Demokrasi dan Agama Buddha di Indonesia
Krishnanda Wijaya-Mukti
Disampaikan dalam Seminar Dies Natalis ke-42 Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 26 Februari 2011.
Pendahuluan
Agama Buddha ikut mengantarkan Sriwijaya dan Majapahit mencapai kejayaan. Majapahit, negara kesatuan sebelum kolonialisme Belanda, kadang dijadikan acuan politis batas NKRI saat ini. Beberapa atribut kenegaraan diambil dari elemen-elemen Majapahit. “Sang Merah Putih” berasal dari panji Majapahit. “Bhinneka Tunggal Ika” berasal dari Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular, pujangga Majapahit.
Istilah Pancasila diambil dari Panca Sila agama Buddha. Soekarno menyatakan rumusan Pancasila sebagai dasar negara digali dari khazanah budaya bangsa sejak dahulu kala. Prinsip demokrasi dirumuskan sebagai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sila ini tidak berdiri sendiri. Kerakyatan terkait dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, persatuan Indonesia, dan keadilan sosial.
Pendekatan demokratis berupa musyawarah yang mempersatukan, demi kepentingan dan kesejahteraan orang banyak, tidak asing bagi masyarakat Buddhis. Tetapi sistem demokrasi berupa pemerintahan rakyat, dengan kedaulatan di tangan rakyat, dan pembagian kekuasaan semacam trias politica, memang baru dikenal pada zaman modern.
Sriwijaya merupakan pusat pengajaran agama Buddha. Raja mendukung agama dan mendapat legitimasi agama, namun tidak ada keterangan apakah pemerintahannya menjalankan pendekatan yang demokratis berdasar ajaran Buddha. Banyak yang belum diketahui mengenai ketatanegaraan Sriwijaya. Sedangkan sistem pemerintahan Majapahit paling tidak dapat diketahui dari Kitab Nagarakretagama dan sejumlah piagam.
Ada patih atau perdana menteri yang ikut bersama-sama raja melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Untuk mengambil keputusan yang penting raja mengadakan musyawarah dengan Dewan Pertimbangan Agung. Para birokrat berbagai jenjang diangkat langsung oleh penguasa berdasar kekerabatan atau keturunan. Tetapi di tingkat terbawah dikenal rembug desa dan rakyat yang memilih kepala desanya.
Konsep dewa-raja mengharuskan rakyat tunduk pada kehendak raja. Namun raja mengikuti hukum berupa undang-undang. Kitabnya disebut Kutara Manawa yang sangat dipengaruhi agama Hindu. Selain dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan, ada pejabat-pejabat hukum keagamaan, terdiri dari unsur Siwa Dharmadhyaksa Kasaiwan dan unsur Buddha Dharmadhyaksa Kasogatan.
Kelahiran Kembali
Dengan jatuhnya Kerajaan Majapahit (1429), agama Buddha lambat-laun mulai dilupakan. Tidak ada pengakuan terhadap agama Buddha di zaman penjajahan. Secara sporadis ada komunitas yang mewarisi tradisi Siwa-Buddha, khususnya di Tengger dan Bali. Pendatang Tionghoa mendirikan klenteng di mana-mana, yang tertua mungkin Klenteng Jin-de Yuan di Batavia (1650). Belakangan Perkumpulan Teosofi (1883) ikut memperkenalkan ajaran Buddha. Lahirnya kembali kelembagaan agama Buddha di Indonesia berakar dari tiga kelompok masyarakat itu.
Organisasi Buddhis yang pertama di Jawa (1929) dengan media cetak berbahasa Belanda dipimpin oleh Ernest Erle Power dan Josias van Dienst. Penggantinya Kwee Tek Hoay, yang menerbitkan Moestika Dharma (1932) memperkenalkan agama Buddha dalam bahasa Melayu. Ia mendirikan organisasi Sam Kauw Hwee, di kemudian hari disebut Tridharma, yang menganut tiga ajaran, yaitu Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme. Minat untuk kembali ke agama Buddha bertambah setelah kedatangan Biksu Narada dari Sri Lanka (1934) di beberapa kota di Jawa.
Agama Buddha bangkit seiring dengan perjuangan nasional dan kemerdekaan Indonesia. Untuk pertama kalinya pada tahun 1953 diselenggarakan upacara Waisak nasional di Borobudur. Walau pemerintah belum secara formal mengakui keberadaan agama Buddha, peristiwa yang diikuti oleh lebih dari tiga ribu peserta itu dihadiri beberapa duta besar mancanegara. Penggagasnya Tee Boan An. Ia menjabat ketua umum Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI) merangkap wakil ketua Perhimpunan Pemuda Teosofi Indonesia. GSKI merupakan gabungan dari Sam Kauw Hwee dan Thian Li Hwee yang selanjutnya diikuti Bagian Kebaktian Sin Ming Hui (Perkumpulan Sosial Candra Naya sekarang) dan Buddha Tengger.
Tee Boan An menjadi samanera menurut tradisi Mahayana (Chan), dan ditahbiskan menjadi biksu Therawada di Myanmar dengan nama Ashin Jinarakkhita. Jinarakkhita merupakan biksu putra Indonesia pertama di abad ke-20. Setelah kembali ke Indonesia (1955), ia mengadakan perjalanan ke seluruh pelosok tanah air. Ajaran yang dikembangkannya non-sektarian. Ia mendirikan organisasi Buddhis nasional yang pertama, Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI), dengan anggota yang telah diinisiasi (1955). PUUI beberapa kali berganti nama, menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia, lalu Majelis Upasaka-pandita Agama Buddha Indonesia (MUABI), dan yang terakhir Majelis Buddhayana Indonesia (MBI). Dibentuk pula organisasi umat awam, Persatuan Buddhis Indonesia (1957), yang belakangan dinamakan Perhimpunan Buddhis Indonesia (Perbudhi).
Agama Buddha menjaga jarak terhadap politik. Sampai di akhir era demokrasi parlementer, umat Buddha dan organisasinya bersatu dengan solid, tidak terganggu oleh situasi politik liberal yang labil dan menghadapi ancaman separatis. Agaknya ketika itu kegiatan keagamaan Buddha di Indonesia praktis ada di dalam lingkar pengaruh figur Jinarakkhita.
Era Demokrasi Terpimpin
Menghadapi konsep Nasakom di era Demokrasi Terpimpin sikap umat Buddha terhadap politik mendua. Ada yang menjauh, ada yang mendekat. Karena tidak ada tempatnya dalam partai agama, kalau bukan nasionalis, tentu dekat dengan komunis, namun tidak menjadi anggota partai, melainkan terhubung secara tidak langsung melalui organisasi onderbouw, khususnya Baperki bagi warga Tionghoa.
Warga Tionghoa ikut berpolitik sejak pergerakan nasional. Tanpa membedakan agamanya, setelah kemerdekaan, ada yang masuk dalam parlemen/DPR dan MPR, maupun kabinet. Namun berulang kali terjadi huru-hara anti-Cina. Timbul pro dan kontra mengenai asimilasi dan integrasi. Situasi ini memberi dampak yang kurang menguntungkan bagi perkembangan agama Buddha karena citra bahwa agama Buddha itu agama Tionghoa begitu kuat.
Di Tiongkok agama Buddha yang berasal dari India secara harmonis hidup berdampingan dengan budaya setempat. Umat Buddha tidak mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari satu peradaban tunggal Buddhis. Mereka tampil dengan identitas lokal, tercermin pada gambar/patung Buddha yang beragam disesuaikan dengan citra etnis si penganut. Ada Buddha dengan wajah India, Tionghoa, Tibet, Thailand, Jepang. Figur Buddha di Indonesia sendiri bisa dilihat pada versi Buddha di Candi Borobudur. Menjadi Buddhis bukan menjadi orang India. Bagi warga Tionghoa, dapat dikatakan Buddha telah di-Tionghoa-kan.
Menurut M.A. Lathouwers, Jinarakkhita menekankan perlunya mengembangkan agama Buddha Indonesia yang khas, suatu bentuk asli yang sesuai dengan alam Indonesia, suatu wadah yang tetap bersumber pada sejarah agama Buddha di masa lampau yang kaya raya, akan tetapi tidak terikat atau dihambat selama perkembangannya. Kesempatan istimewa ini dihubungkan dengan “Bhinneka Tunggal Ika”. Jakob Oetama pernah mempublikasikan (1963) pendapat Ashin Jinarakkhita bahwa jiwa toleransi bangsa Indonesia tercermin pada Pancasila. Apabila Pancasila sungguh-sungguh diamalkan, maka dapat memberikan lichtpunt, sinar terang kepada dunia.
Jinarakkhita setelah tua berjenggot, sebagaimana penampilan sebagian biksu dari tradisi Tionghoa Mahayana. Walau terjadi kontroversi, ia menggabungkan tradisi Tionghoa, India (Hindu), dan lokal. Praktik pemujaan Eyang Suryakencana dan upacara mandi air tujuh pancuran di malam Jumat Kliwon di Lembah Cipendawa menunjukkan kedekatannya dengan penghayat kepercayaan dan penganut Kejawen. Selain Tripitaka Pali, Sanskerta, Mandarin, karya peninggalan zaman Majapahit Sanghyang Kamahayanikan dipandang sebagai bagian dari Tripitaka berbahasa Kawi. Pemerintah menganugerahkan Bintang Mahaputra Utama kepada tokoh ini (2005) setelah tiga tahun ia meninggal dunia.
Pasca G-30-S
Peristiwa G-30-S menyebabkan banyak orang yang dicurigai mendukung komunis terbunuh dan dipenjara. Orang Tionghoa yang termasuk penganut agama Buddha menjadi sasaran aksi-aksi anti-Cina. Tetapi jumlah umat Buddha meningkat cepat karena setiap orang diharuskan untuk memeluk salah satu agama. Sekolah-sekolah wajib memberi pendidikan agama. Belakangan, ketertinggalan dalam penyediaan tenaga guru dan sekolah Buddhis, membuat umat tradisional mengikuti pendidikan agama lain sehingga banyak yang pindah agama.
Sebagian penganut agama KTP tidak tahu apa itu ajaran Buddha. Sebaliknya tidak jarang orang yang aktif dalam kegiatan Buddhis, namun sekaligus memiliki KTP dengan agama lain. Supaya tidak serta-merta dicap Tionghoa, ada yang lebih suka tidak mencantumkan agama Buddha dalam KTP-nya. Mungkin agar lebih mudah mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Diskriminasi merupakan fakta. KTP bagi keturunan Tionghoa diberi kode tertentu. Bahkan beberapa orang pribumi yang mengaku beragama Buddha, dianggap sebagai orang Tionghoa dan ikut dipersulit ketika mengurus akta perkawinan.
Warga Tionghoa dianggap sebagai minoritas asing yang dibedakan dari minoritas suku-suku pribumi. Pemerintah menghendaki minoritas Tionghoa berasimilasi. Mereka diminta untuk ganti nama. Bahasa dan aksara Tionghoa dilarang. Film-film berbahasa Mandarin dibatasi. Namun pertimbangan ekonomi ternyata lebih kuat daripada prinsip asimilasi (Leo Suryadinata, 1984). Inpres No. 14/1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, membatasi pelaksanaan tata-cara ibadah Cina. Perayaan agama dan adat istiadat Cina tidak boleh dilakukan di depan umum. Sementara itu, pengakuan terhadap agama minoritas, yaitu Buddha dan terlebih Konghucu tidak sejalan dengan kebijaksanaan asimilasi.
Aliran Mahayana yang terkait erat dengan ke-Tionghoa-an dan pemakaian bahasa Mandarin jelas menghadapi tekanan, sedangkan aliran Therawada menjadi lebih disukai. Untuk memberi perlindungan, muncul Dewan Wihara Indonesia (Dewi) yang diketuai oleh Letkol. Suraji Ariakertawijaya, sekjen Perbudhi. Kebanyakan klenteng ganti nama menjadi wihara, kecuali klenteng non-Buddhis. Klenteng sebenarnya merupakan wihara Mahayana yang berafinitas kultural Tionghoa. Menurut Cl. Salmon dan D. Lombard (1985) asal kata klenteng adalah Guan-yin Ting. Adapun Guan-yin dalam bahasa Sanskerta Awalokiteswara, salah satu personifikasi Bakal Buddha.
Dari Organisasi ke Organisasi
Untuk menyalurkan aspirasi politik, Federasi Umat Buddha Indonesia menjadi anggota Sekretariat Bersama Golongan Karya (1967). Anggotanya: Buddhis Indonesia, Gabungan Tridharma, Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia, Agama Hindu Buddha Tengger dan Agama Buddha Wisnu Indonesia. Di luar itu, PUUI, Perbudhi, dan Maha Sangha Indonesia membentuk Majelis Tertinggi Seluruh Umat Buddha Indonesia (1969). Sebagian biksu Therawada (di antaranya kemudian melepaskan jubah) memisahkan diri, membentuk Sangha Indonesia (1972).
Konflik organisasi berulang kali terjadi, entah karena ambisi pribadi atau penganutan agama yang tidak sungguh-sungguh dipraktikkan, atau terdorong oleh semangat sektarian dan pengaruh asing. Sekjen Golkar (Brigjen Saparjo) mengambil prakarsa untuk mempersatukan (1972). Tiga tahun kemudian muncul wadah tunggal Buddha Dharma Indonesia (Budhi). Namun Gabungan Tridharma Indonesia (GTI) dan MUABI tidak sampai ikut fusi. Gantinya Perbudhi muncul Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) yang dibentuk dengan bantuan DPP Golkar dan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha (1976).
Di pihak lain muncul majelis-majelis sektarian. Seorang pejabat di Ditjen Bimas Hindu dan Buddha mendirikan Majelis Dharmaduta Kasogatan (1975). Ia juga ikut membidani lahirnya Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (1975) yang berinduk di Taiwan. Bagian kerohanian dari Budhi berubah menjadi Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (1976), sekarang dinamakan Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi). Organisasi lainnya adalah Majelis Rohaniwan Tridharma se-Indonesia (1977), Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (1978), dan Nichiren Soshu Indonesia (1964) yang berinduk di Jepang kemudian menjadi Majelis Agama Buddha Nichiren Soshu Indonesia (NSI).
Dirjen Bimas Hindu dan Buddha (Gde Puja MA) memfasilitasi organisasi sanggha hingga bersatu kembali dan memberinya nama Sangha Agung Indonesia disingkat Sagin (1974). Tetapi tak lama kemudian beberapa biksu kembali memisahkan diri membentuk Sangha Theravada Indonesia (1976). Dua tahun berikutnya, muncul Sangha Mahayana Indonesia. Sejak itu terdapat tiga organisasi biksu. Ketiga sanggha kemudian bersama-sama tujuh majelis mendirikan Walubi, Perwalian Umat Buddha Indonesia (1979).
Golkar sebagai kendaraan politik pemerintah Orde Baru mengambil simpati warga Tionghoa yang telah mengalami trauma dalam kegiatan berpolitik. Dukungan suara dan finansial warga Tionghoa ketika Pemilu tentu sangat berarti. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi nasional warga Tionghoa punya ruang gerak dalam dunia bisnis, sekalipun masih menghadapi diskriminasi. Bidang pekerjaan lain sulit dimasuki, apalagi menjadi pegawai negeri dan anggota ABRI. Untuk menjaga stabilitas politik, pemerintah juga mengawasi organisasi yang anggotanya banyak dari warga Tionghoa. Organisasi-organisasi Buddhis bukan hanya dibina lewat Departemen Agama RI tetapi juga mendapatkan pendampingan dari BAKIN dan Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC).
Wadah Tunggal
Dalam birokrasi pemerintahan, agama Buddha mendapatkan tempat ketika Biro Urusan Hindu Bali di Kementerian Agama RI ditingkatkan statusnya menjadi Ditjen Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu Bali dan Buddha (1966). Setelah menjadi Ditjen Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha (1969) ada sebuah direktorat mengurus agama Buddha yang digabung dengan Hindu. Lebih dari sepuluh tahun kemudian baru urusan agama Buddha dipisahkan dari Hindu, masing-masing memiliki direktorat sendiri (1980).
Pemerintah mengarahkan terselenggaranya Kongres Umat Buddha Indonesia di Yogyakarta (1979) untuk melahirkan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi). Nama ini pemberian Menteri Agama (Alamsyah Ratu Prawiranegara), yang menghendaki adanya satu organisasi mewakili umat Buddha dalam Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama (1980). Walubi memiliki organ Persidangan Sangha-Sangha sebagai lembaga fatwa dengan ketuanya Biksu Ashin Jinarakkhita.
Kongres tersebut mengukuhkan hasil Lokakarya Pemantapan Ajaran Agama Buddha dengan Kepribadian Nasional Indonesia. Keputusannya antara lain mengenai kriteria agama Buddha di Indonesia. Kriteria menjadi penting untuk menyaring aliran yang menumpang hidup memakai nama agama Buddha tetapi tidak berpedoman pada Kitab Suci Tripitaka. Kongres juga menyetujui kode etik menyatakan tekad untuk melaksanakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, padahal sebenarnya Pancasila adalah asas bersama.
Ketika Waisak menjadi hari libur nasional (1983), ketua NSI selaku Sekjen Walubi, menyatakan bahwa Waisak adalah Hari Balas Budi. Nichiren diakui sebagai Buddha zaman sekarang, menggantikan Buddha Gotama. Kongres I Walubi (1986) selain mengganti pengurus, juga menetapkan bahwa NSI tidak memenuhi kriteria agama Buddha, dan melanggar kode etik. NSI dikeluarkan dari Walubi (1987). Pemerintah tidak mencampuri masalah ini dan tetap mengakui eksistensi NSI.
Pemuda Buddhis Indonesia (Pembudi) yang lahir dari lingkungan MUABI (1973) ikut menandatangani Pernyataan Pemuda Indonesia 1986, dan mempersiapkan Kongres Pemuda Buddhis. Pemerintah ikut mengarahkannya dengan mengikutsertakan unsur pemuda majelis-majelis Walubi, melahirkan organisasi Generasi Muda Buddhis Indonesia disingkat Gemabudhi (1986). Begitu pula kelompok wanita dari majelis-majelis Walubi diarahkan untuk membentuk wadah tunggal dengan nama Keluarga Besar Wanita Buddhis Indonesia. Hanya mahasiswa yang mendirikan Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (1988) bebas dari campur tangan pemerintah. Sementara itu, dengan berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, beberapa organisasi Buddhis yang pernah dikenal sebelumnya bubar.
Kasus Tragedi Walubi
Konflik organisasi Buddhis kembali terjadi setelah Munas II Walubi (1992). Biksu Girirakkhito menjadi ketua umum dan sekjennya Budi Setiawan, Direktur Urusan Agama Buddha yang juga adalah polisi. Seorang konglomerat, Dra Siti Hartati Murdaya, menjadi ketua Dewan Penyantun. Peran Widyeka Sabha yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap DPP ditiadakan, sehingga kekuasaan mutlak ada di tangan ketua umum dan sekjen. Terjadi rekayasa sidang paripurna untuk menetapkan AD/ART baru, yang dihadiri oleh pejabat pemerintah yang jumlahnya hampir sama dengan peserta sidang. Rapat-rapat Walubi biasa dihadiri aparat keamanan yang tidak sedikit jumlahnya. Walubi tampak berubah, seperti dikatakan Hartati, “Dulu Walubi hanya mengenal dharma agama yang urusannya vertikal, sekarang ada dharma negara yang urusannya horisontal“ (Suar 168, /9/1999).
Selisih pendapat berlanjut dengan laporan Walubi ke aparat keamanan tentang penyebaran AD/ART palsu. Kittinanda, ketua Panitia Munas yang juga salah satu ketua DPP, diciduk dan diinterogasi di sebuah markas militer (18/7/1994). Ia dipaksa mengakui bersalah. Orang yang kedua yang diciduk, Pramana Winardi, sekretaris Badan Perumus AD/ART yang juga wakil sekjen DPP. Mereka berdua berasal dari Majelis Tridharma. Yang ketiga, Tjoetjoe Alihartono, ketua MBI yang menjadi ketua Badan Perumus AD/ART, juga salah satu ketua DPP Walubi. Karena tuduhan tidak terbukti, Polda Metro Jaya mengeluarkan SP3. Namun atas laporan DPP Walubi kepada Bakorstanasda Jaya, mereka bertiga diciduk lagi. Pemeriksaan dilakukan dengan cara kekerasan, berupa pemukulan dan penyetruman listrik.
Ester Indahyani Jusuf mempertanyakan bagaimana terdapat konspirasi antara Walubi dengan militer. Teror terhadap orang-orang yang berseberangan dengan Walubi, penangkapan dan penyiksaan tokoh-tokoh Buddhis jelas bukan pekerjaan penduduk sipil biasa atau dalam kapasitas yang mungkin dilakukan Walubi secara legal (Glodok Standard, 13/7/1999). Penyiksaan terhadap ketiga tokoh itu, diadukan ke Komnas HAM. Walubi meresponsnya sebagai hal yang mempermalukan aparat keamanan di mata dunia internasional.
Sagin dan MBI diberhentikan dari keanggotaan Walubi dengan alasan karena melanggar disiplin organisasi (15/10/1994). Mereka juga dituduh sesat, menganut sinkretisme besar (Sai Baba) dan sinkretisme kecil (merangkul semua sekte), memecahbelah umat, serta menghidupkan adat Cina. Pada hari yang sama Dirjen Bimas Hindu dan Buddha menerbitkan surat agar seluruh jajaran Departemen Agama mendukung keputusan Walubi tersebut. Sagin dan MBI tidak lagi dibina oleh Departemen Agama. Isu menghidupkan adat Cina membuat berbagai instansi pemerintah lintas sektoral menekan Sagin dan MBI. Kedua organisasi ini mengajukan gugatan lewat PTUN, yang memerintahkan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha serta Walubi untuk menangguhkan pemberhentian Sagin dan MBI dari Walubi. Tetapi keadaan tidak berubah.
Peringatan HUT ke-73 Biksu Ashin Jinarakkhita digagalkan oleh aparat keamanan berdasar laporan Walubi bahwa umat Buddha keturunan Tionghoa mau berdemonstrasi menentang pemerintah. Padahal dalam acara itu banyak sekali umat pribumi yang datang dari daerah-daerah. Walubi dan aparat Departemen Agama berusaha memaksa umat dan wihara binaan Sagin dan MBI untuk pindah ke organisasi lain. Penggalangan dilakukan oleh oknum-oknum militer. Namun umat Buddha tidak terpengaruh oleh bujuk rayu maupun intimidasi tersebut. Direktur Urusan Agama Buddha menawarkan Sagin dan MBI ganti nama, mengganti kepengurusan, atau membentuk yayasan terpisah dari Sagin dan MBI. Karena masih membangkang, mereka dinyatakan sebagai aliran kepercayaan, bukan agama.
Kembalikan Agama pada Pemeluknya
Dengan jatuhnya Orde Baru, reformasi sepertinya menyadarkan Walubi, sehingga menerima kembali Sagin dan MBI (3/11/1998), sekaligus mengembalikan citra dan nama baiknya. Dalam Munas (6/11/1998), DPP Walubi menyebutkan penyesalan atas segala persoalan masa lalu, namun Sagin dan MBI sendiri tidak diikutsertakan sebagai peserta Munas. Ternyata lewat Munas Khusus tersebut Walubi membubarkan diri. Mengapa? Memang ada desakan berbagai kalangan, namun kelihatannya ada alasan lain. Kalau Walubi masih dipertahankan, DPP Walubi dan Hartati harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di masa lalu.
Setelah Walubi bubar, ketiga sanggha, organisasi para biksu, mendirikan Konferensi Sangha Agung Indonesia, disingkat KASI (14/11/1998). KASI didukung oleh MBI, majelis-majelis Tridharma, Therawada, dan Mahayana. Prinsip-prinsap dasar pendirian KASI antara lain demokratis, tidak otoriter, mengakui pluralisme, kebersamaan dalam kesetaraan dan kesamaan martabat, kepemimpinan yang berorientasi pada fungsi dan tujuan lembaga.
Organisasi-organisasi umat awam di luar binaan sanggha-biksu mendirikan Perwakilan Umat Buddha Indonesia, dengan singkatan Walubi dan ketua umumnya Hartati Murdaya (30/12/1998). Pemakaian singkatan nama Walubi ini membuat masyarakat menganggapnya sama seperti Walubi-lama yang telah dibubarkan. Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Mayjen TNI (Purn.) I Wayan Gunawan mengeluarkan surat agar untuk dapat dilayani oleh Departemen Agama, Sagin dan MBI harus mendapatkan rekomendasi dari Walubi. Tujuannya memaksa Sagin dan MBI bergabung dengan Walubi-baru. Departemen Agama memperlakukan Walubi-baru sama seperti Walubi yang sudah dibubarkan, sehingga Walubi-baru, bukan KASI, yang mewakili umat Buddha duduk sejajar dengan MUI, KWI, PGI, dan PHDI.
Namun dalam pertemuan dengan KASI dan majelis-majelis agama Buddha (17/12/1999), Menteri Agama, Malik Fadjar, menegaskan bahwa Departemen Agama akan melayani semua organisasi Buddhis tanpa pandang bulu karena semua adalah mitra pemerintah. Ia mengatakan “Kembalikan Agama pada Pemeluknya”. Wadah tunggal bukan lagi keharusan. Dirjen Bimas Hindu dan Buddha memang kemudian mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Kakanwil Departemen Agama seluruh Indonesia untuk membina kembali MBI dan Sagin di luar Walubi.
Kasus Imlek dan Tradisi Tionghoa
Menurut Ester Indahyani Jusuf, kehadiran Walubi diduga sebagai organ bentukan pemerintah dan militer dalam penerapan politik rasial. Organisasi ini menjadi wadah bagi agama Tionghoa. Sepintas peraturan yang dikeluarkan pemerintah menguntungkan pihak Buddha, tetapi jelas merugikan Konghucu. Penyamarataan beragam ajaran menjadi satu agama Buddha membuat tidak jelas yang mana Buddha asli, yang mana bukan (Glodok Standard,13/7/1999).
Dalam rangka pembinaan kehidupan beragama Buddha, Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha melayangkan surat kepada Walubi (11/1/1993) perihal pemberitahuan agar Walubi menyampaikan petunjuk-petunjuk bahwa:
1. Tahun Baru Imlek bukan termasuk salah satu hari raya umat Buddha, karena itu tidak dirayakan di wihara.
2. Tidak mengadakan kegiatan-kegiatan di luar ajaran Buddha yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Walubi merespons dengan menerbitkan surat perihal larangan merayakan Tahun Baru Imlek di wihara. Timbul reaksi keras dari mana-mana, karena surat-surat tersebut ditangkap sebagai pelarangan sembahyang pada hari raya Imlek. Banyak wihara yang tutup pada hari itu (23/1/1993), dan umat Buddha mendapat tekanan dari aparat pemerintah yang melakukan operasi razia Imlek.
GUBSI menggugat Dirjen Bimas Hindu dan Buddha serta Walubi ke PTUN. Pemerintah, dalam hal ini Dirjen yang memeluk agama Hindu sudah terlalu jauh mencampuri urusan intern umat Buddha (Bisnis Indonesia, 29/1/1993). Peristiwa ini disebut “malapetaka” oleh oleh Ketua Umum Walubi, yang menyampaikan maaf kepada seluruh umat Buddha di Indonesia (Pos Kota, 9/2/1993).
Dirjen menjelaskan telah terjadi salah persepsi di kalangan masyarakat. Yang dilarang itu keramaiannya, seperti mengarak barongsai, menggotong toapekong dan bentuk-bentuk atraksi lain (Merdeka, 28/1/1993). Beberapa wihara memang merayakan Imlek dalam arti membentuk kepanitiaan dan melakukan pertunjukan-pertunjukan khas Cina. Sesuai dengan Inpres No. 14/1967, masyarakat Cina di Indonesia seyogianya tidak berorientasi ke negara leluhur dengan segala tradisi dan budaya Cinanya (Editor No. 20/Tahun VI, 6/2/1993).
Mereka yang setia pada tradisi leluhur menggunakan tempat ibadah dan kegiatan keagamaan Buddha sebagai benteng terakhir untuk mempertahankan budaya Tionghoa. Pemerintah Orde Baru memandang perlu melakukan penataan terhadap lembaga keagamaan Buddha dengan membersihkannya dari anasir-anasir adat Tionghoa. Berdasar Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 455.2-360 Tahun 1988 tentang Penataan Klenteng, tidak dibenarkan bangunan keagamaan kepercayaan tradisional Cina menggunakan sebutan wihara atau cetya. Wihara dan cetya dilarang memperlihatkan simbol-simbol/budaya Tionghoa.
Keadaan berubah setelah rezim Orde Baru tumbang. Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menerbitkan Keppres RI No. 6 Tahun 2000 mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967. Tahun Baru Imlek menjadi hari libur fakultatif di tahun 2001. Berikutnya melalui Keppres RI No. 19 Tahun 2002, Presiden Megawati mengumumkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional, berlaku mulai tahun 2003.
Kasus Utusan Golongan MPR
Diakui atau tidak, petinggi Walubi yang oportunis berusaha menunjukkan bahwa suara umat Buddha mengalir ke salah satu kontestan Pemilu. Menjelang Pemilu 1997 terjadi “kuning-isasi” (kuning adalah warna Partai Golkar, editor) pada perayaan Waisak di Borobudur (Duta, 30/4/1999). Untuk mengembangkan kehidupan demokrasi sejumlah tokoh yang tidak sejalan dengan Walubi mendirikan Partai Buddhis Demokrat Indonesia disingkat Parbudi (16/2/1999). Parbudi tidak mengikuti pemilihan umum sebagai peserta, melainkan berkoalisi dengan partai lain. Di Jakarta, perjanjian koalisi dilakukan dengan Partai Keadilan dan Persatuan ((21/4/1999). Yang diharapkan, barangkali PKP memberi tempat bagi umat Buddha di antara calon-calon anggota legislatifnya.
Walubi di satu pihak dengan MBI dan KASI di pihak lain terlibat konflik sehubungan dengan pengusulan calon anggota MPR utusan golongan. Pengumuman KPU tentang hasil verifikasi, mencantumkan nama MBI di antara organisasi golongan agama (Kompas, 5/8/1999). Namun Walubi berhasil membatalkannya. Dalam perebutan satu kursi itu Walubi mendapatkan rekomendasi dari Departemen Agama. Utusan golongan agama tentu bukan utusan Departemen Agama, karena itu MBI didukung oleh KASI dan majelis-majelis di luar Walubi yang memosisikan diri sebagai bagian dari perjuangan reformasi dan selama ini tidak tersalurkan aspirasinya (Media Indonesia, 14/8/1999).
Demo pendukung MBI di KPU menolak figur yang telah menjungkirbalikkan tata-nilai agama menjadi utusan golongan Buddha. Memakai istilah Gus Dur, seharusnya ulama yang mengatur umat, bukan sebaliknya. Selain dikenal sebagai fungsionaris Golkar, ketua Walubi disebut sebagai bagian dari tim sukses Habibie, yang mengangkatnya menjadi anggota DPA. Demo dibalas dengan demo pendukung Walubi-baru. Terjadi saling gugat karena tokoh yang merasa nama baiknya dicemarkan mengadu ke Polda Metro Jaya (Detak 57/II, 24/8/1999). Akhirnya pertarungan dimenangkan oleh Walubi-baru.
Sepanjang era Orde Baru, kebanyakan umat Buddha mendekat ke Golkar, tetapi hanya ada seorang yang berhasil menjadi anggota DPR. Pada Pemilu-Pemilu berikutnya, tidak ada lagi utusan golongan. Beberapa umat Buddha muncul sebagai calon anggota DPD dan DPR atau DPRD yang menyebar di beberapa partai. Di antaranya ada yang tampil dengan kendaraan Partai Kebangkitan Bangsa, walau tidak sampai cukup mendapatkan suara. Yang berhasil menjadi anggota DPR atau DPRD dari Partai Demokrat dan PDI-P.
Kasus Buddha Bar
Demo lain dilakukan belum lama ini untuk menolak Buddha Bar. Bar yang memakai nama dan simbol agama Buddha itu resmi dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta (24/11/2008). Sebagian umat terkecoh karena nama Buddha dikonotasikan terkait dengan praktik vegetarian, tidak mengonsumsi minuman keras, dan menjauhi hiburan yang tidak senonoh.
Pemerintah yang seharusnya mengayomi kehidupan beragama tidak mengambil inisiatif dan bertindak aktif menyelesaikan kasus yang mengandung unsur penodaan agama ini. Sepertinya tidak benar-benar ada perlindungan negara terhadap agama Buddha. Sepertinya tidak ada yang mewakili umat Buddha di parlemen. Sepertinya umat Buddha bukan bagian penting dari bangsa ini. Atau memang semuanya tidak memiliki keberanian dan tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan kapitalis yang bersekutu dengan kekuasaan?
Umat Buddha membentuk Forum Anti Buddha Bar yang membuat pernyataan sikap, mempertemukan pihak-pihak yang terlibat, melakukan lobi-lobi dan mulai menempuh langkah hukum. Somasi disusul dengan pelaporan kasus ke Polda Metro Jaya dengan delik penodaan/penistaan agama sia-sia saja. Maka demo-demo menjadi pilihan, di Jakarta dan daerah. Demo di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) menghasilkan penarikan kembali Sertifikat Pendaftaran Merek Buddha Bar yang dinyatakan tidak berlaku lagi pada tanggal 15 April 2009. Memang menurut pasal 5a UU No. 15/2001 tentang Merek dinyatakan bahwa suatu merek tidak dapat didaftar apabila bertentangan dengan moralitas agama dan ketertiban umum. Pihak Buddha Bar menurunkan papan namanya dan menyatakan mengganti nama menjadi Bataviasche Kunskring.
Namun beberapa hari kemudian nama Budha Bar muncul lagi dan bar beroperasi seperti biasa. Mereka menggugat pencabutan nama bar lewat PTUN. Walau putusan hakim menolak gugatan tersebut, Buddha Bar masih saja bertahan. Berulang-ulang demo pun berlanjut. Bahkan peserta demo sampai mengadakan ritual di lokasi Budha Bar. Banyak aktivis lintas agama mendukung. Ada rangkaian roadshow sampai ke daerah-daerah, talkshow di berbagai stasiun radio dan televisi, aksi pengumpulan tanda-tangan menolak Buddha Bar dalam berbagai bentuk.
Akhirnya Forum Anti Buddha Bar mengajukan gugatan perdata. Putusan pengadilan mengabulkan sebagian permohonan penggugat (1/11/2010). Penggunaan nama Buddha-Bar, juga penggunaan patung, ornamen, dan simbol agama Buddha untuk restoran itu merupakan pelanggaran hukum karena jelas tidak sesuai dengan pasal 1365 KUHPerdata, bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kepatutan. Terdapat unsur penodaan agama sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 156 dan 156 huruf a KUHP. Tidak hanya itu, Buddha Bar juga bertentangan dengan Pasal 5 UU Merek karena merek yang didaftarkan bertentangan dengan ketertiban hukum, pasal 1 ayat 3 Keputusan Gubernur tahun 1994 tentang petunjuk pelaksanaan industri pariwisata.
Watak Demokratis dari Ajaran Buddha
Berbagai contoh “keributan” dan demonstrasi pada kalangan pengikut Buddha di atas kiranya sudah memperlihatkan salah satu segi pentingnya karakter demokratis agama Buddha.
Agama Buddha tidak didasarkan pada otoritas. Pendekatannya bersifat demokratis. Buddha mendobrak sistem kasta yang sarat dengan diskriminasi, dan membuka pintu ordo yang disebut sanggha bagi semua orang, tanpa memandang kasta dan kedudukan sosialnya (Huston Smith, 1985). Bisa jadi sanggha adalah lembaga demokratis yang tertua di dunia, umurnya sekarang hampir dua puluh enam abad. Buddha menetapkan peraturan (winaya) bagi anggota sanggha, bahkan memperbaiknya, dengan mempertimbangkan opini masyarakat. Ketika menolak permohonan Ratu Prajapati yang ingin ditahbiskan menjadi biksuni, Buddha mengantisipasi reaksi masyarakat yang akan timbul terhadap perubahan nasib kaum perempuan. Perempuan di zaman itu tidak memiliki kebebasan dan diperlakukan secara tidak adil, bahkan dianggap mengotori kesucian. Ia membiarkan sekitar lima ratus orang perempuan melakukan long-march berunjuk rasa. Setelah mendapatkan simpati dan respons yang positif dari masyarakat, Buddha menyetujui untuk menahbiskan perempuan dan membentuk sanggha biksuni.
Demo bukan hal yang asing bagi pengikut Buddha. Ketika sejumlah biksu mendukung aksi di KPU, atau ketika mendampingi demo anti Buddha Bar, sempat terjadi pro dan kontra. Banyak umat berpendapat bahwa para biksu seharusnya menyingkir dari keduniawian. Di Thailand, aksi massa sudah terbiasa melibatkan kelompok biksu untuk berdoa dan memberkati. Di Tibet para lama atau biksu berulang kali melakukan unjuk rasa dan menghadapi penindasan. Pandangan hidup dan praktik yang mempertahankan cara-cara damai, tanpa kekerasan mendapatkan simpati dunia dan Dalai Lama menerima penghargaan Hadiah Nobel Perdamaian. Begitu pula dengan penerima Hadiah Nobel lainnya, Aung San Suu Kyi. Sungguhpun partainya menang dalam pemilihan umum (1990) ia tidak diberi kesempatan memimpin, bahkan dikenakan tahanan rumah oleh junta militer. Walau tak berhasil, para biksu di Myanmar pernah ramai-ramai turun ke jalan menentang kezaliman rezim penguasa.
Di Vietnam biksu-biksuni menggunakan berbagai cara yang disebut sebagai kekuatan spiritual. Gagal dengan melobi, menulis, berdoa bersama, sampai berdemo, mereka mogok makan dan bakar diri untuk membangkitkan kesadaran dan belas kasih. Membakar diri adalah sebuah bentuk pengorbanan untuk menjadi pelita di kegelapan. Salah satunya seorang biksuni, Nhat Chi Mai (1966) membakar dirinya di wihara dengan meninggalkan surat untuk presiden Vietnam Utara dan Selatan, memohon agar perang dihentikan. Tindakan itu menggerakkan hati jutaan rakyat dan membangkitkan kekuatan cinta dari seluruh dunia.
Egalitarianisme dijelaskan oleh Buddha dengan menunjukkan bahwa berbeda dari binatang dan tumbuh-tumbuhan yang beragam spesies, semua manusia merupakan satu spesies yang sama. Martabat dan derajatnya sama. Manusia tidak pantas digolongkan berdasar keturunan, tetapi bisa digolongkan menurut apa yang dia lakukan (Sn. 594-656).Pada semua kasta dapat ditemukan orang yang berbuat jahat dan berpandangan sesat ataupun orang yang berbuat baik dan berpandangan benar (D. III, 82-83). Hukum alam termasuk karma bekerja dengan cara yang sama bagi semua orang. Setiap orang merupakan sasaran penderitaan, penyakit, dan kematian, artinya menghadapi masalah kemanusiaan yang sama. Karena itu setiap manusia memiliki hak yang sama untuk mengakhiri penderitaan dan mencapai kebahagiaan. Semua manusia tanpa kecuali memiliki potensi dan bisa menjadi Buddha.
Respek pada Hak Asasi Manusia menyangkut persamaan hak dan kebebasan bagi setiap orang untuk menjadi dirinya sendiri. Tidak ada tuan dan budak. Setiap orang adalah tuan bagi dirinya sendiri (Dhp. 380). Namun Buddha menolak keakuan, dan menyatakan bahwa tidak ada ego yang berdiri sendiri (Dhp. 279). Segala sesuatu saling bergantungan, saling mengada (interbeing). Saling pengertian dibangun dengan mengumpamakan orang lain dengan diri sendiri dan sebaliknya (Dhp. 130). Pemikiran ini menghadirkan kesadaran untuk menghargai dan mencintai semua bentuk kehidupan seperti halnya mencintai diri sendiri. Penderitaan orang lain juga menjadi penderitaan diri sendiri, sehingga timbul belas kasih dan kesediaan untuk berkorban.
Sekalipun memiliki semangat misioner, agama Buddha memberi kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih dan menentukan pendiriannya sendiri. Keyakinan tidak boleh dipaksakan, yang penting adalah kebaikan demi mengatasi penderitaan (D. III, 56-57). Demokrasi hanya dimungkinkan jika ada kebebasan berpikir, bukan persoalan iman. Segala sesuatu dibentuk oleh pikiran (Dhp. 1). Bahkan terhadap ajaran Buddha sendiri umat dianjurkan untuk tidak lekas percaya, melainkan harus bersikap kritis dan objektif. Jika terbukti tidak benar dan tidak berguna, tentu harus ditolak (A. I, 188-192). Apa yang diajarkan oleh Buddha bersifat terbuka dan menghargai keterbukaan (D. II, 100). Buddha mematahkan otoritas dan monopoli seseorang atau segolongan orang atas kebenaran (M. II, 171). Ia menghargai pluralisme. Karena mempertimbangkan kebinekaan, Buddha mengajar dengan bermacam-macam metode. Toleransi yang bersifat positif menjadi sebuah kebutuhan. Orang yang berbuat bajik dan bersikap menyenangkan harus dilayani dan dihormati, kendati mungkin pendapatnya berbeda (A. I, 127).
Pengambilan keputusan bersama, kemerdekaan mengeluarkan pendapat (Vin. I, 115), serta memberi kesempatan bagi perbedaan pendapat dan kritik (D. I, 3) tidak asing bagi pengikut Buddha. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan negara, pandangan ini memberi tempat bagi oposisi, dan mendasari apa yang disebut sebagai persamuhan, permusyawaratan, dan kemufakatan. Untuk menyatukan kepentingan berbagai kelompok tentu perlu kesepakatan-kesepakatan yang kompromistis dan pragmatis tanpa menyimpang dari kebenaran. Buddha juga menerapkan prinsip desentralisasi dan pendelegasian wewenang sebagaimana halnya mengizinkan para murid-Nya untuk menahbiskan sendiri biksu baru di mana saja (Vin. I, 22).
Pemikiran di atas jelas tidak cocok dengan pemerintahan autokrasi atau diktator dan feodal. Menurut Piyadassi, demokrasi politik non-Barat pertama kali terbentuk di India dua setengah abad yang lalu, di desa yang disebut ”Panchayat”. Beberapa di antaranya berkembang di bawah pengaruh agama Buddha. Di zaman Buddha sudah dikenal sistem pemerintah semacam republik. Misalnya Licchavi (kaum Vajji) yang diperintah oleh senat para sesepuh. Namun kebanyakan negara bersifat feodal, dan kerajaan-kerajaan Buddhis menempatkan raja sebagai dewa-raja dengan kekuasaaan yang nyaris absolut. Buddha memang tidak melakukan intervensi dalam masalah politik untuk mengubah bentuk suatu pemerintahan. Belakangan pengaruh Barat telah menghadirkan demokrasi di negara-negara Buddhis sehingga monarki berubah menjadi republik, atau setidak-tidaknya monarki konstitusional.
Kontrak Sosial dan Kewajiban Pemerintah
Menurut Agganna-sutta fenomena demokrasi dan kedaulatan di tangan rakyat dapat diikuti dari sejarah lahirnya suatu kontrak sosial untuk membentuk pemerintahan. Pada mulanya manusia dilahirkan tanpa perbedaan kedudukan. Masing-masing dapat memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi kehidupan yang damai mulai terganggu ketika manusia yang serakah mencuri, yang licik menipu, yang kuat menindas yang lemah. Masyarakat memilih salah seorang di antaranya untuk mengadili orang-orang yang bersalah dan membayar jasanya dengan sebagian dari hasil ladangnya. Penguasa itu dipilih oleh orang banyak, diangkat melalui persetujuan rakyat. Dalam perkembangan selanjutnya penguasa disebut kesatria karena ia berkuasa atas tanah pertanian yang merupakan tanah negara. Dan disebut raja, karena ia dicintai rakyat mengingat kepatuhannya menjalankan kebajikan, hukum, dan keadilan (D. III, 92-93).
Penguasa mendapat mandat untuk bekerja memenuhi kepentingan rakyat. Kekuasaan dimiliki hanya dalam rangka memenuhi kewajibannya. Pandangan ini tidaklah menobatkan seorang penguasa dengan hak Ilahi sehingga ia dapat memerintah dengan sesuka hati. Penguasa harus tunduk pada kehendak rakyat, persis sebagaimana konsep politik modern yang memandang suara rakyat adalah suara Tuhan. Hanya saja kekuasaan sering memanfaatkan agama untuk legitimasi sehingga para raja disamakan dengan dewa atau putra Tuhan. Kekuasaan juga sarat dengan nepotisme, menempatkan sanak keluarga pada posisi elite. Sekali menjadi penguasa, seorang raja meneruskan kekuasaan atau mengucurkan kekayaan kepada keturunannya. Pengakuan atas golongan penguasa yang berlanjut turun-temurun (atau yang terlalu lama berkuasa) membuat penguasa mudah lupa bahwa jabatannya itu datang karena kewajiban, bukan hak.
Pemikiran Buddhis menginginkan negara kesejahteraan, bukan negara kekuasaan. Kewibawaan pemerintah, kedaulatan, dan ketahanan suatu bangsa atau negara sangat tergantung pada kesejahteraan rakyatnya. Buddha mengemukakan tujuh syarat kesejahteraan negara tersebut (D. II, 74-75) adalah:
1. Sering mengadakan pertemuan dan permusyawaratan yang mengikutsertakan orang banyak (menjalankan apa yang sekarang ini kita sebut demokrasi).
2. Berhimpun dengan rukun, berkembang dengan rukun, mencapai mufakat dan menyelesaikan segala sesuatunya dengan rukun.
3. Menjunjung konstitusi yang berlaku, tidak memberlakukan apa yang belum diundangkan, tidak juga mengabaikan apa yang telah diundangkan.
4. Menghormati dan menyokong para sesepuh atau pemimpin, juga memperhatikan amanat mereka.
5. Melindungi dan menghormati kedudukan wanita (atau pihak yang lemah).
6. Memelihara dan tidak mengabaikan kewajiban agama.
7. Melindungi orang-orang suci dan bijaksana.
Demokrasi ditempatkan dalam urutan pertama. Demokrasi merupakan Buddha sedangkan konstitusionalisme merupakan Bodhisattwa, demikian tulis Tokusuke (Nakae Chomin, 1989). Bodhisattwa adalah calon Buddha. Konstitusionalisme patut dihormati, demokrasi patut dicintai. Konstitusionalisme sekadar penginapan yang pada akhirnya harus ditinggalkan, sedangkan demokrasi merupakan rumah terakhir. Kenapa? Karena rakyat yang berkuasa lewat demokrasi.
Demokratisasi tidak hanya menyangkut sistem pemerintahan, ideologi dan politik, tetapi juga sistem lain, seperti hukum, ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya. Pemantapan hukum harus diikuti komitmen dari para pemimpin dan birokrat untuk tidak melanggar hukum dalam kondisi apa pun, bersikap adil dan menghormati hak asasi manusia. Pertumbuhan ekonomi diarahkan untuk melenyapkan kemiskinan dan menjamin agar setiap orang hidup puas dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya. Sistem kemasyarakatan memberi akses menuju sumber daya sosial yang terbuka bagi semua orang (Nandasena Ratnapala, 1992).
Terdapat sepuluh kewajiban (dasa raja-dhamma) yang akan menunjang posisi seorang pemimpin yang demokratis. Etika kekuasaan menyentuh semua kewajiban ini (Ja. V, 378). Kewajiban pertama mengenai kedermawanan (dana).Pemimpin wajib memberi, setidak-tidaknya membuka kesempatan agar rakyat sejahtera. Kesejahteraan ini tentu terkait dengan perekonomian. Kedua, penguasa harus memiliki moral yang baik (sila) sehingga pantas dijadikan teladan. Ketiga, kesediaan berkorban (pariccaga), dengan mengutamakan kepentingan umum. Dalam praktiknya sehari-hari memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa mementingkan diri sendiri.
Keempat, integritas atau tulus, jujur, dapat dipercaya (ajjava), mewujudkan pemerintahan yang bersih. Kelima, kebaikan hati termasuk bersikap menyenangkan (maddava). Kelihatannya lebih mudah berbaik hati kepada orang-orang kaya dan penjilat, karena itu keberpihakan kepada yang lemah tetapi benar harus mendapat perhatian. Kebaikan hati tidak mengabaikan tanggungjawab dan keadilan. Keenam, menjalankan hidup sederhana (tapa).Kesederhanaan tentu menuntut kemampuan untuk mengendalikan diri dan menjalankan disiplin. Ketujuh hingga kesembilan, tanpa amarah (akkodha), tanpa kekerasan (avihimsa), dan kesabaran (khanti) saling berhubungan. Amarah penguasa yang kurang sabar dapat menyusahkan dan mudah menimbulkan tindak kekerasan. Karena itu perasaan bermusuhan atau kebencian dan iktikad buruk harus dikalahkan dengan cinta kasih. Orang yang bijaksana menyadari bahwa di dunia ini tidak ada seorang pun yang selalu dipuji atau selalu dicela, sehingga akan bersikap sabar terhadap kritik bahkan fitnah sekalipun. Kesepuluh, penguasa tidak boleh bertentangan dengan kebenaran atau melawan kehendak rakyat (avirodhana).
Buddha tidak ingin orang-orang menggantungkan diri kepada sesosok figur pemimpin. Ia menganjurkan agar pengikut-Nya menyandarkan diri kepada ajaran dan hukum kebenaran yang dinamakan Dharma. Dengan itu setiap orang menjadi pemimpin dan pelindung bagi dirinya sendiri (D. II, 100). Pendapat serupa agaknya diungkapkan oleh Thomas Jefferson (1743-1826), presiden ketiga Amerika Serikat, bahwa, pengalaman mengajarkan manusia harus dipercaya menguasai dirinya sendiri tanpa didikte seorang pemimpin. Kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Buddha adalah bagaimana membuat seseorang meningkatkan kualitas dirinya sehingga mampu untuk tidak menyandarkan nasib kepada orang lain. Karena itu kepemimpinan bukan sekadar membuat orang lain terpengaruh dan tunduk, apalagi menjadi tergantung pada diri si pemimpin.
Penyebab Krisis
Mengangkat pemimpin yang tidak bermoral dinyatakan oleh Buddha sebagai salah satu penyebab kemerosotan. Penyebab kemerosotan lain adalah: kegagalan menemukan kembali apa yang hilang, kelalaian memperbaiki apa yang rusak, pemborosan karena konsumsi berlebihan (A. II, 249). Aung San Suu Kyi menerjemahkannya ke dalam bahasa modern. Katanya, krisis nasional terjadi ketika kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang tidak memiliki integritas dan kebijaksanaan. Yang hilang, yaitu hak-hak demokratis yang diambil oleh kediktatoran. Yang rusak, yaitu nilai-nilai moral dan politik yang dibiarkan memburuk. Mengenai pemborosan dihubungkannya dengan perekonomian yang diurus secara ceroboh.
Dalam konteks Indonesia, kemerosotan seperti itu menghadirkan antara lain konflik dan ancaman disintegrasi, masalah HAM dan ketidakadilan atau gagalnya penegakan hukum, pengangguran, dan kemiskinan. Walau kegiatan keagamaan semakin marak, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan tindak kriminal tidak berkurang. Kebringasan massa yang melakukan kekerasan dan mengambil korban nyawa pun melibatkan kelompok agama. Ekspresi keagamaan yang menolak pluralisme, fanatis memutlakkan kebenaran sendiri, eksklusif dan sektarian, membuat orang memandang golongan lain sebagai musuh. Konflik antar-umat beragama seringkali tumpang tindih dengan ketidakadilan dan kesenjangan sosial ekonomi. Sering kita melihat penganutan nilai ganda dan disparitas antara apa yang diajarkan agama dengan sikap hidup dan perilaku. Kesenjangan dalam hidup beragama ini agaknya lebih parah dari kesenjangan sosial-ekonomi.
Pengalaman menunjukkan bahwa komunitas-komunitas berbeda agama sulit bersatu ketika mimbar agama dimasuki kepentingan politik. Pada saat Pemilu, muncul seruan agar umat agama yang satu jangan memilih kontestan beragama lain. Dalam hal mendirikan rumah ibadah, sering terjadi kekisruhan. Untuk kepentingan politik, atau untuk mencari legitimasi, suatu justifikasi dan legalisasi kebijaksanaan dan tindakan politik cenderung memanipulasi agama dan mereduksi pesan-pesan suci agama. Agama mudah diperalat untuk saling menghancurkan antar sesama manusia. Agama tidak lagi melindungi mereka yang benar dan lemah. Minoritas tidak memiliki rasa aman.
Reformasi di Indonesia sudah berjalan lebih dari dua belas tahun. Secara struktural tatanan pemerintahan mengalami perubahan. UUD 1945 saja diubah empat kali, dan agaknya akan menyusul amandemen berikutnya. Namun krisis tidak juga berakhir. Belum ada pemulihan ekonomi dan perbaikan kebijakan publik yang berpihak pada rakyat. Ketergantungan pada negara asing pun semakin besar. Kemajuan dalam hal kebebasan pers, pembagian kekuasaan termasuk otonomi daerah, pemilihan umum sampai pemilihan kepala daerah secara langsung dan munculnya banyak partai, mengundang pertanyaan karena belum mengubah nasib rakyat.
Adam Curle melihat bahwa dalam masalah sosial orang yang berkedudukan lemah sering dijadikan kambing hitam dan dikorbankan. Kenapa orang-orang yang tak berdaya disalahkan? Orang-orang yang berkuasa, yang kaya dan serakah, yang telah memberi kontribusi hingga terciptanya kondisi yang membuat orang-orang kecil mengganggu keamanan dan ketertiban. Sebenarnya mereka mencontoh kejahatan dalam bentuk lain yang dilakukan oleh orang-orang besar yang mengandalkan kekuasaan dan kekayaan.
Keterbatasan demokrasi
Jika demokrasi diartikan sebagai kebebasan, kebebasan bisa bagus, bisa juga menimbulkan kekacauan. Piyadassi mengingatkan tentang keterbatasan demokrasi. Demokrasi memungkinkan terjadinya berbagai tindakan yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kemenangan. Kemenangan ditentukan oleh suara terbanyak, padahal kebenaran sesungguhnya tidak ditentukan oleh jumlah suara. Banyaknya Golput seharusnya menunjukkan kegagalan demokrasi, namun dianggap tidak memengaruhi legitimasi pemilu. Janji-janji politik sering hanya merupakan kebohongan Pemilu biasanya dipenuhi intrik-intrik, kecurangan, jual beli suara dan konflik. Massa pendukung mudah terjerumus dalam tindakan anarki dan berbagai bentuk kekerasan. Ketika ketertiban, ketenteraman, kedamaian, dan kerukunan terganggu, pantas dipertanyakan apa demokrasi pasti akan meningkatkan kualitas hidup manusia?
Tanpa uang biasanya tidak bisa memenangkan Pemilu. Agar bisa mengembalikan modal yang dipakai selama Pemilu, si pemenang akan berbagi kesempatan dengan sekutunya untuk ikut berkuasa dan menjadi lebih kaya, termasuk korupsi. Kepentingan umum menjadi kepentingan pribadi atau partai dan golongan. Agaknya tidak ada wakil rakyat, yang ada wakil partai. Karena itu demokrasi perlu disertai kearifan dan tanggung jawab moral. Praktik demokrasi menghendaki kondisi yang mendorong pertumbuhan potensi manusia untuk secara cerdas bisa memilih yang terbaik bagi individu dan bagi masyarakatnya. Kebebasan berpikir, berbicara, dan bertindak bukan merupakan tujuan. Yang menjadi tujuan adalah bebas dari penderitaan, menyangkut diri sendiri ataupun pihak lain.
Penutup
Gus Dur pernah berkata, negara tidak perlu mengakui sebuah agama, karena tanpa pengakuan negara, agama itu tetap hidup. Negara tidak boleh mengatur kehidupan intern agama, atau membiarkan kekuasaannya disalahgunakan untuk kepentingan segolongan penganut agama tertentu dan menekan yang lain. Umat Buddha tentu berterima-kasih kepada pemerintah yang menempatkan agamanya setara dengan yang lain. Namun pengalaman menunjukkan bahwa di bawah bimbingan pemerintah, justru telah terjadi pemaksaan dan rekayasa berupa praktik anti-demokrasi, yang mengandung unsur-unsur pelanggaran HAM. Pembinaan agama dilakukan untuk kepentingan yang bersifat politis. Pemerintah telah mencampuri terlalu jauh urusan intern agama Buddha. Terdapat konspirasi aparat dan pengusaha, yang memanfaatkan organisasi agama untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri.
Reformasi seharusnya menumbuhkan semangat demokrasi yang dewasa atau bertanggung jawab, yaitu demokrasi yang mempersatukan bukan menceraikan. Kita mengubah paradigma, dari autokratis ke demokratis, sentralistis ke desentralisasi, vertikal hierarkis ke horisontal egaliter, feodalistis ke komunalistis, seragam ke beragam, budaya tertutup ke budaya terbuka, eksklusif ke universal. Pemikiran keagamaan pun perlu semakin menghargai pandangan inklusif dan pluralisme.
Perjumpaan agama-agama menjadi rahmat yang membuat kita bisa saling berbagi dan belajar. Misi kita yang beragama bukan memaksakan kebenaran kita sendiri kepada orang lain, tetapi untuk hidup sesuai dengan kebenaran-kebenaran yang kita sadari, untuk memahami dan menyatakan harmoni batin itu dalam setiap bagian kehidupan kita. Kebenaran bukan pembenaran, dan agama bukanlah alat untuk menyakralkan kekuasaan yang mengabaikan cinta dan kemanusiaan.
Daftar Pustaka
Curle, Adam. “Peace & Reconciliation for the Present & Future”, Seeds of Peace, Vol. 11, No. 3, 1995.
Aung San Suu Kyi. Bebas dari Ketakutan. Diterjemahkan oleh Sugiarta Sriwibowo. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993.
Dhammananda, K. Sri. What Buddhists Believe, Taipei: The Corporate Body of the Buddha Educational Foundation, 1993.
Ekoputro, Zaenal Abidin dkk. Berpeluh Berselaras Buddhis-Muslim Meniti Harmoni. Depok: Kepik Ungu, 2011.
Chomin, Nakae. Perbincangan Tiga Pemabuk Tentang Pemerintahan. Diterjemahkan oleh Sylvia. Jakarta: Gramedia, 1989.
Coppel , Charles A. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah PSH. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Lathouwers, M. A. “Y. A. Ashin Jinarakkhita, Agama Buddha Indonesia di Antara Benua Timur dan Barat”, Manggala,Okt-Nov. 2002.
Oetama, Jakob. “Stavira Ashin Jinarakkhita, Bikhu Pertama Indonesia Abad XX”, Intisari, Oktober 1963.
Piyadassi. Spektrum Ajaran Buddha. Diterjemahkan oleh Hetih Rusli dkk. Jakarta: Yayasan Pendidikan Buddhis Tri Ratna, 2003.
Ratnapala, Nandasena. Buddhist Sociology. Delhi: Sri Satguru Publications, 1993.
Salmon, Cl. dan D. Lombard. Klenteng-Klenteng Masyarakat Tionghoa di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1985.
Smith, Huston. Agama-Agama Manusia. Diterjemahkan oleh Saafroedin Bahar, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
Slametmulyana. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1979.
Sugianto, F. “Buddha Bar dalam Perspektif Yuridis”. Manggala edisi I, 2009.
—— “Buddha Bar, Kapan Bubar”. Manggala edisi IV, 2010.
Tabloid Berita Mingguan, Suar 168, September 1999.
Yusuf, Slamet Effendy dan Benny Susetyo. “Buddha Bar dan Perlindungan Umat Beragama”. Sinar Harapan, 26 Februari 2009.
Wijaya-Mukti, Krishnanda. Kehidupan Beragama di Tengah Krisis Nasional. Makalah pada Seminar Aktualisasi Agama dalam Konteks Perubahan Sosial, Program Studi Ilmu Perbandingan Agama Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 23 Agustus 2001.
—– Wacana Buddha-Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan & Sangha Agung Indonesia, cet. ke-3, 2006.
—– ”Perempuan dan Demokrasi dalam Perspektif Agama Buddha.” Dalam Perempuan, Agama & Demokrasi. Editor M. Subkhi Ridho. Yogyakarta: LSIP, 2007.