Disiplin Bermula di Tangan Ibu
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Istri harus bangun lebih pagi dan tidur lebih malam daripada suami. Gagasan ini kedengarannya ketinggalan zaman. Kaum ibu boleh saja berkeberatan, namun itulah yang dinasihatkan oleh Buddha, dan sama sekali tidak mempersoalkan siapa yang lebih tinggi atau lebih rendah di antara suami dan istri.
Nasihat itu tidak berdiri sendiri. Pasal yang sama tidak hanya mengajarkan bagaimana agar istri tetap dicintai suami, tetapi juga sejuah mana istri berperan. Seorang istri harus mempelajari seluk beluk pekerjaan suami dan lebih baik lagi sanggup menguasainya. Ia harus cakap mengelola rumah tangga, mengatur agar seluruh penghuni rumah melaksanakan kewajiban dan memenuhi kebutuhan masing-masing, baik yang sehat atau pun sakit. Istri pula yang mengamankan pendapatan atau harta.[1]
Pada kesempatan lain Buddha menegaskan bahwa kaum ibu yang memiliki kualitas tersebut akan berhasil meraih kekuasaan dan dunia ada dalam genggamannya.[2] Untuk memenuhi perannya secara maksimal, bangun lebih pagi dan tidur lebih malam merupakan salah satu bentuk disiplin. Seperti halnya disiplin seorang ibu ketika mengasuh anak, memberi makan hingga mengatur jam tidur.
Disiplin di tangan ibu, karena seorang anak manusia pertama mengenal disiplin dari sang ibu. Kebiasaan dan sikap yang tertanam pada masa kecil akan terbawa sampai dewasa. Manusia belajar mengendalikan diri dan menghargai hak-hak orang lain bila orangtuanya dengan mantap menentukan batas-batas nilai atau norma yang dianut sedini mungkin.
Disiplin tampak dari ketaatan pada suatu sistem nilai. Sigala yunior memenuhi pesan ayahnya almarhum dengan melaksanakan upacara dini hari. Kepada pemuda itu Buddha mengungkapkan makna simbolis dari upacara tersebut sehubungan dengan sistem nilai yang dianut pengikutnya. Menyembah keenam arah: timur, selatan, barat, utara, bumi, dan langit, tiada lain dari menjunjung hak dan kewajiban seorang umat dalam keluarga dan masyarakat. Keenam arah itu diartikan kedudukan orangtua dan hubungannya dengan anak, kedudukan guru dan hubungannya dengan murid, kedudukan suami dan istri, kedudukan antar kaum kerabat, kedudukan majikan dan karyawan, serta kedudukan rohaniwan dan umat.
Untuk memelihara hak dan kewajiban dituntut adanya disiplin moral. Disiplin moral sendiri dipengaruhi oleh tingkat kehidupan dan keadilan sosial. Maka Buddha memulai khotbah-Nya itu dengan petunjuk tentang moral, bagaimana menjadi bijak sekaligus bajik. Perbuatan jahat harus disingkirkan, pergaulan yang tidak baik harus dihindari dan bekerja keras itu untuk mengumpulkan kekayaan sekaligus menggunakannya dengan tepat, termasuk memberi manfaat bagi masyarakatnya.
Tanpa disiplin orang berdalih terlalu pagi lalu enggan bekerja, terlalu siang juga tidak bekerja. Terlalu dingin atau terlalu panas, terlalu lapar atau terlalu kenyang, dan sebagainya, menjadi alasan untuk bermalasan. Dengan itu orang-orang menghindari pekerjaan yang menanti. Segala yang harus dilakukannya tetap tidak dikerjakan, sedangkan kesempatan yang baik pun berlalu. Kebiasaan malas, lambat, lamban, atau tidak menghargai waktu dinyatakan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan merosotnya kekayaan dan kesejahteraan.[3]
Disiplin sehari-hari kita lihat antara lain dari ketaatan hadir di tempat kerja dan pulang pada jam yang telah ditentukan. Namun ketaatan ini hanya punya arti bilamana penggunaan waktu itu memang benar, produktif, dan hasilnya bermutu. Disiplin penggunaan waktu diibaratkan pada pengusaha toko yang mengurus usahanya baik pada pagi hari, siang hari, dan hingga malam hari. Ia dapat meraih sukses, mempertahankan dan meningkatkan prestasinya. Untuk itu diperlukan pula keahlian mengenal barang dan memperhitungkan harga, kecakapan melaksanakan jual beli, serta kepercayaan dari pihak pelanggan.[4]
Disiplin tentu saja bukan taat membuta pada suatu ketentuan. Misalkan lampu merah berarti kendaraan harus berhenti, dan ini hanya berlaku bila lampu tidak rusak. Ketaatan pada perintah atasan sesuai dengan disiplin militer bisa saja tidak berlaku bilamana disalahgunakan. Disiplin dalam praktiknya memerlukan dukungan pengetahuan dan sikap yang benar, yang tidak bertentangan dengan hati nurani karena sekaligus tidak berlawanan dengan nilai yang dianut atau hukum yang berlaku.
“Barangsiapa tidak mengenal sapi, tiadalah dapat menjadi gembala yang baik. Bilamana tidak mengenal hukum moral, bagaimana seseorang mau melatih pengendalian diri.” Demikian dinyatakan tentang kedudukan Vinaya sebagai hukum dan tata tertib moral bagi para siswa Buddha. Seandainya Sutta dan Abhidhamma, dua dari ketiga bagian Kitab Suci Tipitaka sudah dilupakan orang, ajaran Buddha dinilai masih bertahan selama bagian lainnya, yaitu Vinaya, tidak dimusnahkan.
Disiplin, demikian pula tertib hukum, tidak hanya untuk kebahagiaan diri sendiri, tetapi terutama untuk kebahagiaan orang banyak. Buddha beramanat agar tidak memberlakukan sesuatu yang belum diundangkan dan berbuat sesuai dengan hukum yang telah berlaku.[5]
23 Desember 1987
[1] Anguttara Nikaya V, 4:33
[2] Anguttara Nikaya VIII, 5:49
[3] Digha Nikaya 31
[4] Anguttara Nikaya III, 2:19-20
[5] Digha Nikaya 16:1