Bukan Sekadar Ketinggalan Zaman
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Dogen dalam karyanya Shobogenzo, menulis: Sejak awal zaman tiada seekor ikan berenang keluar dari air, tiada juga burung terbang keluar dari udara. Namun bagi ikan yang membutuhkan air sedikit saja, ia menggunakannya hanya sedikit. Bilamana ia membutuhkan banyak, ia memakai banyak pula. Demikian sama halnya burung dengan udara.
Selanjutnya ia mengemukakan: Keluar dari air, ikan mati. Keluar dari udara, burung mati. Dari air ikan hidup dan dari udara burung hidup. Ikan, air, dan hidupnya tidaklah terpisahkan. Burung, udara, dan hidupnya tidak pula terpisahkan. Hidup para makhluk memang tak lepas dari lingkungannya masing-masing.
Saudara-saudara kita suku Baduy di Jawa Barat memiliki lingkungan hidupnya sendiri. Mereka bersyukur dan berterima kasih atas pengamanan dan perlindungan wilayahnya secara utuh. Lalu dalam upacara adat Seba baru-baru ini, dengan segala kerelaan dan rendah hati mereka menyampaikan upeti hasil tani kepada pemerintah daerah setempat.
Pu’un sebagai pemimpin adat mengharap pemerintah tetap memberikan pengarahan. Sekalipun disadari bahwa orang-orang di luar itu berpikiran lebih maju, dan mereka dikelilingi oleh peradaban modern, adat istiadat dan kebudayaan masyarakat Baduy masih tetap bertahan. Warganya taat pada pola hidup tradisional. Ikan asin, garam dapur, alat tenun lebih dihargai ketimbang alat elektronik, kendaraan, atau bangunan megah. Bila diibaratkan pada ikan sang guru di atas, hanya sedikit air yang dibutuhkannya. Sedang kita membutuhkan banyak.
Suatu nilai dan bentuk budaya yang tradisional mungkin merupakan obat mujarab bagi semua penyakit modern. Prinsip hidup Mahatma Gandhi dalam praktiknya jelas mempertahankan wujud tradisional tersebut. Canti Desa, sebuah Ashram di Bali menerapkannya sebagai usaha mendekatkan diri pada Tuhan. Kesederhanaan yang tampak dari pemakaian piring batok kelapa, atau gula aren yang menyingkirkan gula pasir buatan pabrik diterapkan oleh orang yang juga membaca Kitab Suci berbahasa Inggris. Sang guru adalah seorang ibu dosen, yang turut mengembangkan pendidikan modern.
Di Nepal, mereka yang telah mengenyam pendidikan modern ingin cepat-cepat melepaskan diri dari warisan tradisi. Keputusan pemerintah mendirikan universitas Sansekerta untuk memperkuat landasan kebudayaan dan keagamaan telah menimbulkan konflik nasional. Pendidikan Inggris memberi kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan dan jabatan yang bergaji tinggi. Sedang yang tradisional membatasinya pada kekolotan agama dan penghasilan rendah.
Jangan asal mengikuti suatu tradisi. Petunjuk ini terdapat dalam Kalama Sutta. “Jangan engkau lekas percaya begitu saja pada suatu berita, atau sesuatu yang merupakan tradisi, atau apa yang hanya didengar. Jangan engkau percaya begitu saja apa yang tertulis dalam kitab-kitab suci, juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau penalaran semata-mata, atau apa yang katanya hasil penelitian, atau setelah direnungkan cocok dengan suatu teori, atau dugaan agaknya mungkin akan terjadi, atau karena ingin menghormati seorang guru (petapa).”[1] Petunjuk untuk tidak percaya membuta, salah satunya terhadap tradisi, dipandang mendukung modernisasi. Penyangkalan kasta misalnya merupakan salah satu bentuk pembaharuan yang sangat bertolak belakang dari tradisi.
Magandiya, seorang musafir, pernah berpendapat bahwa Buddha mematikan pengembangan atau merusak kemajuan (bhunahuno). Jika menjadi modern berarti mengejar kepuasan indra dan kenikmatan duniawi, ajaran Buddha memang justru membatasinya. Lewat lidah orang mencicipi kelezatan makanan. Umat Buddha akan makan untuk tetap hidup, bukan untuk memberi kenikmatan pada lidah yang tidak kenal puas. Maka menjadi modern bukan berarti makan sekerat daging yang delicious dan merangsang lidah bergoyang hingga bekasnya pada jari tangan pun dijilatnya. Mata menyenangi bentuk-bentuk materi yang terlihat, telinga menyenangi bunyi-bunyian, hidung menyenangi wewangian, lidah menyenangi rasa, tubuh menyenangi sentuhan, pikiran menyenangi obyek batin, dibuat senang oleh rangsangan, menikmatinya, dan memuaskan nafsu. Seorang Buddha telah menaklukkannya, mengawasi, menjaga, dan mengendalikannya. Ia pun mengajarkan Dharma untuk menguasai indra. Hal ini menurut Magandiya semula merusak kemajuan.
Buddha menjelaskan bahwa Ia memahami bagaimana muncul dan lenyapnya bentuk rangsangan tersebut, kepuasan, dan risiko daripadanya, menguasai cara melepaskan diri secara nyata, melenyapkan kerinduan, menindaskan kegelisahan karena keinginan yang tidak puas-puasnya, sehingga tercapailah ketenangan batin. Buddha menunjukkan terdapat kesenangan lain daripada kepuasan indra, lain dari obyek batin yang tidak bermutu, yakni kebahagiaan surgawi. Tentunya orang yang sudah mengenal kebahagiaan surgawi tidak ingin kembali pada kepuasan indra manusia.[2]
Dalam menghadapi berbagai perbedaan nilai budaya, kita menghindari hal-hal ekstrem. Ajaran yang pertama-tama dikhotbahkan oleh Buddha adalah menghindari dua kutub ekstrem. Mengikuti kesenangan hawa nafsu merupakan ekstrem yang pertama. Ekstrem yang lain adalah menyakiti atau menyiksa diri. Kedua hal ekstrem dinilai rendah, tidak berharga, dan tidak bermanfaat?[3]
8 April 1987
[1] Anguttara Nikaya III, 7:65
[2] Majjhima Nikaya 75
[3] Samyutta Nikaya LVI, 2:1