai selesai berdoa. Dan mereka bertegur sapa.
Rahib itu sudah lama mengasingkan diri. Tetapi ia gembira bertemu dengan sesama manusia di tempat itu. Ia membacakan ayat-ayat suci dan memberkahi tamunya. Pencuri itu terpengaruh lalu ia bertobat di hadapan rahib yang agaknya amat baik hati. Kemudian mereka pun bersahabat.
“Sahabat Rahib,” pencuri itu berkata, “Apa sebabnya engkau berada di pegunungan yang sunyi ini?”
“Aku ingin menjadi Buddha hidup, karenanya harus menjalani tapa di tempat yang jauh dari hiruk pikuk dunia.”
“Wahai sahabatku, apakah itu Buddha hidup?”
Rahib itu menjawab, “Buddha adalah gelar dari manusia yang telah mencapai Penerangan Sempurna. Ia bebas dari segala dosa, bebas dari segala penderitaan, karena sempurna kesuciannya, sempurna kesadaran dan kebijaksanaannya. Badannya kemilau diliputi cahaya keemasan.”
“Sahabatku Rahib, aku adalah seorang pencuri yang bertobat. Aku pun sudah bosan dengan segala masalah duniawi. Apakah aku bisa menjadi Buddha Hidup juga?”
“Semua orang bisa menjadi Buddha Hidup. Tuhan yang Maha Adil memberi kesempatan yang sama kepada makhluk-Nya. Tetapi sedikit saja dari makhluk itu yang tidak menyia-nyiakan kesempatannya. Tentu saja engkau yang telah bertobat boleh kalau mau bertapa, tetapi aku sangsi apakah engkau bisa berhasil.”
Pencuri yang telah bertobat itu berpikir; “Aku sudah insyaf, dari hidup yang penuh ketakutan ingin menjalani suasana tenang dan tenteram. Apa jeleknya kalau aku ikut bertapa? Aku bisa menebus segala dosa yang pernah kulakukan.”
Semenjak hari itu di sana terdapat dua orang bertapa. Tampak dua buah gubug berdampingan di antara pohon-pohon yang rindang.
Siang berganti malam. Hari demi hari, bulan demi bulan mereka lalui. Keduanya kuat bertapa. Sampai kemudian tahun pun berganti tahun.
Tanpa disadari akhirnya telah sepuluh tahun mereka berdoa dan bersemadi. Ketika itu mereka menyadari bahwa saat Penerangan telah mendekat. Kemampuan batinnya mengisyaratkan akan adanya godaan yang membatalkan jerih payahnya.
Pada suatu malam turun hujan salju dengan lebatnya. Kedua petapa tiba-tiba mendengar tangis bayi di luar gubuk masing-masing. Suara itu semakin lama semakin mendekat. Terdengar makin tegas dan amat memilukan. Lalu terdengar ratapan seorang perempuan di antara angin salju.
“Tuan, tolonglah kami anak dan ibu. Tolongah kami.” Perempuan itu mengetuk pintu gubuk sang rahib.
Rahib itu berpikir, “Ini tentu godaan. Kalau aku bisa mempertahankan diri maka esok hari aku akan berhasil menjadi Buddha Hidup.” Ia tetapi duduk bersila tidak mempedulikan orang yang meratap minta tolong itu dari hujan salju.” Bersamaan dengan suara itu, pintu gubuk sang rahib terbuka didorong dari luar. Terkejut sekali rahib itu. Ia bangkit dan tergopoh-gopoh mendorong tamu yang tak diharapkan itu.
“Jangan, jangan kau ganggu aku. Pergilah kau!”
Perempuan itu berlutut dan memperlihatkan anaknya yang pucat kebiruan. “Tolonglah kami, kasihanilah kami Tuan.”
Tetapi rahib itu tetap menolaknya ke luar. Lalu ia menutup pintu lagi dengan kasarnya.
Perempuan itu masih meratap di luar. Pencuri yang tobat tergerak hatinya. Ia bangkit dari semadinya, membukakan pintu gubuknya, dan berkata, “Mari, masuklah ke sini.”
Perempuan itu masuk cepat-cepat ke dalam gubug. Petapa bekas pencuri itu merasa iba melihat anak yang kedinginan dalam pangkuan ibunya.
“Pakailah selimutku untuk anakmu.” Katanya kepada tamunya. Perempuan itu menurut. Ia duduk bersimpuh menghormat penolongnya. Anaknya tidur dengan lelap dalam pelukannya.
“Terima kasih Tuan. Tetapi apakah kami telah menimbulkan kesulitan bagi Tuan? Maafkanlah, maafkanlah.”
“Nyonya, di sini aku bertapa untuk menjadi seorang Buddha Hidup. Tetapi aku pernah berdosa dan rupanya harapan itu sia-sia saja. Sekalipun aku sudah lama bertapa, aku tetap masih manusia biasa.”
“Tuan, tidakkah kau menyadari bahwa esok hari engkau akan menjadi Buddha Hidup apabila lulus dari segala cobaan?”
“Ya, aku menyadari mungkin hari ini akan muncul cobaan itu. Aku tahu, kedatanganmu adalah cobaan yang akan dapat menggagalkan tapaku. Tetapi aku rela tidak menjadi Buddha Hidup daripada membiarkan kalian ibu dan anak mati kedinginan di hujan salju.” Petapa itu menghela napas panjang.
“Terima kasih, engkau pengasih dan baik hati.” Kata perempuan itu. “Aku mendoakan agar kebaikanmu ini dikarunia Tuhan. Semoga engkau berhasil menjadi Buddha.” Kemudian ia minta dibuatkan sebaskom air hangat untuk mencuci tubuh dan kakinya.
Dini hari, ketika hujan salju telah reda, perempuan itu memohon diri. Sebelum pergi ia berpesan agar air bekas mandi anaknya jangan dibuang. “Kau pakailah air itu untuk mandi. Maka engkau akan mengalami peristiwa yang mengherankan dirimu.”
Petapa itu pun tercengang. Ia mentaati pesan tamunya. Ia mandi dengan membasuh seluruh tubuhnya. Kemudian ia melanjutkan semadinya.
Ketika hari mulai terang petapa rahib tepekur menyesali kegagalannya. Ia masih seperti biasa. Ia pun berjalan ke luar gubugnya mencari temannya. Alangkah herannya dia melihat tubuh petapa bekas pencuri itu diliputi oleh cahaya keemasan yang berkilauan. Cepat-cepat ia bertanya, apa gerangan yang dilakukan temannya itu sehingga berhasil menjadi Buddha Hidup. Petapa yang kini adalah Buddha Hidup menceritakan pengelamannya semalam.
Setelah mendengar dengan saksama, rahib itu berpikir, “Tentulah air mandi itu penuh mukjijat.”
Ia bertanya; “Sahabatku, apakah engkau masih ada sisa air mandi itu untuk diriku?”
Buddha Hidup dengan senang hati menunjukkan air di baskom itu. “Boleh, tetapi aku khawatir karmamu belum sampai unuk menjadi seorang Buddha.”
Rahib yang kegirangan melihat sisa air itu tidak memperhatikan lagi kata-kata sahabatnya. Seluruh tubuhnya disiram dengan air itu. Apa yang terjadi? Tiba-tiba ia menjadi seekor ular.