Cinta Kasih Tidak Mengabaikan Kesalahan
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Seorang warga asing mengeluh di salah satu harian terkemuka tentang anak-anak sekolah yang berkelakuan buruk. Karena seorang anak mendorong temannya di depan mobil, sopir mengerem mobilnya, sehingga sebuah taksi menabrak mobil itu dari belakang. Anak-anak tersebut menertawakan dan mengejek kedua sopir, menggedor dan menendang kendaraan bahkan mencoba membuka pintu mobil.
Anak-anak nakal itu mengganggu orang lain melampaui batas yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Untuk melampiaskan ketidakpuasan, mereka mudah tersulut amarah, lalu merusak. Di antara mereka pun mungkin saling memandang satu sama lain seperti binatang buas. Apa yang harus dilakukan menghadapi binatang buas? Orang yang bernyali kecil akan melarikan diri, dan pemberani yang ingin menjadi pahlawan bagi kelompoknya akan menyerang sehingga sering terjadi baku hantam sesama pelajar.
Tentu saja ada banyak anak-anak yang baik. Anak yang tergolong baik tak berdaya menghadapi segerombolan remaja lain yang dengan bringas meminta uang darinya. Kenakalan itu mudah meningkat kadarnya menjadi kejahatan. Herannya, mengapa banyak orang yang diam saja melihat kejadian semacam itu atau pun menyaksikan peristiwa kejahatan lain. Orang yang baik takut berbuat dosa. Apakah ia pun tergolong baik kalau membiarkan orang lain berbuat dosa? Semangat Bodhisattwa menghendaki apa yang baik dan keselamatan itu tidak saja untuk diri sendiri, tetapi bercita-cita menyelamatkan semua orang tanpa kecuali. Kepahlawanan yang kita junjung tinggi pun merelakan pengorbanan diri sendiri untuk menegakkan kebenaran dan menolong orang banyak.
Buddha pernah berkata kepada Kesi, seorang pelatih kuda, bahwa membiarkan orang lain berbuat salah sama saja dengan membunuhnya. “Benar Kesi, tidak akan seorang Tathagata melakukan pembunuhan. Jika seseorang tidak bisa dididik agar patuh dengan cara yang halus, tidak bisa dengan cara yang kasar, atau tidak juga dengan cara kombinasi keduanya, lalu menurut Tathagata atau orang-orang yang bijaksana sia-sia saja menegur orang tersebut, dengan demikian Kesi, dalam jalan kesucian hal itu berarti kematian baginya.”[1]
Dunia akan menjadi baik kalau setiap orang mengendalikan dirinya sendiri, tidak dirangsang ketamakan (alobha) tidak dirasuki kebencian (adosa), tidak diliputi kegelapan batin (amoha). Tetapi mengharapkan semua orang mengendalikan diri sendiri saja tanpa adanya suatu kekuatan untuk mengendalikan keserakahan dan kedengkian orang lain, orang-orang saleh akan terlindas oleh kekejian dan hidup pun menjadi tidak tenteram. Oleh karena itu masyarakat memerlukan perangkat peraturan dan pasukan penegak hukum yang menjaga agar orang-orang tetap memelihara kebaikan atau patuh pada peraturan.
Apa yang harus dilakukan jika tingkah laku orang tidak baik? Jatuhi dia hukuman. Hukuman itu tak lain wujudnya adalah kekerasan. Selama ini memang kekerasan yang paling mudah membuat orang patuh. Hukuman agaknya harus berat, yang membuat si terhukum itu sangat menderita, sehingga ia menyesali kesalahannya dan menjadi jera. Hukuman yang diremehkan orang tidak akan efektif untuk mencegah seseorang berbuat salah.
Dilihat dari hukum sebab akibat, dan juga hukum karma, orang menghindari perbuatan jahat agar tidak menanggung akibatnya yang buruk atau mengalami penderitaan di kemudian hari. Tetapi perangkat peraturan dan alat hukum yang merupakan paksaan agar manusia tidak berbuat jahat itu tidak lantas juga berarti membuat manusia menjadi baik.
Agama Buddha tidak menghendaki kekerasan, sebaiknya mengutamakan cinta kasih. Namun cinta kasih ini tidak memberi peluang untuk membiarkan apalagi menerima yang salah. Justru karena terdorong oleh cinta kasih Buddha akan mencela apa yang salah sekalipun dengan demikian melukai hati orang lain. “Apa yang akan kau lakukan,” kata-Nya kepada Pangeran Abhaya, “Seandainya ada anak yang tersedak karena kemasukan buluh atau batu di mulutnya?” Jawab sang Pangeran, “Aku akan mengeluarkannya, Bhante. Apabila tidak bisa mengeluarkannya dengan spontan, aku akan memegang kepalanya erat-erat dengan tangan kiriku dan mengorek keluar benda itu dengan jari tangan kananku, sekalipun mungkin menyebabkan luka atau berdarah,” “Apa sebabnya demikian?” tanya Buddha. “ Aku mengasihi anak itu, Bhante.”[2]
Cinta kasih merupakan kekuatan dari dalam diri manusia sendiri yang tidak saja mencegahnya dari perbuatan yang buruk, tetapi juga mendorong seseorang untuk bersahabat, menghormat dan mau memperhatikan kepentingan orang lain. Orang yang memiliki cinta kasih akan memandang orang lain sebagai dirinya sendiri. Tidak saja ia terpanggil untuk mengendalikan diri dengan sebaik-baiknya, tetapi juga berusaha untuk menolong orang lain.
Seorang kaisar berkata kepada Bodhidharma bahwa semenjak ia naik takhta banyak kebaikan yang telah diperbuatnya. Ia tentu rajin berdoa sebagaimana orang-orang saleh lainnya. Tetapi berbuat baik itu tidak cukup hanya berdoa. Ia mendirikan banyak rumah ibadah, memperbanyak kitab suci, memberi santunan, derma, dan sebagainya. Tidak seorang pun yang akan menyangkal bahwa kaisar itu benar melakukan perbuatan yang baik. Apa yang dilakukannya merupakan penampilan fisik, yang mudah dilihat dari luar dan biasanya menyangkut perbawa. Tetapi bagaimana dengan hatinya? Maka, bagi Bodhidharma kaisar itu belum cukup untuk dinilai telah berbuat baik. Kita mengheningkan cipta mengenang jasa-jasa para pahlawan. Ini pun penampilan fisik. Bagaimana dengan semangat kepahlawanan? Orang yang memiliki semangat kepahlawanan tidak akan diam saja melihat orang lain diperlakukan buruk di depan matanya.
8 November 1989
[1] Anguttara Nikaya IV, 12:111
[2] Majjhima Nikaya 58