Etika Bisnis
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Pelaku ekonomi dipandang egoistis. Tapi, teori ekonomi melihat perilaku manusia semacam itu rasional. Semua pengusaha bertujuan mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin, sedangkan semua konsumen berusaha mendapatkan kepuasan sebesar-besarnya dari uang yang mereka belanjakan. Penjual dan pembeli masing-masing berusaha memberi sedikit dan menerima banyak.
Penjual yang mau merugi tidak rasional. Orang kaya memang pantas menolong orang miskin, tetapi sebagai pengusaha ia tidak akan menjual barangnya dengan harga murah, apalagi merugi, semata-mata karena pembelinya miskin. Pembeli adalah orang yang mencari harga yang paling rendah. Tidaklah rasional kalau orang mau membeli barang dengan harga yang lebih mahal semata-mata karena dia cukup kaya dan menaruh belas kasihan kepada penjualnya yang miskin. Pembeli yang tidak mau membeli barang murah dianggap bodoh. Bahkan kalau saja tak ada hukum yang melarangnya, pertimbangan keuntungan ini membuat pembeli tidak mau tahu apakah barang itu curian atau selundupan.
Jual beli, tidak saja yang dibayarkan dengan uang tetapi juga dalam bentuk tukar menukar barang, tidak boleh dilakukan oleh seorang rahib Buddha. Larangan ini mudah menimbulkan kesan bahwa berdagang merupakan pekerjaan yang rendah. Buddha membedakan cara hidup seorang biksu dari orang-orang awam. Bisnis atau jual beli untuk orang awam bukan masalah, tetapi tidak untuk biksu. Sebagaimana halnya orang kebanyakan hidup berumah tangga sedangkan rahib wajib hidup selibat. Kegiatan masyarakat umum disadari banyak menimbulkan rintangan bagi pengendalian dan penyempurnaan diri. Salah satunya, pelaku bisnis sukar melepaskan diri dari dorongan keserakahan. Orang-orang yang memilih hidup sebagai biarawan justru menghindari segala kegiatan yang memberi peluang pada timbulnya rintangan dan menyingkirkan keserakahan untuk mempertahankan moral atau kesucian.
Agama menolak keserakahan. Orang yang serakah tidak akan menaruh peduli apakah ia mengambil keuntungan dengan merugikan orang lain. Sabda Buddha, “Para siswa, perbuatan yang dilakukan berdasarkan ketamakan (lobha), yang timbul karena tamak, yang dihasilkan oleh ketamakan, perbuatan ini akan membuahkan akibat di mana saja makhluk itu dilahirkan dan bila buah perbuatan itu sudah masak, di sanalah makhluk itu akan memetiknya, mungkin dalam kehidupan sekarang ini atau dalam kehidupan yang akan datang.”[1]
Kekayaan diakui perlu dan harus dicari dengan bekerja keras agar hidup menjadi lebih baik dan menyenangkan. Tetapi kekayaan adalah alat untuk melakukan kebajikan dalam mencapai kebahagiaan, bukan merupakan tujuan sendiri. “Tidak dalam hujan uang emas dapat ditemukan kepuasan nafsu indra. Nafsu-nafsu indra hanya merupakan kesenangan sekejap yang membuahkan penderitaan. Demikian, orang yang bijaksana dapat memahami hal tersebut dengan jelas.”[2] Sabda Buddha pula, “Sungguh bahagia kita hidup tanpa keserakahan di antara orang-orang yang serakah; di antara orang-orang yang serakah kita hidup tanpa keserakahan.”[3]
Buddha hidup dalam masyarakat yang membedakan kasta yang bersifat turun temurun: brahmana, ksatria, waisa, dan sudra. Ia menyangkal bahwa kasta yang satu lebih tinggi dari yang lain. Waisa yang merupakan turunan pedagang dan melakukan berbagai macam perdagangan tidaklah lebih rendah dari kaum brahmana dan ksatria. Pada keempat golongan masyarakat itu sama saja terdapat orang yang baik atau pun yang jahat.[4] Orang yang serakah tidak hanya ditemukan pada golongan pelaku bisnis, tetapi banyak pula terdapat pada golongan lain. Sebaliknya bukan tidak mungkin para pengusaha tergerak oleh hati nuraninya menolak atau mengurangi keserakahan.
Keserakahan memperlihatkan wujudnya dalam praktik-praktik seperti menipu (kuhana), menyuap (lapana), memeras (nemittakata), menggelapkan (nippesikata), yang sama saja dengan merampok untuk mendapatkan hasil yang banyak (lobha) tergolong sebagai kejahatan.[5]
Buddha pun tidak luput memperhatikan baik buruknya suatu barang yang diperdagangkan. Umat Buddha tidak dibenarkan berdagang senjata, tidak boleh memperdagangkan makhluk hidup, daging, minuman keras, dan racun.[6]
Keynes, pakar ekonomi yang sangat berpengaruh, melihat kemajuan ekonomi hanya bisa dicapai jika manusia memanfaatkan nafsunya yang egoistis, yang ditentang oleh semua agama dan kearifan tradisional. Keserakahan harus menjadi dewa untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, dan setiap orang boleh ditipu karena yang buruk itu berguna dan yang baik tak berguna. Schumacher yang memperkenalkan ilmu ekonomi Buddhis berpandang lain. Ia mengemukakan bahwa masalah kebenaran spiritual dan moral itu penting artinya. Katanya, bagaimanakah kita dapat menghilangkan ketamakan dan iri hati? Kita harus memulai dengan mengurangi keserakahan dan iri hati kita masing-masing; menahan diri dari rangsangan kemewahan dan meneliti kebutuhan kita untuk melihat apakah ada yang dapat disederhanakan atau dikurangi.
Kwik Kian Gie yang menuliskan mimpinya menjadi konglomerat, mengungkapkan bagaimana cara-cara yang licik membuat orang dapat keuntungan dalam waktu yang singkat. Ia mengingatkan para pelaku ekonomi pada suara hati nurani atau etika.
29 November 1989
[1] Anguttara Nikaya III, 4:33
[2] Dhammapada 186
[3] Dhammapada 199
[4] Digha Nikaya 27
[5] Majjhima Nikaya 117
[6] Anguttara Nikaya V, 18:177