Debat Beda Pendapat
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Setiap orang boleh berbeda pendapat. Siapa saja yang menolak pendapat orang lain seharusnya punya alasan untuk tidak setuju. Persoalannya, seseorang hanya tahu mengenai satu hal dan tidak tahu mengenai hal yang lain. Ada sesuatu yang kita ketahui tetapi terselubung bagi orang lain. Ada yang orang lain tahu, tetapi kita buta mengenai itu. Ada pula sesuatu yang sama gelapnya bagi kita atau pun bagi orang lain.
Untuk memperoleh kesamaan pandang, kita mesti belajar mendengar bagaimana supaya orang lain mengungkapkan segala hal yang belum kita ketahui. Sebaliknya kita mesti menyampaikan dengan sebaik-baiknya apa yang belum diketahui oleh orang lain, sehingga ia mau mendengar atau menerimanya. Menurut Sariputta, orang mesti bertanya dan menyelidiki untuk mencari pengetahuan. Orang dapat menguji pendapat orang lain, pikirnya: Jika pertanyaanku dijawabnya tepat, itulah baik jika dijawabnya keliru aku akan menjelaskannya.[1] Debat atau adu argumen dan akal sehat pada akhirnya membuka selubung atau membuat mata melek untuk melihat sesuatu secara obyektif.
Debat dapat dilombakan, sebagaimana Lomba Debat Antar Universitas ASEAN yang diselenggarakan di Kuala Lumpur. Tujuan lomba debat adalah meningkatkan kemampuan mengemukakan dan mempertahankan pendirian, serta bagaimana menghadapi pendapat lain. Lomba debat merupakan barang baru bagi peserta dari Indonesia, sehingga dipandang wajar kalau dengan mudahnya tersisih dalam babak pendahuluan. Orang yang tidak terbiasa dengan perbedaan pendapat akan tidak terlatih pula untuk berdebat. Tetapi bagaimana pun kemampuan mengajukan argumen tak lepas dari kedalaman penguasaan materi.
Debat merupakan salah satu metode dalam pengajaran agama Buddha. Buddha Gotama ahli dialog dan dialektika yang selalu membuat orang-orang tunduk di kala berdebat. Ia mesti mengatasi segala perbedaan dan pertentangan pandangan di zaman yang sedemikian kusut dan menjerat manusia bagai perangkap jaring. Dalam hal ini J.B. Pratt mengemukakan bahwa yang paling menarik dari diri Buddha adalah perpaduan antara kepala yang dingin dan hati yang hangat. Perpaduan ini tampak dari sikap Buddha yang bebas dari perasaan sentimental di satu pihak dan di pihak lain tidaklah bersifat masa bodoh.
Nattaputta guru Jain mengirim muridnya, Abhaya, untuk berdebat dengan Buddha. “Ayo Pangeran,” katanya, “Kalahkan petapa Gotama itu dalam debat, maka engkau akan termasyhur oleh karenanya.” Dalam perdebatan itu Abhaya mengakui keunggulan Buddha. Lalu Abhaya bertanya apakah jawaban dan sanggahan Buddha itu betul spontan atau Buddha pernah memperkirakan sebelumnya pertanyaan yang akan disampaikan oleh orang-orang sehingga jawabannya pun sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Buddha berbalik tanya, apakah seorang ahli kereta perlu memikirkan sejumlah pertanyaan mengenai keretanya yang mungkin akan diajukan oleh orang-orang dan mempersiapkan lebih dulu jawabannya? Abhaya menjawab bahwa seorang ahli kereta dengan mudahnya dapat menjawab setiap pertanyaan mengenai keretanya dengan spontan, sehingga tidak memerlukan persiapan lagi. Buddha pun tidak perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi suatu perdebatan, karena ia telah menguasai Kebenaran hingga hal yang sekecil-kecilnya.[2]
Seringkali dalam suatu perdebatan orang dipengaruhi perasaan emosional. Buddha mengingatkan bahwa jika terdapat perasaan tidak senang, tidak akan kita dapat menilai sejauh mana ucapan seseorang itu benar atau salah, baik atau buruk. Demikian pula halnya jika sampai terbius oleh pujian. Pandangan yang obyektif hanya diperoleh jika pikiran jernih tidak terganggu oleh luapan emosi.[3] Kalau hanya akan melahirkan pertengkaran hingga adu jotos, apakah suatu perdebatan betul bermanfaat? Akal sehat perlu diikuti watak yang sehat pula. Kalau tidak demikian, perbedaan pendapat pun cenderung dibungkam.
“O para siswa, seandainya engkau terlibat dalam pembicaraan yang tak bermanfaat, maka pikiranmu akan mudah terpengaruh. Meskipun engkau telah meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi biksu, engkau tidak akan mencapai pembebasan sekiranya masih melibatkan diri dalam perdebatan dan pembicaraan yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu hindarilah pembicaraan yang tidak berarti dan kuasailah pikiranmu. Jika engkau menginginkan ketenangan dan kedamaian, engkau harus menghindari hal tersebut. Inilah makna penguasaan ucapan.”[4]
Pembicaraan yang bermanfaat adalah apa yang benar, yakni-kata-kata yang betul, beralasan, berfaedah dan tepat waktunya, tidak menutupi kebenaran, tidak memojokkan atau mengadu domba, tidak memaki dan menggunakan kata-kata kasar yang membuat orang tidak senang ataupun cuma omong kosong saja.
Perbedaan pendapat dipandang sebagai penggerak dinamika kehidupan. Kita tidak perlu khawatir akan adanya beraneka ragam pandangan dan pendapat dalam masyarakat. Demokrasi memang membutuhkan banyak musyawarah, diskusi, tukar pikiran, dan dialog. Demikian dikemukakan oleh Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya di depan sidang paripurna DPR. Kita tahu, tidak bisa lain, kita mesti belajar menghargai pendapat orang lain disertai cinta kasih dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan.
22 Agustus 1990
[1] Anguttara Nikaya V, 17:164
[2] Majjhima Nikaya 58
[3] Digha Nikaya I
[4] Mahayana Pacchimovada Parinirvana Sutra