Hari Orang-orang Suci
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Hari-hari bulan purnama adalah hari-hari kesibukan upacara ibadah dalam agama Buddha. Salah satu hari suci menurut tradisi Theravada yang dikenal dengan Magha Puja jatuh di malam purnama bulan ini. Pada waktu yang sama, penganut tradisi Mahayana, khususnya yang merayakan tahun baru Imlek, melaksanakan upacara capgo-me (malam tanggal lima belas).
Purnama di bulan Magha, sama dengan bulan-bulan lainnya, merupakan hari puasa atau menahan diri. Tradisi di India sebelum adanya Buddha telah mengenal latihan kebatinan pada hari bulan purnama dan bulan mati. Hari-hari itu, yakni tanggal 1 dan 15 penanggalan lunar dinamakan hari uposatha. Buddha menyetujui kebiasaan tersebut dan membudayakannya dengan cara agama Buddha. Di awal perkembangan agama-Nya, Buddha sendiri yang memimpin pertemuan dan menyampaikan khotbah atau petunjuk-Nya sebagaimana yang tercatat dalam Ovadapatimokkha. Dalam perkembangan selanjutnya Buddha mengizinkan para biksu untuk melakukan uposatha sendiri. Pada kesempatan itu seorang biksu akan membacakan peraturan latihan yang disebut Patimokkha.
Hari purnama di bulan Magha pada mulanya tak berbeda dengan hari uposatha lain. Namun hari itu kemudian menjadi penting karena peristiwa berkumpulnya 1250 Arahat (orang suci). Mereka semua adalah Ehi Bhikkhu, yakni biksu yang ditahbiskan langsung oleh Buddha sendiri. Tanpa suatu perjanjian, tanpa undangan, para Arahat itu berkumpul di wihara Veluvana di kota Rajagaha untuk memberi hormat kepada Buddha. Pada saat itu pun Buddha menyampaikan khotbah yang merangkum prinsip-prinsip ajaran-Nya yang disebut Ovada Patimokkha.
Pada hari-hari uposatha, umat mematuhi sila (pantangan) dan melaksanakan latihan keagamaan, terutama meditasi. Para siswa dapat berdiam di wihara atau di lingkungan keagamaan Sedikitnya selama satu hari. Kata uposatha sendiri berarti “masuk untuk berdiam”, Umat dianjurkan melaksanakan atthasila (delapan pantangan). “Para Siswa, apabila hari uposatha dijalankan dan dipatuhi memenuhi atthasila, sangatlah besar hasilnya, sangat besar faedahnya, sangat mulia, menggetarkan kalbu.”[1]
Atthasila yang terdiri dari delapan pantangan tersebut adalah: (1) Tidak membunuh, sebaliknya hidup mengasihi segala makhluk; (2) Tidak mencuri, tidak mengambil sesuatu yang tidak diberikan; (3) Tidak melakukan hubungan kelamin atau rangsangan seks; (4) Tidak berdusta atau menipu; (S) Tidak makan dan minum barang yang menimbulkan ketagihan atau memabukkan; (6) Tidak makan setelah pukul 12 siang; (7) Tidak menyaksikan pertunjukan, tidak mengikuti pesta, tidak memakai alat kosmetik/perhiasan; (8) Tidak menggunakan tempat tidur yang besar dan mewah.
Dengan melaksanakan atthasila, manusia belajar menyempurnakan dirinya untuk menjadi orang suci. Orang suci itu tidaklah berbeda dari orang kebanyakan sejak awal mulanya, atau menjadi suci dengan sendirinya karena ditakdirkan demikian. Kesucian itu merupakan hasil pencapaian, yang diperoleh seseorang sebagai hasil perjuangan. Oleh karena itu setiap manusia harus memiliki tekad dan berusaha untuk mencapainya.
Orang suci dalam agama Buddha menurut kesuciannya dibedakan atas empat tingkatan. Yang pertama adalah Sotapanna, yang masih akan mengalami kelahiran kembali paling banyak tujuh kali lagi, apakah sebagai manusia di bumi atau dewa di surga. Kedua Sakadagami, yang akan mengalami kelahiran kembali sekali lagi. Ketiga yaitu Anagami, yang tidak akan lahir lagi di bumi atau di alam dewa yang mengenal nafsu. Keempat atau tingkat kesucian tertinggi adalah Arahat, yang di akhir kehidupannya mencapai kekekalan Nirwana.
Menjadi orang suci berarti mendapatkan kebahagiaan surgawi. “Para Siswa, sekalipun orang yang berpengaruh, memegang kekuasaan, memerintah enam belas negeri yang kaya raya, kekuasaan itu tak bernilai seperenam belas bagian dari hasil melaksanakan uposatha dengan mematuhi atthasila. Mengapa demikian? Para Siswa, kekuasaan manusia rendah nilainya dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi.”[2]
Agama tidak hanya menjadi pegangan, tetapi juga merupakan sesuatu yang harus dialami. Para biksu meninggalkan kehidupan rumah-tangga dan keramaian duniawi sehingga tiada hari baginya tanpa atthasila. Tidaklah demikian halnya untuk umat biasa. Tetapi umat berkewajiban melaksanakan pancasila (lima pantangan), yaitu lima pantangan yang pertama dari atthasila dengan mengganti pantangan ketiga menjadi tidak berzinah.
“Tidak hanya dengan berdiam diri orang yang dungu dan bodoh dapat disebut orang suci, tetapi orang bijaksana yang mampu memilih apa yang baik dan menghindari apa yang buruk bagai memegang sepasang piring neraca, sesungguhnya yang patut disebut orang suci.”[3] Orang-orang suci diperlukan dan dapat ditemukan di tengah kehidupan ramai.
22 Februari 1989
[1] Anguttara Nikaya VIII, 5:41
[2] Anguttara Nikaya VIII, 5:42
[3] Dhammapada 268