Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Diocletianus, seorang kaisar Romawi, di puncak kejayaannya pada usia lima puluh sembilan tahun telah meninggalkan takhta kerajaan dengan sukarela. Ia menyepi ke pedesaan dan hidup dengan bercocok tanam. Ketika ia didesak agar mau menjadi kaisar lagi, kepada Maximianus ia berkata bahwa kalau saja kawannya itu dapat menyaksikan betapa indahnya kubis-kubis yang ia tanam, maka tidak akan dia mengharapkan agar mengorbankan kebahagiaan demi kekuasaan belaka.
Ada kerinduan dalam hati manusia untuk menemukan kedamaian. Seorang penguasa seperti Diocletianus, atau seperti Airlangga, meninggalkan singgasananya untuk memurnikan hati yang damai sebagai rakyat jelata. Jauh sebelumnya Buddha Gotama menemukan kebahagiaan dengan meninggalkan istananya dan menjalani kehidupan asketis. Banyak orang mengagungkan Dia, tetapi lebih banyak orang terbius oleh kekuasaan dan kekayaan duniawi.
Menurut David McClelland manusia memiliki tiga pola kepribadian berdasar dorongan kebutuhan yang menonjol, yaitu: dorongan berprestasi (need for achievement), dorongan untuk berkuasa (need for power), dan dorongan untuk ikut-ikutan (need for affiliation). Orang yang mencari ketenteraman dan merindukan Penerangan Sempurna seperti para calon Buddha, tidak bisa dengan ikut-ikutan. Dorongan berprestasi untuk mencapai kemajuan tingkat rohani mengatasi dorongan yang lain. Tidak ada yang salah dengan kekuasaan dan kekayaan, hanya jarang sekali orang kaya dan berkuasa yang sekaligus pula suci.
Genshin, remaja yatim yang menjalani pendidikan agama di gunung Hi-ei, mendapat kesempatan untuk menyampaikan khotbah di ibukota kerajaan. Kaisar Murakani memberi hadiah segulung kain sutra kepada biksu muda itu sebagai tanda penghargaan atas prestasinya. Genshin menerima hadiah itu dengan sukacita. Ia teringat kepada ibunya di desa Tai Ma yang belum pernah dikirimi kabar barang sekalipun semenjak berpisah tiga tahun yang lalu. Ia berpikir bahwa ibunya tentu akan merasa bangga menerima bingkisan kain sutra, maka ia mengirim hadiah kaisar tersebut kepada ibunya. Berlawanan dari apa yang diharapkannya, sang ibu justru mengembalikan bingkisan itu disertai sepucuk surat yang isinya mencela perbuatan Genshin. Ibunya tidak ingin melihat Genshin terbius oleh kegemerlapan istana Mikado atau kemewahan duniawi sehingga melalaikan tugas sucinya. Genshin kemudian menyadari kekeliruannya.
Dogen Zenji mengajar wali kaisar Hoyo Tokiyori selama enam bulan, kemudian ia meninggalkan Kamakura dan kembali lagi ke wiharanya di Echizen. Ia dengan halus menolak hadiah penguasa itu, yaitu sebuah wihara baru yang megah di Kamakura yang khusus dibangun untuknya. Dengan cara itu Dogen menunjukkan bahwa seorang biksu melakukan suatu kebajikan tidaklah karena mengharap imbalan dari orang yang menerima jasanya. Tak lama kemudian seorang muridnya yang masih tinggal di Kamakura pulang ke Echizen dengan membawa serta selembar sertifikat tanah hak milik. Tanah itu seluas 3.000 km2 dan terletak di Echizen. Lagi-lagi pemberian dari Hoyo Tokiyori. Dengan bangga sang murid memperlihatkan surat itu kepada saudara-saudara seperguruannya dan dengan membungkukkan badan yang dalam ia menyerahkannya kepada Dogen. Hanya sebentar saja Dogen membaca surat itu. Sambil mengerutkan alis ia mengembalikan surat tersebut. “Alangkah rendahnya!” ujar Dogen, “Apakah engkau tidak tahu bahwa aku memberi pelajaran Zen tanpa mengharap imbalan apa pun untuk keuntungan diri sendiri? Kalau memang menghendaki imbalan, mengapa aku tidak menerima saja wihara di Kamakura itu? Orang-orang seperti kau ini yang mengharapkan anugerah dari para penguasa sebenarnya mengotori Jalan dari para Buddha dan Patriach. Tinggalkan segera wihara ini!” Muridnya terpaku terkesima, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun di hadapan sang guru. Tiba-tiba guru itu bangkit, menarik jubah muridnya dan mengusirnya pergi. Tidak hanya itu saja, sang guru membongkar lantai tempat muridnya itu biasa melakukan meditasi dan menggali keluar tanahnya hingga sedalam enam kaki.
Kalau pada akhirnya seorang raja pantas mengundurkan diri untuk mencari kedamaian jiwa, maka Genshin atau pun Dogen sejak semula mempertahankan kehidupan yang bersahaja dalam usaha mencapai kesucian. “Lebih baik daripada kekuasaan di atas bumi, lebih baik daripada memerintah seluruh dunia, lebih baik daripada pergi ke surga adalah pahala bagi orang yang telah memenangkan tingkat kesucian.” [1]
17 Oktober 1990
[1] Dhammapada 178