Buddhayana Tinjauan Skolastik
Krishnanda Wijaya-Mukti
Penelusuran Kitab Suci
Terdapat dua versi Kitab Suci Tripitaka. Yang satu bersumber pada bahasa Pali, dan yang lain bersumber pada bahasa Sanskerta. Kita tidak memiliki bukti konkret mengenai bahasa apa yang dipakai oleh Buddha Gotama. Agaknya Buddha menggunakan lebih dari satu bahasa/dialek. Dalam Aranavibhanga-sutta Buddha menasihati para biksu untuk menyesuaikan diri dengan bahasa-bahasa lokal tempat mereka membabarkan ajaran (M. II, 234). Menurut Kinti-sutta, orang seharusnya lebih memperhatikan makna dan jiwa daripada hanya kata-kata (M. II, 239). Karena itu Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk mempelajari ajaran Buddha dalam bahasa masing-masing (Vin. II, 139).
Penemuan dan penelitian atas sisa-sisa naskah Buddhis kuno seperti Udanavarga dan Dharmapada Gandhari, membuktikan bahwa naskah-naskah ini bukan merupakan terjemahan dari Kitab Suci Pali. Sebuah riset telah mengungkapkan bahwa baik Kitab Suci Pali maupun Sanskerta dapat ditelusuri ke asal yang sama. Empat dari lima Kitab Nikaya Pali dapat ditemukan padanannya pada empat Kitab Agama Sanskerta. Kitab Suci Pali yang dikenal sekarang ini berasal dari penulisan di Sri Lanka. Berdasarkan penelitian linguistik, sekalipun mirip, Kitab Suci itu bukan yang disusun dalam Konsili Ketiga.
Penyusunan Kitab Suci dimulai pada Konsili Pertama, tiga bulan setelah Buddha parinirwana. Peserta Konsili 500 orang, sedangkan jumlah Arahat jauh lebih banyak dari itu (pada peristiwa Magha Puja, tercatat 1250 Arahat). Menurut Kitab Suci sendiri, Purana yang kembali dari daerah selatan sesudah berakhirnya Konsili, memilih berbeda pendapat dengan hasil Konsili, mengingat Dharma miliknya sendiri yang telah ia terima langsung dari Buddha (Vin. II, 290).
Bisa dimengerti kalau terdapat sejumlah ajaran Buddha yang autentik, yang tidak terkumpul dalam Konsili Pertama. Dan menjadi cukup beralasan, lewat tradisi oral yang panjang, sampai kemudian dituliskan, keranjang Kitab Suci terbuka untuk dimasukkan naskah-naskah lain di kemudian hari. Dalam Kitab Suci dimasukkan pula khotbah-khotbah para siswa utama, seperti Sariputra, Moggallana, Ananda, yang dipandang kalau diberikan oleh Buddha sendiri akan sama isinya, sehingga dihargai seperti sabda Buddha.
Buddha memberi petunjuk empat pengujian otoritas, tentang apa yang dinyatakan oleh seseorang diterima langsung dari Buddha, atau dari Sanggha, atau dari beberapa biksu senior, atau dari satu biksu senior, yang harus sesuai dengan Sutta dan Winaya (D. II, 123-125). Watak yang demokratis dan menghargai pluralisme, ditunjukkan oleh Buddha antara lain dalam pesan kepada Cunda, agar berkelompok mempelajari semua ajaran bersama, dan tidak mempertengkarkannya (D. III, 127). Buddha pun mengajarkan bahwa bagi orang yang pandai tidaklah cukup melindungi kebenaran dengan membuat kesimpulan: hanya ini saja yang benar dan lainnya adalah keliru (M. II, 171). Sebagai agama yang universal, ajaran Buddha tidak bersifat eksklusif.
Di zaman Buddha tidak terdapat penggolongan Therawada, Mahayana, atau Tantrayana. Dari kitab sejarah Dipavamsa (abad IV M.), Mahavamsa (abad V M.) dan Samantapasadika (Komentar Winaya) diketahui bahwa istilah Therawada pertama kali dikenal setelah Konsili Pertama. Apa yang diterima dalam Konsili itu disebut Therawada, Theriya, atau Therika (Tradisi Para Sesepuh). Therawada telah masuk di Sri Lanka pada abad III sebelum Masehi, yang pada waktu itu tidak dikenal sebutan Hinayana atau Mahayana. Kedua istilah ini tidak ditemukan dalam Kitab Pali maupun kitab sejarah Dipavamsa dan Mahavamsa. Bila kita sekarang mengenal penggolongan Therawada dan Mahayana, perlu dimengerti bahwa Therawada tidak sinonim dengan Hinayana, istilah yang muncul di India kemudian. Sekarang ini tidak ada lagi aliran Hinayana yang berbentuk sebagai kumpulan umat.
Buddha mengajar dengan banyak cara (termasuk tahapan) dan dengan berbagai alasan (upaya-kausalya). “Kemudian Tathagata memperhatikan kapasitas dari para makhluk, yang cerdas atau pun yang bodoh, yang rajin berusaha atau pun malas. Sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Ia mengkhotbahkan Dharma kepada mereka dengan bermacam-macam cara yang tak terbatas, sehingga hal ini menyebabkan mereka gembira dan dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.” Air hujan yang sama jatuh berasal dari awan, hanya tumbuh-tumbuhan yang berbagai ragam menjadi basah menurut porsinya, banyak atau sedikit sesuai dengan kebutuhan, dan masing-masing dapat tumbuh berkembang (Sdmp. V). Bandingkan bagaimana cara Buddha menuntun murid-murid-Nya, seperti Ananda, Culapanthaka, Moggallana, atau Maha Kassapa. Lalu, cucu murid-Nya yang tidak pandai menghafal bisa tidak cocok dengan guru seperti Ananda. Lain halnya kalau ia mendapatkan guru seperti Culapanthaka. Kita bisa menemukan banyak contoh lain seperti ini. Buddha dapat dibandingkan sebagai orang yang menyediakan makanan prasmanan bagi kita, dan kita bebas untuk memilih makanan yang cocok untuk kita; Buddha tidak menyediakan nasi kotak yang isi dan banyaknya sama untuk setiap orang. Mudah dimengerti perbedaan-perbedaan metode melahirkan aliran-aliran sekte yang pada dasarnya adalah perguruan.
Menurut Saddharmapundarika-sutra, sekalipun banyak metode, Buddha Gotama (bahkan semua Buddha) mengajarkan Hukum Kebenaran yang sama. Ia menunjukkan Jalan Agung dengan ajaran tiga wahana (triyana), yaitu Srawakayana, Pratyekabuddhayana, dan Bodhisattwayana. “Seluruh Hukum Kebenaran itu hanya bagi Satu Kendaraan (ekayana), yaitu Buddhayana, sehingga para makhluk yang telah menerima Hukum dari para Buddha tersebut akhirnya dapat memperoleh Penerangan Sempurna.” Mengikuti Jalan Bodhisattwa untuk menjadi Samyak Sambuddha adalah tujuan tertinggi dan terluhur dalam usaha bagi kebebasan yang lain. Tetapi tiga macam Penerangan Sempurna tersebut berada dalam jalan yang sama, bukan saling berbeda (Sdmp. II).
Samdhinirmovacana-sutra menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa mereka yang mengikuti garis Srawakayana, atau Pratyekabuddhayana, atau garis para Tathagata (Mahayana) mencapai nirwana dengan jalan yang sama. Untuk mereka semua hanya ada satu Jalan Kesucian (Visuddhi-marga) dan satu Kesucian (Visuddhi), tidak ada yang kedua. Srawakayana dan Mahayana disebutkan sebagai satu kendaraan, satu yana (ekayana).
Menurut Biksu Piyasilo, istilah tunggal yang menyatukan semua aliran adalah Ekayana. Satipatthana-sutta memakai sebutan ini untuk definisi metodologis (D. II, 290) dan Saddharmapundarika-sutra mendefinisikan jalan tunggal sebagai Kendaraan Buddha.
Dewasa ini kita menemukan banyak aliran yang mengklaim dirinya sebagai ajaran Buddha yang benar. Kebenaran memang harus diuji, salah satunya adalah merujuk pada Kitab Suci dan mengenali nilai-nilai dasar dari doktrin dalam praktiknya sesuai dengan prinsip ajaran Buddha. Buddha bersabda, “Sebagaimana halnya dengan samudra raya yang hanya mempunyai satu rasa, yaitu rasa garam, demikian pula Dharma hanya mempunyai satu rasa, yaitu rasa pembebasan.” (Ud. 56).
Konsep Buddhayana
Buddhayana identik dengan Ekayana, terminologi teknis yang dipakai untuk merujuk dan merangkum pandangan, aliran ajaran, atau pun pengertian agama Buddha secara keseluruhan, yang menegaskan bahwa Dharma atau kebenaran itu hanya satu. Istilah ini dipakai untuk mengikis kekeliruan pandangan bahwa ada banyak agama Buddha yang tercermin dari banyaknya aliran, yang menunjukkan kebenaran yang berlainan. Dalam Buddhayana, keanekaragaman dan adaptasi bukan perbedaan atau pemecahbelahan, melainkan pada hakikatnya adalah bagian integral dari Ekayana. Buddhayana bukanlah sebuah sekte, melainkan agama Buddha itu sendiri.
John Blofeld mengumpamakan agama Buddha itu seperti sebuah kota yang dikelilingi tembok besar dengan begitu banyak gerbang, sehingga pendatang baru khawatir akan menjumpai jaringan jalan yang rumit, namun sesungguhnya, memasuki pintu yang mana pun, kalau ia berjalan terus, ia akan menemukan jalan memusat di bawah satu benteng perlindungan. Thich Nhat Hanh mengemukakan seperti bermacam-macam obat diperlukan untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit, ajaran Buddha juga membuka pintu-pintu Dharma yang sesuai bagi setiap orang dengan keadaan yang berlainan. Meski pintu-pintu itu bisa berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain, mereka semua adalah pintu Dharma.
Dr. D.T. Suzuki menulis: Tiada terdapat dua aliran agama Buddha, Mahayana dan Hinayana sebenarnya satu, dan semangat pendiri agama Buddha terdapat dalam kedua macam aliran ini. Biksu Dr. K. Sri Dhammananda mengatakan, pengikut Buddha sejati dapat menjalankan agama ini (Buddha) tanpa melekat pada mazhab atau sekte apa pun. Menurut Biksu Piyasilo, bila seseorang mengerti satu tradisi, apakah itu Therawada, Mahayana, atau Wajrayana, ia juga akan memahami semua tradisi yang lain. Namun ia harus berusaha dan membuka pikirannya. Dengan kata lain sikap fanatik yang membuta dan eksklusif pada satu sekte, menunjukkan ketidakpahaman akan konsep dasar ajaran Buddha sendiri. Mereka yang mencela tradisi Buddhis mana pun bahkan sesungguhnya tidak memahami tradisinya sendiri.
Menurut Biksu Dharmawiranatha, Buddhayana bertujuan mencapai suatu perpaduan antara intisari ajaran dengan pola hidup dan kebudayaan seseorang. Sumbangan yang dapat diberikan agama Buddha kepada kebudayaan bangsa adalah suatu pendirian non-sektarian, sikap yang mencari harmoni dan kerukunan. Buddhayana tidak bermaksud agar sekte-sekte yang berbeda itu harus lenyap atau melepaskan identitas mereka yang berlainan.
Buddhayana menolak sikap sektarian, yang tidak memiliki toleransi terhadap ajaran dan praktik dari berbagai aliran di dalam agama Buddha selain dari aliran sendiri. Kelemahan sektarian jelas, membatasi wawasan, mempertebal egoisme, menimbulkan kebencian, yang tentu saja akan merintangi kemajuan spiritual.
Prospek Buddhayana
Dunia serba global bergerak menuju unifikasi. Krishnaputra melihat kecenderungan umat Buddha bersatu mulai dari keinginan untuk mempunyai lambang persatuan yang diterima oleh ketiga mazhab, sehingga muncul Bendera Buddhis Internasional (1885). Pada tahun 1891 H.S. Olcott menyusun 14 pasal Dasar-dasar Keyakinan Agama Buddha, yang disetujui oleh para pemimpin Mahayana dan Therawada.
Tahun 1943, di London terbit majalah Buddhis Internasional “The Middle Way” yang tidak memandang mazhab. Pada tahun 1950 berdiri WFB (World Fellowship of Buddhist), disusul dengan WBSC (World Buddhist Sangha Council) di tahun 1966, yang menghimpun semua mazhab/sekte agama Buddha. Dalam WFB terdapat lebih dari 25% institusi/organisasi yang memiliki semangat Buddhayana. Mereka memakai sebutan antara lain non-sektarian, intersektarian, menerima segala tradisi, terbuka untuk semua sekte, tidak berafiliasi dengan sekte.
Dalam Kongres Dunia I dari WBSC di Colombo (1967), telah disepakati secara bulat rumusan prinsip-prinsip dasar agama Buddha. Dalam rumusan tadi, baik Therawada maupun Mahayana (termasuk Tantrayana) mempunyai prinsip yang sama. Perbedaan-perbedaan mengenai tata kehidupan biksu, adat dan kepercayaan Buddha lokal, upacara, tradisi, dan kebiasaan hanyalah perwujudan luar, tidak boleh dianggap sebagai dasar Ajaran Buddha.
The Third Annual International Buddhist Seminar di New York (1974) mencetuskan harapan dari para peserta seminar untuk tidak mengklasifikasi ajaran Buddha ke dalam bermacam-macam yana. Harapan ini disambut oleh Dr. Buddhadasa Kirtisinghe, ketua seminar, yang mengusulkan sebutan “Ekayana” atau “Buddhayana”.
Dr. Ananda W.P. Guruge yang bekerja untuk Unesco, dalam ceramahnya yang berjudul Universal Buddhismmenyatakan: Saya meramalkan timbulnya kecenderungan-kecenderungan baru dalam agama Buddha di Barat. Interaksi yang rapat dari berbagai aliran dan sekte yang berbeda akan berakibat saling mempengaruhi. Pakar-pakar Barat telah menyuarakan bahwa mereka lebih menginginkan suatu bentuk agama Buddha yang menggabungkan ketiga tradisi dari Therawada, Mahayana, dan Wajrayana. Kita mendengar istilah-istilah Triyana dan Buddhayana sebagai nama untuk bentuk gabungan dari agama Buddha. Kita seharusnya tidak merendahkan perkembangan alamiah ini, karena beginilah sebenarnya bagaimana ajaran Buddha berkembang selama 2500 tahun terakhir.
Penganutan di Indonesia
Wangsa Syailendra adalah penganut Buddhayana, demikian tertulis dalam Negarakretabhumi karya Pangeran Wangsakerta. Candi Borobudur yang dibangun Wangsa Syailendra mencerminkan bagaimana ajaran Therawada, Mahayana, dan Wajrayana menyatu secara harmonis.
Di mana pun di muka bumi ini dapat ditemukan hubungan yang erat antara agama dan kebudayaan. Akulturasi kebudayaan bisa menghasilkan percampuran yang seringkali mengaburkan bentuk asal dan ekspresi agama Buddha. Jika bersifat peleburan (blending), disebut sinkretisme, contohnya fenomena Siwa Buddha di Bali. Di zaman Majapahit, Siwa Buddha tidak berbaur dalam keseluruhan sistemnya, sehingga lebih tepat dinamakan paralelisme (atau sebutan lain coalition). Ini menyangkut hubungan antar agama. Dalam hal intra-agama, adalah suatu kebodohan jika ada pendapat bahwa mempelajari dan menganut ajaran berbagai sekte yang bersumber dari satu nabi itu sinkretisme. Dogma atau doktrin agama atau akidah setiap aliran dalam satu agama seharusnya tidak berbeda, sehingga pantas dinamakan agama yang sama.
Pada tahun 1929, di Jawa terbentuk organisasi Association for the Propagation of Buddhism in Java, yang kemudian menjadi Java Buddhist Association, yang sekalipun berwatak Therawada (pusat di Thaton, Myanmar), namun kuat dipengaruhi Teosofi dan menjalin kerja sama dengan para biksu Mahayana di klenteng-klenteng. Bagaimana Mahayana dan Therawada tidak terpisahkan dalam kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia, tercermin dari figur Ashin Jinarakkhita yang mendapat penahbisan kedua cara. Yang pertama ditahbiskan sebagai samanera oleh Biksu Pen Ching dari Kong Hua Sie Jakarta, dan yang kedua oleh Mahasi Sayadaw di Rangoon, Myanmar. Di wihara-wihara binaannya puja bakti memakai paritta Pali juga mantra Sanskerta dan Mandarin. Dalam pembacaan Vandanaparitta Pali, terdapat nama berbagai Buddha dan Bodhisattwa-Mahasattwa yang hanya dikenal dalam Mahayana. Umat Buddha tidak membeda-bedakan aliran sebelum Sanggha Therawada memisahkan diri (1972), yang disusul kemudian dengan munculnya majelis-majelis sekte.
Kelompok PUUI/MUABI tetap berwatak non-sektarian. Di lingkungan organisasi di bawah Sangha Agung Indonesia ini tetap terdapat bermacam-macam aliran yang tidak disekat oleh pagar-pagar kelembagaan sekte. Ketika MUABI diminta oleh pemerintah Orba untuk mengganti nama, nama Buddhayana dipakai untuk menunjukkan sikap itu (1979). Di tahun 1994, kemelut dalam tubuh organisasi Walubi dan penyalahgunaan kekuasaan memojokkan Buddhayana sebagai aliran sesat yang sinkretis dan menghidupkan adat Cina. Namun Sangha Agung Indonesia dan MBI tetap konsisten dan kini segalanya telah berubah.
Praktik-praktik Buddhayana tampak dalam berbagai bentuk, di antaranya: penggunaan satu wihara yang sama untuk puja bakti oleh penganut semua mazhab, Dharmadesana yang tidak harus eksklusif berdasar satu tradisi, hari-hari suci termasuk Maghapuja dan Ulambana yang dirayakan tanpa membedakan tradisi, pembacaan Dhammapada oleh penganut semua mazhab. Umat Buddha mempelajari bermacam-macam ajaran dan tradisi Buddhis secara seimbang. Kecocokan terhadap ajaran tentu saja merupakan masalah pribadi. Dan sebagaimana pesan Biksuni Thubten Chodron: Bagaimanapun terbuka untuk pendekatan yang berbeda tidak berarti mencampuradukkan semuanya. Khususnya teknik-teknik meditasi dari tradisi yang berbeda jangan dicampur dalam satu latihan meditasi.
Kepustakaan
Aryamaitri, Sthawira. “Agama Buddha Universal: Tuntutan Dunia Global”. Pustaka Ekayana: Buddhayana, edisi ke-12, Mei 1999.
Chodron, Thubten. Agama Buddha dan Saya. Diterjemahkan oleh E. Suwarnasanti. -: Penerbit Karaniya, 1990.
Juangari, Edij. Menabur Benih Dharma di Nusantara. Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya, 1995.
Pannavaro, Bhikkhu. Agama Buddha (Buddha Dharma) Hanya Satu. -: Yayasan Mendut, 2527 BE.
Piyasilo, Ven. Jalan Tunggal, Studi Perbandingan Mengenai Mahayana dan Therawada. Diterjemahkan oleh Edij Juangari. Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya, 1995.
Suryananda (ed). Memahami Buddhayana. Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya, 1995.
Wijaya-Mukti, K. Belajar Menjadi Bijaksana. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 1993.
Wijaya-Mukti, K. Berebut Kerja Berebut Surga. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 1995.
——. Dharma Sekilas. Surabaya: Bodhimanda Rumah Suci, 1981.