Harapan Saat Ganti Tahun
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Tambah tahun tak lain dari tambah tua. Sosok manusia yang menjadi tua itu ditandai kelemahan dan kerapuhan. Pendengaran menurun dan penglihatan menjadi kabur. Kulit yang kisut, rambut beruban, ompong dan tubuh yang bungkuk membuatnya tak lagi rupawan. Ingatan pun berkurang. Keadaan ini jelas tidak menyenangkan, lalu apakah manusia tidak ingin hidup sampai setua mungkin?
Ternyata semua orang ingin panjang usia, tetapi tidak ingin mengalami segala sifat uzur. Manusia ingin awet muda, tetap sehat, kuat, dan tentu saja bahagia. Sekalipun dalam kenyataan sehari-hari tidak menemukan orang tua-tua sebagaimana yang diharapkan itu, orang-orang merasa puas berdoa dan didoakan agar panjang usia. Ajahn Chah, seorang biarawan terkemuka di Muangthai mengingatkan bahwa terbelenggu dengan keinginan seperti itu sebenarnya manusia tidak akan bebas dari penderitaan.
Ia bertanya kepada orang-orang yang minta diberkahinya dengan percikan air suci, “Mengapa engkau menghendaki air suci ini?” Jawab para umat, “Kami mengharapkan hidup sehat, tenteram, dan bahagia.” Katanya kemudian, tidak mungkin derita hidup diakhiri dengan cara seperti itu. Sudah jelas kehidupan ini terikat pada hukum sebab dan akibat. Seorang biksu dengan senang hati memberkahi umat, namun ia tidaklah memegang kunci peruntungan orang lain.
Memiliki itu wajar, namun hal ini bukan dalam arti menuntut atau terbelenggu pada keinginan. Setiap bagian dari diri manusia atau pun segala bentuk yang tercipta, termasuk jagat ini senantiasa berubah. Suatu penyebab dengan sendirinya membawa akibat. Sama halnya dengan setiap perbuatan dengan sendirinya memberi hasil yang sesuai pada waktunya, baik cepat atau pun lambat. Maka para siswa Buddha menyadari perubahan secara apa adanya, dan berbuat atau bekerja demi penyempurnaan diri, tanpa pikiran yang menuntut. Jika kita menuntut mengikuti keinginan, maka akan timbul penderitaan.
Mengenali setiap perubahan memberi harapan akan adanya pembaharuan dan penyempurnaan. Ketika sikap moral manusia masih diliputi naluri purba yang beringas, yang tidak berubah menjadi lembut seiring dengan bertambahnya usia kemanusiaan, maka penderitaan karena berkobarnya api kebencian dari zaman ke zaman masih akan berlangsung. Sebaliknya melihat simpati dunia dan bantuan yang tertuju untuk korban gempa di Armenia misalnya, yang melupakan batas-batas ideologi, agama, atau kebangsaan, kita menaruh harapan pada kehidupan yang lebih baik.
Harapan menurut petunjuk Buddha tidak pernah keluar dari sikap moral manusia. “Siapa orang yang memiliki harapan? Dia yang bermoral dan berwatak baik, belajar bahwa demikianlah seharusnya cara hidup seorang siswa, yang mematahkan kecenderungan buruk, mencapai kesempurnaan lewat jalan kebijaksanaan dan pemusatan pikiran bersih dari dorongan yang keliru. Setelah ia sendiri memahami dan menyadari akan tujuan yang lebih luhur dari hidup ini, lalu berpikir untuk melaksanakannya sendiri. Siapa orang yang tidak memiliki harapan? Dia telah mengenal dan menyadari akan tujuan yang lebih luhur tersebut, namun tidak berpikir bagaimana kalau melaksanakannya sendiri. Aspirasinya untuk memperoleh kesempurnaan itu mati.”[1]
Mengenali perubahan saat memasuki tahun baru tak lepas dari neraca saat tutup tahun. Untuk menilai tingkat pencapaian atau prestasinya, orang mesti mencatat dan melakukan perbandingan atas segala hal yang telah diperoleh di antara dua batas waktu. Dengan mencatat uang masuk dan uang keluar, orang menghitung kemudian laba atau rugi. Mempertimbangkan kelebihan atau kekurangan, lalu tahu apa maju atau mundur.
Semua orang bisa menaruh harapan, bahkan meramal tentang nasibnya sendiri di kemudian hari. Buah dikenali dari pohonnya, dan pohon bisa berbuah karena terpelihara. Sabda Buddha, “Barangsiapa tidak berusaha mencapai apa yang hilang, tidak memperbaiki apa yang rusak, makan dan minum sampai berlebihan, salah percaya atau melimpahkan kekuasaan kepada orang yang tidak bermoral, apakah itu wanita atau pria, keluarga yang bersangkutan akan mengalami kemunduran.[2]
Tiap orang merayakan tahun baru dengan caranya masing-masing. Buddha mengajak untuk menikmati keheningan. Kita dapat menantikan sinar matahari di hari pertama seraya merenungkan neraca perjalanan hidup selama ini dan memperbaharui harapan sesuai dengan apa adanya.
28 Desember 1988
[1] Puggala-pannati III.I
[2] Anguttara Nikaya IV, 26:255