Bumi Bergoyang
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Tiga bulan menjelang Buddha mangkat, di Cetiya Capala ia mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup di bumi. Ketika itu terjadi gempa dan guntur menggemuruh di langit. Ananda dengan segera bertanya kepada Buddha, apa gerangan yang menimbulkan gempa bumi ini? Buddha menjawab, bahwa terdapat delapan alasan yang berhubungan dengan peristiwa terjadinya gempa. Alasan yang pertama adalah pergeseran dalam lapisan bumi, suatu peristiwa yang alamiah dan dapat dijelaskan menurut ilmu pengetahuan sekarang.
Para ahli berpendapat bahwa bumi bergoyang karena gerakan yang tiba-tiba akibat adanya pelepasan energi bumi secara mendadak. Permukaan bumi terdiri atas sejumlah lempengan tektonik yang semuanya selalu bergerak perlahan-lahan. Gerakan yang patah akan terjadi jika lempeng-lempeng tektonik tersebut saling berbenturan dengan disertai kekuatan yang dahsyat melampaui batas kekenyalannya sehingga tidak mampu untuk melengkung lagi. Gerakan-gerakan itu melepaskan sejumlah besar energi yang menjalar ke semua arah permukaan bumi. Pelepasan energi yang menimbulkan gempa juga terjadi pada kegiatan gunung berapi.
Kepada Ananda, Buddha menjelaskannya demikian, “Bumi ini, Ananda, tercipta karena zat air, zat air tercipta karena ada udara, dan udara tercipta karena ada ruang angkasa. Apabila terjadi gangguan hebat dari unsur udara, zat air itu akan mendapatkan tekanan. Dan zat air yang mendapat tekanan ini akan menimbulkan pergeseran dalam lapisan bumi. Ini adalah sebab pertama yang dapat menimbulkan sebuah gempa bumi yang dahsyat.”
Selanjutnya ia menjelaskan pula adanya gempa yang berhubungan dengan perbuatan manusia. “Selain itu, Ananda, apabila seorang petapa atau orang suci yang memiliki kekuatan besar dan dapat menguasai pikirannya; atau seorang dewa yang berkuasa dan berkemampuan besar, mengembangkan pemusatan pikiran yang kuat terhadap sifat yang terbatas dari unsur tanah dan terhadap sifat yang tak terbatas dari unsur cair maka orang itu pun dapat menyebabkan bumi ini bergetar dan berguncang. Ini adalah sebab kedua yang dapat menimbulkan gempa bumi.”
Gempa bumi ketiga hingga kedelapan dihubungkan dengan peristiwa penting dalam riwayat hidup Buddha. Bumi bergerak ketika calon Buddha (Bodhisattwa) dari surga Tusita dengan penuh kesadaran dan pikiran yang terpusat memasuki rahim ibunya. Peristiwa kelahiran calon Buddha tersebut pun disambut dengan gempa bumi. Selanjutnya pada saat pencapaian Penerangan Sempurna dan pada saat Buddha membabarkan ajaran, atau sering disebut dengan menggerakan Roda Dharma, kembali terjadi gempa. Bumi juga bergoyang ketika Buddha mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya. Akhirnya sekali lagi gempa terjadi pada saat Buddha mencapai parinibbana atau mangkat.[1]
Sekalipun ada gempa yang dihhubungkan dengan hal-hal gaib, dalam pandangan Buddha tidak satu pun gempa yang terjadi sebagai suatu wujud kutukan, hukuman, atau cobaan. Bumi yang bergetar pada setiap peristiwa dalam kehidupan Buddha tidak pernah dihubungkan dengan segala bentuk dosa dunia. Hakikat alam itu sendiri, dunia dan segala isinya, senantiasa dalam keadaan bergerak atau berubah (anicca). Tak henti-hentinya terjadi pembentukan, perkembangan, dan penghancuran, lalu menyusul terjadi kembali pembentukan berikutnya, penciptaan suatu yang baru. Pemikiran bahwa Tuhan memberi cobaan atau menghukum orang-orang berdosa dengan mendatangkan bencana alam tidak dikenal dalam agama Buddha.
Raja Vidudabha menyerbu negeri Sakya dan melakukan pembunuhan besar-besaran. Sakya terkenal karena Buddha Gotama berasal dari suku tersebut. Pasukan Vidudabha membuat perkemahan di tepi sungai, dan di tengah malam tiba-tiba banjir datang menghanyutkan mereka. Kebanyakan orang menganggap bencana itu sebagai pembalasan atau kutukan. Namun Buddha sendiri tidak menanggapi peristiwa itu sebagai hukuman. Ia berkata, “Orang yang asyik memetik bunga-bunga nafsu angkara, pikirannya bercabang-cabang. Kematian akan datang menyeretnya bagaikan banjir yang maha dahsyat menghanyutkan desa yang lelap tertidur.”[2] Kelengahan membuat Vidudabha dan balatentaranya tersapu bersih oleh air bah. Banjir dari sungai itu sesungguhnya akan tetap terjadi sekalipun Vidudabha tidak berkemah di sana.
Menurut hukum karma, setiap orang yang mengalami bencana bukanlah karena Tuhan menghendakinya demikian, tetapi karena orang itu sendiri memetik buah perbuatannya. Mengenai kehidupan dan perbuatan di masa silam, kita tidak tahu; tetapi gempa yang diakibatkan oleh kegiatan manusia yang masih kita bisa lihat tidak jarang terjadi. Misalnya tanah longsor di daerah pertambangan dan galian liar dapat mengakibatkan guncangan dan membuat korban ditelan bumi.
Bagaimana pun setiap peristiwa mengandung isyarat bagi orang yang mau memahami. Gempa yang melanda dua provinsi Iran, Gilan, dan Zanjan, yang menelan korban jiwa sekitar 40.000 orang dapat dipandang sebagai ujian, sejauh mana manusia memiliki cinta-kasih, mau tolong-menolong, membuang kesombongan dan kebencian.
4 Juli 1990
[1] Digha Nikaya 16
[2] Dhammapada 47