Doa Tidak Hanya Rumusan Kata-Kata
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Berdoa itu melakukan hubungan dengan Tuhan. Banyak orang berdoa dengan berpikir, membayangkan dan mengucapkan kata-kata. Sedangkan pikiran selalu menggelepar, bagai seekor ikan yang dikeluarkan dari dalam air dan dilemparkan ke atas tanah. Pikiran acapkali binal, mengembara sesuka hati, terangsang nafsu dan kebencian, serta mudah tertipu khayalan. Menurut Buddha, pikiran semacam itu di bawah kekuasaan Mara (iblis penggoda) yang harus dijinakkan.[1]
Dengan berdoa manusia mengharapkan suatu kemajuan dan kepuasan. Berdoa bisa berarti meminta agar keinginan kita terkabul. Keinginan itu bermacam-macam. Untuk keselamatan dan kebahagiaan, perlu adanya keinginan memenuhi kesejahteraan, keinginan mendapatkan kekuatan, perlindungan atau tuntunan. Tetapi keinginan rendah (tanha) untuk memuaskan diri sendiri yang dilatarbelakangi keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin justru akan menimbulkan penderitaan di kemudian hari. Berdoa demi keinginan yang rendah dan pikiran yang buruk sama dengan menghamba kepada Mara.
Pikiran yang benar mengandung tiga aspek: (1) Nekkhamma, melepaskan nafsu keduniawian dan tidak mementingkan diri sendiri. (2) Abyapada, diliputi cinta kasih dan itikad yang baik. (3) Avihimsa, bebas dari kebengisan atau kekerasan. Kita diajarkan untuk membedakan antara mulia dan tidak mulia, baik dan buruk, berguna dan tidak berguna, benar dan salah, terpuji dan tercela, jalan hidup yang terang dan gelap.[2]
Apa yang mulia, yang baik, yang berguna, yang benar, yang terpuji, atau jalan yang terang, tidak diperoleh dengan hanya meminta. Buddha tidak mengajarkan doa untuk meminta. Ketika berdoa diartikan meminta, bilamana yang diharapkan tak kunjung tiba, mungkin timbul kemudian rasa bosan dan kecewa. Tanpa meminta, dengan mengabdi kepada Tuhan, berkah pasti akan datang pada waktunya sebagai buah dari perbuatan (karma).
Maka apa yang ingin dicapai dengan berdoa? Berdoa memberi manfaat dengan berkembangnya: (a) Keyakinan (saddha); (b) Cinta kasih dan keluhuran batin (brahmavihara); (c) Pengendalian diri (samvara); (d) Perasaan puas (santutthi); (e) Kedamaian (santi); dan (f) Kebahagiaan (sukha). Berdoa menjadi latihan untuk mengembangkan kemampuan atau keluhuran jiwa dan memantapkan kepercayaan pada diri sendiri, sehingga membawa kemajuan dan menghasilkan ketenteraman.
Dalam hal mengungkapkan isi hati, acapkali kita menghadapi keterbatasan kata-kata. Menyatakan cinta misalnya tidak pernah tepat dan tidak cukup dengan kata-kata. Ungkapan cinta dengan kata-kata klise bisa dinikmati sebagai bacaan atau dialog di panggung teater, tetapi menjadi semacam rayuan gombal di tengah kehidupan nyata sehari-hari. Tidak berbeda halnya dengan kata-kata dalam doa. Maka orang mesti belajar berdoa, tentu bukan semata-mata membeo mengucapkan suatu rumusan kata-kata tanpa mendalami maknanya.
Kita mengenal pesan khusus di luar tradisi kata dan aksara, yang langsung menyentuh hati. Konon Buddha mengajarkan dengan senyum, tanpa mengucapkan sepatah kata pun saat seorang brahmana mempersembahkan sekuntum bunga Kumbhala seraya memohon agar Ia menyampaikan Dharma. Murid-Nya, yaitu Maha Kasyapa menangkap maksudnya, juga melalui senyum. Itulah pewarisan ajaran Zen. Zen atau Dhyana adalah suatu latihan dan keadaan konsentrasi pikiran yang murni, suatu penghayatan kesadaran yang tajam dan pengamatan intuitif. “Dengan tenang dan khusyuk seseorang melupakan semua kata-kata, namun secara jelas dan terinci hal itu tampak di hadapannya,” demikian sebuah tulisan di abad ke-10 mengungkapkannya.
Anthony de Mello SJ (seorang pastor Jesuit) dalam bukunya Sadhana, menulis bahwa ia banyak menghadapi keluhan tentang orang yang tidak tahu bagaimana caranya berdoa. Menurutnya doa itu suatu latihan yang membawa perkembangan dan memberi kepuasan. Doa itu harus lebih dilakukan dengan hati daripada dengan budi. Semakin cepat doa bebas dari pemikiran kepala, semakin jadi menyenangkan dan bermanfaat. Ia mengemukakan contoh pengarahan guru Hindu dalam berdoa, yaitu agar orang berdoa dengan memusatkan perhatian pada pernapasan. Dengan itu orang dapat menyadari kehadiran Tuhan menyertai hirupan dan hembusan pernapasan. Doa itu menjadi sederhana seperti bernapas saja, Dalam mengikuti retret Buddha, pengalamannya memusatkan perhatian pada udara keluar-masuk lewat hidung, tanpa gagasan untuk mengisi pikiran, membawanya berkomunikasi dengan Tuhan. Meditasi menjadi cara berdoa yang mengagumkan.
Dalam agama Buddha dikenal dua macam meditasi. Yang pertama adalah Samatha Bhavana, memperkembangkan ketenangan batin. Yang kedua adalah Vipassana Bhavana, memperkembangkan pandangan terang. Perenungan terhadap keluar masuknya napas (anapanasati) merupakan salah satu dari 40 macam obyek meditasi yang tergolong Samatha Bhavana. Setiap orang dapat memilih salah satu obyek yang paling sesuai dengan wataknya sendiri.
Doa dalam meditasi membawa hasil jika dilakukan dengan sungguh hati. Kita akan menemukan bahwa Tuhan melihat ke dalam lubuk hati kita, bukan pada rumusan kata-kata.
23 November 1988
[1] Dhammapada 33-37
[2] Anguttara Nikaya X, 18:178-188