Devaluasi dan Ketahanan Mental
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Anda korban devaluasi? Devaluasi itu untuk menyelamatkan pembangunan. Dan kebahagiaan atau kesejahteraanlah yang dijanjikan oleh suatu pembangunan.
Di bawah pedang teracung tinggi
Adalah neraka yang membuatmu gemetar,
Namun jalan terus:
Dan kau dapatkan tanah bahagia.
Syair yang dijiwai semangat Zen ini karya seorang ahli pedang dari Jepang. Namanya Miyamoto Musashi (1582-1645) pendiri perguruan Nitoryu. Sewajarnya ia orang yang keras karena keakraban dengan berbagai bentuk tantangan. Tetapi ia pun lembut karena sentuhan Buddha. Menerobos di bawah suatu bentuk ancaman bukanlah asal nekat atau serampangan. Jalan pedang disempurnakannya lewat pembebasan diri. Pembebasan itu berarti lepas dari suatu ketergantungan yang membelenggu. Siswa Buddha tidaklah asing dengan penyangkalan sang aku (anatta), untuk sampai pada pembebasan.
Kita harus keluar dari belenggu situasi yang serba tidak menentu. Tidak mungkin untuk tetap menggantung pada minyak yang merosot harganya. Tidak mungkin menggantung pada salah satu sumber pembiayaan saja. Devaluasi itu menjadi salah satu jalan pembebasan. Jalan ini menuntut keberanian untuk menyangkal kepentingan sang aku atau individu. Jalan ini menuntut pengorbanan. Pengorbanan yang sudah dipertimbangkan dengan saksama akan lebih baik daripada pengorbanan di kemudian hari yang tidak berkepastian, dan akan jauh lebih besar karena lepas kendali. Memang terobosan ini tidaklah mungkin menyenangkan banyak orang yang memiliki kepentingan sang aku. Analog dengan neraka menurut kata Musashi. Namun, jalanlah terus dan mencapai tanah bahagia.
“Pembuat kebajikan melihatnya sebagai hal yang buruk selama perbuatan bajik itu belum masak. Tetapi bilamana perbuatan bajiknya menjadi masak, maka ia akan melihat akibat-akibat yang baik.”[1]
Anda langganan devaluasi? Tentu tidak kaget. Keterbukaan dan penjelasan pemerintah tentang situasi perekonomian dan pembangunan jauh sebelumnya membuat kita lebih siap menghadapi suatu perubahan yang bukan tidak terpikirkan. Keputusan devaluasi ini bukan tindakan spekulatif, tidaklah serampangan dan bukan tanpa perhitungan.
Pengalaman dengan devaluasi Agustus 1971, November 1978, dan Maret 1983, menjadikan kita lebih matang. Sekaligus pengalaman itu membuktikan kesungguhan pemerintah dan kecermatan pertimbangan dalam memutuskan suatu alternatif. Maka sudah sepantasnya kita makin percaya pada kemampuan pemerintah, yang dengan penuh tanggung jawab meletakkan kepentingan rakyat banyak di atas pertimbangan popularitas. Untuk melindungi kepentingan rakyat kecil, pemerintah pun menjanjikan stabilitas harga barang atau jasa yang dikuasai negara.
Dukungan nyata dari masyarakat adalah ikut mengamankan maksud baik pemerintah, ikut memelihara pasar dan harga bahan kebutuhan pokok pada tingkat yang wajar. Memang begitu mendengar tentang devaluasi, berbondong-bondong orang membelanjakan rupiahnya. Ada kecenderungan pada semua orang untuk menyelamatkan kepentingan masing-masing, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Pengorbanan yang datang dari devaluasi tentu tidak merata pada semua golongan masyarakat. Pada saat kita mulai memikirkan kepentingan diri sendiri, ketahanan mental perlu diangkat ke permukaan. Bagaimana pun ajaran agama tidak menghendaki kita menimbulkan kerugian pada orang lain.
Spekulasi dan manipulasi adalah tabu untuk orang yang memiliki ketahanan mental. Menggerutu dan berprasangka adalah tabu pula. Buddha mengajarkan keseimbangan batin (upekkha), yang mengandung makna: melihat dengan adil, tidak berat sebelah, tidak senang juga tidak kecewa.
Devaluasi baru salah satu terobosan. Banyak usaha lain yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan masa kini. Merawat tanaman sehingga sembuh dari penyakit tidak sama dengan memetik buah. Buah itu akan datang kemudian. Sedangkan kita dituntut untuk tiada hentinya memelihara dengan baik. Kita di paruh jalan, yang tidak selalu harus lurus. Bukan tidak mungkin generasi kita masih akan menghadapi situasi serupa bagai menempuh suatu siklus. Itulah hidup. “Para biksu, petani membajak dan menggaru tanahnya cepat-cepat dengan baik. Setelah selesai ia menanam benihnya dengan cepat. Sesudah itu ia mengalirkan air dan menutupnya dengan cepat. Inilah ketiga urusannya yang penting. Para biksu, betapapun petani itu tidak memiliki kekuatan gaib atau kekuasaan misal untuk menyatakan, ‘Hendaknya tanamanku bersemi hari ini. Esok hendaknya berbulir bernas. Hari berikutnya hendaklah masak.’ Tidak! Tergantung pada waktunya yang tepat yang membuat hal-hal itu terjadi.”[2]
Sepanjang perjalanan hidup, tiada habisnya kita mencari kebahagiaan. Kita tahu realisasi Dharma tak lepas dari kehidupan sehari-hari. Juga tiadalah lepas dari pembangunan seluruh bangsa. Buddha tidak pernah meninggalkan kita di tengah perjuangan hidup. Buddha tak jauh dari diri kita.
Kanzan (Han-shan, 760-840), mengungkapkannya demikian:
Berbicara tentang makanan tak akan mengenyangkan perutmu
Menggerutu tentang pakaian tak akan menghangatkan tubuh.
Semangkok nasi hanya dapat mengenyangkan perut,
Sepotong pakaian cuma yang diperlukan agar badan hangat.
Tetapi, tiada habis berbincang, tentang masalah ini.
Selalu engkau berkata bahwa Buddha sukar ditemukan.
Tariklah pikiranmu ke dalam. Di sanalah Dia.
Mengapa mencarinya ke luar?
17 September 1986
[1] Dhammapada 120
[2] Anguttara Nikaya III, 10:91