Deregulasi Mental
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Hidup mengenal banyak peraturan. Tanpa peraturan setiap individu akan berlaku sekehendak hati, sehingga dengan mudah menindas pihak lain dan merugikan kepentingan orang banyak. Hak dan kewajiban manusia di tengah keluarga dan masyarakatnya perlu diatur agar kelangsungan hidup manusia terjaga sesuai dengan martabatnya.
Peraturan dalam agama Buddha, yaitu Winaya dimaksudkan untuk membimbing manusia agar terlepas dari penderitaan. Kata Winaya berarti suatu ketentuan yang membimbing ke luar dari derita atau melenyapkan segala tingkah laku yang menghalangi kemajuan dalam Jalan Pelaksanaan Dharma. Peraturan itu ditetapkan dalam menegakkan Dharma atau kebenaran, karena kebenaran dapat dipertahankan apabila peraturan dilaksanakan dengan baik. Peraturan tanpa memihak pada kebenaran cuma omong kosong. Peraturan juga ditetapkan untuk menegakkan Sanggha (organisasi siswa), karena peraturan yang dilaksanakan dengan baik menjamin kelangsungan hidup organisasi. Peraturan itu sendiri jelas akan memberi manfaat kepada orang yang menaatinya.
Dengan menaati peraturan, para siswa bisa menghindari rintangan, hidup damai, sehingga memungkinkan terwujudnya kebahagiaan. Mereka yang belum bahagia menjadi bahagia dan mereka yang bahagia menjadi lebih bahagia lagi. Melaksanakan peraturan berarti melindungi diri dari kesukaran dan membersihkan diri dari kesalahan atau kotoran batin, baik dalam hidup sekarang atau di kemudian hari. Peraturan tersebut juga melindungi mereka yang benar dengan mengendalikan orang-orang yang tidak benar, yang tidak teguh menaati kebenaran dan mengganggu pihak lain.[1]
Buddha membedakan peraturan untuk umat yang menempuh hidup berkeluarga dan peraturan untuk para siswa yang rahib. Peraturan untuk umat merupakan ketentuan yang bersifat moral semata-mata, sedangkan untuk para rahib hingga mengatur cara hidup dan tata-tertib atau disiplin hidup sehari-hari. Peraturan bagi biksu diikuti sanksi, tidak hanya untuk mematahkan semangat para biksu yang berpikiran buruk, tetapi juga untuk memelihara simpati dari umat.
Seseorang menjadi biksu dan tunduk pada peraturan setidak-tidaknya meliputi 227 ketentuan, karena kehendak bebasnya sendiri. Tidak ada yang memaksa seseorang menjadi rahib yang hidupnya selibat, karena umat Buddha bebas, bisa saja memilih untuk hidup membentuk rumah-tangga. Ketaatan seorang rahib pada peraturan bukan karena takut pada sanksi, tetapi karena kesadaran dan tanggung jawab yang dimilikinya. Mungkin banyak orang yang melakukan suatu perbuatan yang baik karena disuruh, menolong orang lain karena terpaksa, atau mengabdi karena takut. Hal-hal seperti ini tercela dalam ajaran Buddha. Orang yang melaksanakan kewajiban karena takut, yang memburu kepentingan diri sendiri, dipandang seperti halnya orang yang tamak, yang memberi sedikit meminta banyak, merupakan orang-orang yang harus dijauhi.[2]
Menghadapi berbagai kesulitan hidup setiap orang menginginkan peraturan yang meringankan beban dan memudahkan hidup. Mungkin saja suatu peraturan mengandung kelemahan sehingga bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang mencari keuntungan bagi diri sendiri, termasuk orang yang bertugas menegakkan peraturan. Ada penyelundup bebas bertualang, ada petugas mencari “sapi perahan”, yang menjadi ganas menginjak habis bulan atau menjelang hari raya, misalnya. Buddha mengingatkan “Perasaan tahu malu itu paling utama di antara sifat-sifat luhur lainnya. Perasaan takut bersalah atau menyesal adalah kaitan besi yang dapat mencegah manusia dari perbuatan sewenang-wenang.”[3]
Peraturan seharusnya bukan menjadi beban, tetapi justru untuk menolong manusia keluar dari penderitaan. Buddha pernah berpesan demikian, “Setelah Aku mangkat, Ananda, kalau dikehendaki oleh Sanggha, maka peraturan-peraturan yang kecil dan kurang penting dapat ditiadakan.”[4] Peraturan yang tidak sesuai dengan tuntutan keadaan perlu ditinjau kembali. Peraturan itu dibuat untuk dilaksanakan, dengan demikian tidaklah beralasan memaksakan suatu peraturan yang suatu ketika ternyata tidak lagi dapat dijalankan.
Kini kita sedang hangat-hangatnya dengan deregulasi dan debirokratisasi. Pelaksanaan dari peraturan-peraturan dan kebijaksanaan perlu diteliti dan dinilai kembali dengan cermat dan jernih. Peraturan yang tidak sesuai dengan tuntutan keadaan harus disesuaikan dan kalau perlu dihapus. Praktik-praktik yang tidak mencapai sasaran yang semula diinginkan harus diluruskan dan ditinjau kembali. Demikian dijelaskan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas di hadapan para peserta rapat kerja Departemen Agama akhir Maret yang lalu. Deregulasi dan debirokratisasi tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang keagamaan. Lembaga-lembaga pelaksana yang tidak sesuai dengan kenyataan yang berkembang harus disegarkan atau dihapus bila memang menghambat kelancaran pembangunan.
Harus diakui deregulasi dan debirokratisasi sangat tergantung pada mentalitas. Meski prosedur sudah disederhanakan, tanpa pemberantasan mentalitas birokratis yang bertele-tele, tidak akan ada perubahan yang berarti, sebagaimana pernah ditegaskan oleh Prof. Dr. Mubyarto. Maka, deregulasi mental yang mutlak perlu dan mendesak merupakan salah satu tugas keagamaan dalam memasuki tahap tinggal landas.
5 April 1989
[1] Anguttara Nikaya X, 4:31
[2] Digha Nikaya 31
[3] Mahayana Buddha Pacchimovada Parinirvana Sutra
[4] Cullavaga XI