Cantik Aduhai, Jasmani dan Rohani
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Wanita cantik itu seorang biksuni, rahib yang pantang tersentuh laki-laki. Namun seorang pria mengejarnya selalu. Konon ia jatuh cinta pada mata biksuni yang indah bagai bintang kejora. Bagi sang rahib, godaan ini sangat mengganggu. Lalu ia mencungkil matanya untuk diserahkan kepada laki-laki tersebut. Bukankah mata itu yang membuatnya tergila-gila?[1] Mata itu bukan lagi bintang kejora. Wanita itu bukan lagi dewi impian, bahkan ia menakutkan si laki-laki. Sekalipun demikian, dari sisi pandang etika Buddhis, biksuni itu tetap elok.
Kecantikan seorang wanita atau ketampanan seorang pria adalah dambaan kebanyakan orang. Elok atau pun tidak, wujud jasmaninya yang dibawa sejak lahir, manusia dingin dan berusaha untuk tampak lebih menarik. Ia bersolek, memakai perhiasan, alat-alat kecantikan, dan wangi-wangian. Manusia memiliki indra, dan wajar ia memuaskan indranya itu. Misalnya lewat mata ingin melihat yang indah gemerlapan, lewat hidung ingin mencium wangi-wangian. Yang menjadi masalah, sebagaimana diuraikan dalam Khotbah Api indra terbakar oleh hawa nafsu yang datang dari keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.[2]
Untuk mengendalikan diri, umat Budha pada tingkatan lanjut dianjurkan menjalankan Delapan Sila: Tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berdusta, tidak bermabukan, tidak melakukan hubungan kelamin, tidak makan bukan pada saatnya, tidak memakai perhiasan atau wangi-wangian, tidak tidur dan duduk di tempat yang tinggi atau mewah. Umat biasa menaati Lima Sila, yaitu empat hal yang pertama ditambah tidak berzinah. Umat biasa bebas memakai perhiasan atau wangi-wangian, bebas mempercantik diri dalam pengertian yang berlaku umum. Walau berbeda dari umat biasa, mereka yang menganut Delapan Sila tidak langsung dapat dianggap tidak menghargai kecantikan. Mengapa? Ikutilah parabel ini:
Di silang pertemuan sungai Gangga dan Jumna, dua ekor ikan bertemu. ‘Aku cantik!’ serunya masing-masing, ‘Engkau pun cantik.’ Mereka bersukacita karena cantik. Tak jauh dari situ muncul seekor kura-kura. Mereka ingin agar kura-kura itu memutuskan siapa yang lebih cantik. Jawab kura-kura, “Ikan Gangga cantik, ikan Jumna juga cantik. Tetapi aku jauh lebih cantik.’[3] Orang kebanyakan dapat diibaratkan sebagai sang ikan. Orang yang menganut Delapan Sila diibaratkan sebagai kura-kura yang lebih cantik.
Kecantikan tidak terbatas pada wujud jasmani. Penampilan fisik saja, yang cantik sekalipun, menurut Buddha, tak lain dari sesosok kantung kulit yang berisi kotoran seperti tinja dan air seni.[4] Kecantikan selengkapnya dilihat dari penampilan watak dan tingkah laku, yang sangat tergantung pada kepribadian dan tingkat kerohanian. Winaya peraturan untuk para rahib, bahkan mengatur tingkah laku yang agaknya sepele. Misalnya berpakaian rapi sepantasnya, jalan tidak berjingkat, duduk tidak merangkul lutut, tidak bertolak pinggang, makan tidak mengeluarkan lidah, pendeknya tingkah laku yang menyenangkan. Eloklah dia yang suka menolong, ramah, dan sopan.
Barangkali ada orang yang kecewa dengan tubuhnya sendiri. Mengapa ia dilahirkan tidak cantik dan menderita karenanya? Mengapa dia, dan tidak orang lain? Manusia cenderung menyalahkan orang lain sebagai penyebab kemalangannya sendiri. Tidakkah ia sendiri yang bertanggung jawab? Biksu K. Sri Dhammananda menyatakan, ‘Andalah yang bertanggung jawab. Deritamu tidak disebabkan oleh kutukan keluarga yang turun-temurun, tidak disebabkan oleh dosa dari nenek moyang, tidak disebabkan oleh Tuhan atau setan dari luar diri Anda sendiri.
Buddha menguraikan bahwa orang yang cepat marah, untuk hal kecil saja yang disampaikan kepadanya ia sudah murka, benci, dan curiga; apabila ia meninggal akan lahir kembali dengan wajah buruk. Ia yang tidak lekas naik darah, lahir kembali dengan wajah cantik, elok, sedap dipandang. Ia yang suka iri, dengki, dan benci, kelak dilahirkan tanpa wibawa. Sebaliknya yang tidak suka iri hati dilahirkan dengan penuh wibawa.[5] Diakui atau tidak, karma atau perbuatan dalam suatu kehidupan akan berlanjut dalam kehidupan berikutnya.
Tawaran menjadi lebih cantik membangkitkan impian yang mempesona. Selain alat-alat kosmetik, kita mengenal pula bedah kosmetik. Cantik lewat topeng kosmetik atau mengubah bentuk yang estetik itu hanya membenahi jasmani. Hidung yang mancung, mata yang tidak lagi sipit, tidak juga menarik bilamana tidak disertai tingkah laku yang elok. Reparasi suatu alat tubuh hanya baik bilamana bertujuan baik dan tepat memenuhi tujuan tersebut. Tindakan yang tidak sesuai dengan Sila, misalnya mengandung unsur menipu, tentu tidaklah baik.
Kata Dogen, sang guru Zen:
“Bunga-bunga layu, sedang tidaklah ingin kita kehilangannya.
Rumput liar muncul sementara tidaklah ingin kita melihatnya tumbuh.”
Hidup itu penuh ilusi, dan perbuatan yang sebaik-baiknya adalah tidak membiarkan hidup kita terbius mimpi.
“O para siswa, jika engkau ingin menghindari penderitaan, dasar dari pencapaian ketenangan dan kedamaian hati.”[6]
25 Maret 1987
[1] Therigatha 366-399
[2] Samyutta Nikaya, XXXV, 28
[3] Jataka 205
[4] Sutra Empatpuluhdua Bagian: 26
[5] Anguttara Nikaya IV, 197
[6] Mahayana Buddha Pacchimovada Parinirvana Sutra: 10