Cinta Seorang Ibu
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Sebelum menjadi seorang ibu, setiap perempuan menunggu saat-saat datangnya lamaran. Banyak perempuan yang khawatir menjadi perawan tua. Kalaupun tidak, biasanya para orangtua malu bila anak gadisnya belum ada yang melamar. Agaknya tidak demikian dengan Udaya Bhadda. Perempuan ini menolak lamaran Sakka yang membawakannya setumpukan perhiasan terbuat dari emas. Bagi Udaya Bhadda, tanpa adanya cinta, seseorang tidak perlu mengharapkan suatu perkawinan.
Sakka pantang menyerah. Ia mengulangi lamarannya. Pada lamaran yang kedua ia mempersembahkan setumpukan perhiasan dari perak. Karena tak berhasil, ia mencoba lagi dengan membawa perhiasan dari perunggu. Barangkali orang-orang menertawakan Sakka. Tetapi ia bukan laki-laki bodoh. Ia menempatkan dirinya sebagai seorang pedagang yang tahu benar mengenai harga barang. Pertama-tama ia menghargai perempuan yang dilamarnya itu senilai harga emas. Berikutnya ia memberi nilai seharga perak lalu perunggu, karena dengan bertambahnya usia, kecantikan perempuan di matanya pun semakin berkurang.
Apa yang dilakukan Sakka mungkin membuka mata kita semua pada gejala jual-beli dalam hubungan cinta manusia. Seseorang memberi sebagaimana membeli, menuntut untuk mendapatkan sesuatu yang sepadan dan menyenangkan. Masalah cinta bagi kebanyakan orang merupakan masalah dicintai ketimbang mencintai. Tidak demikian halnya dengan cinta seorang ibu. Teresa A. Smith, seorang guru SD di Texas, misalnya, memberikan belahan hatinya, seberat lima ons, untuk dicangkokkan pada Alyssa. Anaknya yang berusia 21 bulan itu menderita biliary atresia dan akan meninggal dunia dalam beberapa bulan bila tidak dibantu dengan tindakan transplantasi.
Pencangkokan hati dengan seorang donor hidup, begitu pun dengan donor tak sebaya, belum pernah dilakukan sebelumnya. Ibu tersebut mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan hidup si anak. Cinta seperti itulah yang dimaksudkan oleh Buddha setiap berbicara tentang kasih,
“Bagaikan seorang ibu mempertaruhkan jiwanya,
melindungi anaknya yang tunggal,
demikian pula terhadap semua makhluk,
memancarkan cinta kasih yang tiada batas.”[1]
Cinta dan perbuatan tidak bisa dipisahkan. Seorang ibu menyatakan cinta dengan memberi dari dirinya apa saja demi anaknya. Tanpa cinta, hamil dan melahirkan, begitupun mengurus anak, akan dirasakan sebagai penderitaan. Kebahagiaan baginya timbul karena melihat sang anak berbahagia. Ia tidak akan membiarkan anaknya menderita.
Menurut Erich Fromm, cinta yang tidak matang menunjukkan prinsip: “Aku mencintaimu karena aku membutuhkanmu.” Cinta yang matang diungkapkan dalam pernyataan: “Aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu.” Tetapi bagaimana orang dapat mempertahankan kebahagiaannya kalau cinta selalu melekat pada kebutuhan sang aku? “Semua orang yang merasa bahagia adalah karena mengusahakan kebahagiaan bagi orang lain,” demikian ujar Shanti Deva, pemikir Buddhis di abad ketujuh. Gagasan dan usaha untuk membahagiakan orang lain adalah perwujudan cinta yang tak terbatas.
Maka seorang ibu yang membutuhkan anak, secara ideal tidak didasarkan pada keakuan (egoisme) dan tidak diartikan untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri. Seorang ibu akan menukar kebahagiaannya dengan tulus untuk menggantikan penderitaan anaknya. Ia tidak harus menguasai dan bersedia melepaskan anaknya apabila itulah yang terbaik bagi sang anak. Hati seorang ibu seharusnya tergerak karena khawatir melihat anaknya menderita, demikian pendapat Mahosadha. Mahosadha adalah seorang Bodhisattwa yang diriwayatkan lahir berulang kali, yang akhirnya dikenal sebagai Buddha Gotama.
Sang Bodhisattwa pernah diminta untuk memutuskan perkara dua orang wanita yang memperebutkan seorang bayi. Ia menggurat sebuah garis di tanah kemudian meletakkan bayi yang diperebutkan di tengah-tengah garis tersebut. Kedua perempuan itu disuruhnya menarik kakinya. Orang yang berhasil menarik kaki bayi itu sampai melampaui garis akan dinyatakan sebagai ibunya. Setelah diberi aba-aba, mereka mulai menarik dan tentu saja si bayi menangis kesakitan. Salah seorang perempuan itu dengan segera melepaskan pegangannya. Ia membiarkan bayi itu ditarik lawannya. Tampaknya ia mengamati dengan penuh kekhawatiran, lalu air matanya tak tertahan lagi turun berderai. Sang Bodhisattwa bertanya kepada orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu: “Hati siapakah yang dipenuhi kasih pada anak itu?” Mereka menjawab: “Hati ibunya tentu.” Selanjutnya sidang yang dipimpin oleh Mahosdha memutuskan bahwa ibu bayi yang diperebutkan itu adalah wanita yang tidak tega menarik bayi tersebut.[2]
Seorang anak mencintai karena dicintai. Sedangkan cinta ibunya tanpa syarat. Tidak perlu diberi imbalan, demikian kata Erich Fromm. Ibu mencintai bayinya karena anak itu darah dagingnya bukan karena anak itu telah memenuhi syarat yang sesuai dengan harapannya. Sedangkan cinta seorang ayah acapkali bersyarat atau menuntut imbalan. Ia mencintai karena anaknya memenuhi harapannya dan taat pada keinginannya, atau karena ia mirip dengan dirinya. Maka cinta seorang ibu yang dipandang luhur karena tidak mementingkan diri sendiri.
27 Desember 1989
[1] Karaniya Metta Sutta
[2] Jataka 546