Etos Keberanian
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Banyak orang tertarik dengan perang. Ada yang dikagumi, yaitu keberanian orang-orang di medan tempur dalam menantang maut. Perang melahirkan para pahlawan yang bersedia mengorbankan nyawa sendiri demi kepentingan pihak yang dibelanya. Ada yang diabaikan, bahwa seringkali keberanian tersebut bermula dari nafsu yang rendah. Orang bisa berani karena dorongan keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Apa artinya keberanian menyebarkan maut atau menghancurleburkan lawan? Tidaklah salah, perang melahirkan pula para penjahat atau pembunuh.
Perang mengumbar kebencian. Bagaimana kebencian dapat dikalahkan dengan kebencian? Menurut Buddha, setiap orang yang menyimpan pikiran-pikiran, “Ia menghina saya, ia memukul saya, ia mengalahkan saya, ia merampas milik saya,” tidak akan pernah mengakhiri kebencian. Hanya dengan membuang pikiran-pikiran tersebut kebencian akan berakhir. Sabda-Nya yang terkenal, “Dalam dunia ini, kebencian tak akan pernah berakhir bila dibalas dengan kebencian, tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah hukum abadi.”[1]
Menjelang pecahnya perang Teluk, sejumiah orang dari berbagai negara terpanggil untuk bergabung dalam perkemahan Tim Perdamaian Teluk (Gulf Peace Team) di Irak. Ada yang berasal dari Eropa, Australia, Kanada, dan dari Asia terdapat dua orang pemuda Indonesia. Mereka adalah Taufik Rahzen dan Rizal Mallarangeng. Setiap anggota Tim Perdamaian Teluk yang berpusat di London itu datang mewakili dirinya sendiri. Ada dokter, ada pengacara, guru, pemimpin agama, pensiunan tentara, penyanyi, dan lain-lain. Mereka berkemah di Judaiyaat Ar-ar, sekitar 2 km dari perbatasan Arab Saudi, di sebelah barat daya Baghdad. Selain Tim itu, masih ada beberapa kelompok perdamaian sejenis mendirikan perkemahan di lokasi yang lain. Orang-orang yang cinta damai dan anti-kekerasan tersebut ingin mencegah pertumpahan darah dengan menyediakan dirinya sebagai tameng perang. Mereka memperlihatkan keberanian dalam bentuk yang lain, berani menghadapi risiko dengan mengorbankan diri sendiri tanpa mengorbankan pihak lain. Kita melihat adanya etos keberanian yang berpangkal pada kekuatan jiwa yang suci dan luhur.
Mahatma Gandhi dengan satyagraha-nya telah membuktikan kepada dunia nilai suatu etos keberanian menentang kekerasan tanpa kekerasan. Satya berarti kebenaran, tidak berbeda dengan cinta kasih: grahaberarti kekuatan atau ketegaran. Satyagraha adalah suatu sikap dalam membela kebenaran, tidak dengan membuat musuh menderita, tetapi dengan membuat kita sendiri menderita. Musuh mesti disadarkan dari kesesatan dengan kesabaran dan hati yang terbuka, bukan dihancurkan. Atau kalau tidak, sama saja halnya dengan penjahat yang satu membunuh penjahat yang lain. Seorang pahlawan dengan satyagraha-nya tidak mengenal takut, juga tidak mengenal kebencian. Keberanian untuk menanggung derita sendiri tanpa membenci selalu ditekankan oleh Buddha. “Walaupun seandainya ada orang jahat yang dengan kejam memotong-motong anggota badannya memakai gergaji, barangsiapa yang menaruh dendam dan kebencian di hatinya karena kejadian itu, maka ia bukanlah orang yang mengikuti ajaran-Ku.”[2]
Louis Fischer dalam tulisannya mengenai riwayat hidup Mahatma Gandhi (diterjemahkan oleh Trisno Sumardjo) mengutip sanjak “Shelley” yang pernah dibacakan oleh Gandhi pada suatu pertemuan Kristen di India:
Berdirilah tenang, tegap,
Bagai hutan kokoh membisu,
Silangkan lengan, pandang tak gentar,
Itu senjata tak terkalahkan.
Dan bila si penindas berani,
Biar dia serbu barisanmu,
Dia pukul, hantam, tikam,
Biar berbuat sesuka hati.
Silangkan lengan, pandanglah tegap,
Tiada takut, tiada goncang,
Lihat mereka sedang membantai,
Amarah garang akhirnya reda.
Sukar dipercaya, orang-orang Gandhi dengan membungkam sama sekali membiarkan dirinya dipukul atau ditembak. Tidak seorang pun menangkis atau menyingkir. Mereka tidak bermaksud untuk berkelahi, tetapi hanya menunjukkan sikap. Ketika orang-orang yang berdiri di depan roboh, terluka atau binasa, mereka yang di belakangnya tampil ke depan menyediakan diri menjadi tameng serangan lawan. Yang masih hidup berjalan terus dengan tangguh tanpa meninggalkan barisan sampai mereka pun ikut roboh. Tiada kebimbangan, tiada ketakutan, tiada kebencian. Orang-orang itu membiarkan dirinya didera, tetapi tidak sekalipun akan mau merangkak-rangkak. Bukankah ini suatu keberanian yang luar biasa? Tidak hanya Gandhi yang Hindu, Abdul Ghaffar Khan, orang Pathan yang Muslim juga membentuk sebuah pasukan tanpa senjata yang pantang melakukan kekerasan. Mereka bersumpah tidak akan berkelahi.
Hanya seorang penjahat yang memiliki keberanian mengindahkan moral dan cinta kasih. Tetapi cinta kasih ternyata tidak mudah melunakkan hati orang-orang yang membenci. Yesus mati disalib. Dan seorang pemuda menembak mati Gandhi. “Kita lebih tahu tentang perang daripada tentang perdamaian, lebih tahu tentang membunuh daripada tentang kehidupan.” Demikian ujar Jenderal Omar N-Bradley, yang mengetuai Gabungan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Amerika Serikat dalam pidatonya di Boston pada tahun 1948.
23 Januari 1991
[1] Dhammapada 3, 4, 5
[2] Majjhima Nikaya 21