Cintailah Orang Sakit
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Banyaknya permintaan terhadap suatu pelayanan kesehatan ternyata timbul oleh karena adanya penawaran, tidak mesti karena kebutuhan. Dalil Roemer mengemukakan bahwa penawaran menciptakan permintaan (supply creates demand). Harus diakui bahwa timbulnya permintaan atas suatu jenis pelayanan kesehatan bukan berasal dari kemauan pasien sendiri, tetapi karena datang dari petunjuk dokter yang menolongnya.
Pembayaran atas suatu jasa pelayanan kesehatan biasanya didasarkan pada frekuensi dan jenis pelayanan. Ketidaktahuan pasien sebagai konsumen memberi peluang sehingga memungkinkan terjadinya pelayanan yang tidak perlu atau berlebihan jika dinilai dari kebutuhan yang sebenarnya. Kemajuan teknologi menawarkan berbagai pelayanan canggih yang mahal. Maka mudah dimengerti biaya kesehatan selalu cenderung meningkat. Motif non-profit (tidak mengejar untung) dalam pelayanan kesehatan mudah menjadi luntur. Bisnis kesehatan membuat orang sakit yang dirawat di rumah sakit tidak menjadi sehat terkecuali jika mau atau mampu membayar mahal. Pelayanan kesehatan rupanya menjadi semakin maju bukan karena cinta-kasih, tetapi karena menghasilkan kekayaan.
Orang yang mencari untung dan mengabaikan cinta kasih tidak pantas bekerja di bidang pelayanan kesehatan. Buddha berkata, “Hanya dengan memiliki lima sifat sebagai berikut seseorang pantas merawat orang sakit. Ia menguasai ilmu pengobatan; ia cakap mempertimbangkan apa yang efektif berkhasiat dan apa yang tidak efektif, ia mempergunakan apa yang bermanfaat dan menyingkirkan yang tidak bermanfaat; ia merawat atas dasar cinta kasih, bukan karena mengharapkan keuntungan; ia tidak mengeluh kalau membersihkan kotoran air kencing, ludah, atau muntahan; ia cakap memberi petunjuk, menasihati, menghibur, dan mendorong semangat si sakit sesuai dengan ajaran agama.”
Ketika seorang biksu terserang diare yang berat, dan terbaring berlumuran kotorannya sendiri, ia dijauhi oleh teman-temannya. Kebetulan Buddha yang sedang berkeliling melihatnya. Buddha menyuruh Ananda untuk menyediakan air, lalu ia sendiri memandikan orang sakit itu. Buddha bertanya, mengapa tidak ada orang yang merawatnya? Jawab orang-orang, biksu yang sakit itu tidak berguna bagi mereka. Tentu saja Buddha mencela sikap tersebut. Buddha bertanya, kalau mereka tidak saling merawat, siapa lagi yang akan merawat orang sakit? Sabdanya kemudian, “Barang siapa yang merawat orang sakit berarti merawat Bhagava.”[1]
Tuntunan rohani bagi orang sakit dinilai sangat penting. Ketika Vakkhali sakit parah, Buddha menengoknya. “Janganlah engkau cemas dan menyesal, Vakkhali. Jangan engkau menyalahkan dirimu,” demikian petunjuk Buddha kepadanya. Kemudian Buddha menyempaikan wejangan, sehingga ia siap menghadapi kematian. Penyakitnya sendiri tidak berkurang, bahkan ia mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Tetapi pada saat-saat terakhir ia berhasil mencapai kesucian. Orang-orang yang telah atau pasti menjadi Arahat, yang mencapai tingkat kesucian tertinggi, dapat memilih sendiri cara kematiannya. Bagi mereka bunuh diri bukan hal yang tercela. Berbeda halnya dengan orang awam. Buddha tidak membenarkan orang bisa melakukan bunuh diri.[2]
Orang-orang bertanya kepada Buddha tentang Suppabuddha, penderita kusta yang melarat dan mati diterjang lembu. Buddha menjelaskan bahwa Suppabudhha pernah dilahirkan sebagai anak orang kaya. Ketika itu ia menghina bahkan meludahi seorang Buddha yang sedang mengumpulkan dana makanan, yang dianggapnya sebagai penderitaan kusta yang menjijikkan. Setelah meninggal dunia ia terlahir di neraka karena perbuatan-perbuatan jahatnya; berikutnya kemudian ia terlahir kembali di bumi sebagai penderita kusta. Penderita kusta ini beruntung sempat mendengarkan khotbah Buddha sebelum maut merenggutnya. Sehingga selanjutnya ia lahir kembali di alam surga.[3]
Penyakit tidak datang dengan sendirinya. Ilustrasi di atas menunjukkan adanya hubungan kausal dengan apa yang pernah diperbuatnya oleh seseorang dalam kehidupan sebelumnya. Teori mengenai kehidupan yang lalu mungkin dipertanyakan, tetapi tidak dapat disangkal bahwa pola penyakit manusia berhubungan erat dengan cara hidup dan perilaku manusia. Dalam pandangan Buddha, perbuatan baik dan buruk ikut menentukan kesehatan seseorang.
Ketika Buddha melihat serombongan anak-anak sedang menyiksa ikan-ikan, Buddha bertanya, “Anak-anak, tidakkah engkau takut sakit?” Jawab anak-anak tersebut, “Tentu saja kami takut sakit, kami tidak suka sakit.” Lalu Buddha memberi nasihat, “Barangsiapa tidak ingin menderita seharusnya tidak melakukan perbuatan buruk entah secara terbuka atau tersembunyi. Jika kini engkau berbuat buruk, kelak pasti akan menderita, walau bagaimanapun engkau berusaha untuk lari.”[4]
7 November 1990
[1] Maha Vagga VIII
[2] Samyutta NIkaya XXII, 87
[3] Udana V, 3
[4] Udana V, 4