Citra dan Kearifan
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Hidup tanpa cinta kasih membuat manusia menderita. Hanya orang yang sepenuhnya hidup dalam kasih saja yang berhasil mencapai kebahagiaan. “Dia tidak pernah marah sekalipun dihina,” ujar Neng dari Taowu. Apa ada orang seperti itu? Mengapa tidak, dunia mengenal cukup banyak orang-orang suci. Buddha Yang Mahasuci tidak pernah marah. Ia selalu tersenyum. Senyum yang penuh kasih, damai, mempesona.
Apa dan siapa itu Buddha? Banyak orang akan menunjukkan sejumlah patung di wihara, candi, atau pagoda. Seorang anak dengan wajahnya yang polos bertanya-tanya, yang mana satu Buddha sebenarnya. Ada banyak patung, lain-lain rupanya. Semuanya bisa jadi memperlihatkan senyum. Apa itu Buddha? Buddha menyangkal kepercayaan akan dewa-dewa yang menentukan nasib manusia. Ia menolak praktik pemujaan berhala. Tetapi bayangan wajah-Nya muncul sebagai patung-patung yang beraneka rupa. Sangat banyak patung Buddha yang tinggi nilainya, entah terbuat dari kayu, batu porselen, perunggu, bahkan tidak jarang berlapis atau terbuat dari emas. Arca pun menjadi citra Buddha.
Buddha sendiri pernah memberi petunjuk bahwa sarana untuk mengingatkan umat yang menaruh keyakinan kepada Buddha adalah stupa. Bentuk stupa menggambarkan lipatan jubah sebagai alas, mangkok derma yang terbalik merupakan kubah, dan tongkat menjadi tonggak puncaknya. Sedangkan arca tak lain dari kreasi umat. Buddha tidak bisa marah. Ia akan tetap tinggal tersenyum. Banyak guru yang arif seperti Upagupta, tidak menyangkal bahwa mara (iblis) mudah menyamar sebagai bayangan Buddha. Tetapi arca Buddha cuma perlambang yang merupakan objek pemusatan perhatian atau angan-angan yang tertuju kepada Buddha. Tidak perlu khawatir dengan perangkap mara. Umat yang menaruh keyakinan kepada Buddha seharusnya hanya terdorong untuk melaksanakan ajaran Buddha. Ajaran itu mengutamakan praktik, bukan kepercayaan. Dengan melihat gambar atau arca Buddha umat terkenang kepada Buddha, tetapi jelas Kebuddhaan tidak berada pada benda-benda itu.
Wen dari Chen-Ching ketawa terpingkal-pingkal ketika ia ditanya siapa itu Buddha. Murid yang bertanya tidak mengerti mengapa pertanyaannya membuat sang guru tertawa, Wen menjelaskan, “Aku tertawa karena engkau berusaha menangkap arti hanya dengan mengikuti ungkapan kata-kata.” Ketika seorang brahmana mempersembahkan sekuntum bunga kumbhala kepada-Nya, Buddha tidak mengucapkan barang sepatah kata pun. Dari seluruh siswa yang menyaksikan peristiwa itu, hanya Maha Kasyapa yang menangkap maknanya. Ia melihat wajah Buddha yang tersenyum dan memancarkan sinar. Maha Kasyapa ikut tersenyum karena mengerti. Tak ada siswa lain yang mengerti. Buddha berkata, “Maha Kasyapa, engkau telah menangkap pelajaran ini. Aku mewariskannya kepadamu.” Inilah pelajaran yang diberikan dari hati ke hati, kearifan di luar ungkapan kata-kata.
Barangsiapa melihat Dharma, ia melihat Buddha. Kita cenderung menjadi pembaca kitab dan pendengar khotbah, lalu pengetahuan yang diperoleh dipergunakan untuk melontarkan kritik, menyanggah pendapat orang lain atau membebaskan diri dari celaan. Dengan demikian pengetahuan itu malah menjadi belenggu yang akan mendatangkan penderitaan dan menimbulkan frustrasi. Berbeda halnya jika memahami Dharma itu dengan menangkap artinya, mengemban semangatnya dan hidup menurutnya. Dharma adalah alat menyeberang, bukan untuk dicengkeram. “Oleh karena berubah-ubahnya arti dari kata-kata, maka Tathagata sering mengatakan: Engkau harus mengetahui, apa yang Aku maksudkan dengan pernyataan bahwa Kebenaran itu adalah seperti rakit untuk menyeberang.”[1]
Seorang murid masih tak bosan bertanya, “Siapa itu Buddha?” Hung dari Tai-Lung menjawab, “Engkaulah dia.” Kata muridnya kemudian, “Bagaimana aku dapat memahaminya?” Hung berbalik tanya, “Apakah engkau ingin memasang pegangan pada mangkuk makanmu?” Muridnya itu bernama Hui-chao. Ia menanyakan hal yang sama kepada Fa-Yen. Jawab orang ini, “Engkau adalah Hui-chao.” Tanpa pendalaman penghayatan, cerita-cerita semacam ini bagaikan permainan kata atau humor yang membuat orang tertawa geli. Kutipan dari kitab Daruma Roku-Ron dapat membantu kita untuk memahami kearifan yang terkandung di dalamnya. “Jika engkau tidak melihat sifat diri sendiri tetapi sebaliknya keluar mencari Buddha, maka berarti selamanya engkau tidak akan menjumpai Buddha.”
Citra umat Buddha terletak pada tingkat pengamalan agamanya. Setidak-tidaknya umat Buddha pantang membunuh, mencuri, berzina, berdusta, atau bermabuk-mabukan, misalnya. Buddha tersenyum, tetapi Ia tidak pernah tertawa sampai memperlihatkan gigi (sita). Umat mungkin tersenyum lebar, sehingga sedikit memperlihatkan gigi (hasita).
29 Agustus 1990
[1] Vajracchedika-Prajnyaparamita Sutra