Hidup Kebangsaan
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Rabindranath Tagore berkisah tentang Gora yang mempelajari cinta dari agamanya, tetapi cintanya itu tidak untuk orang-orang penganut agama lain. Gora dibesarkan dengan keyakinan bahwa apa yang dinamakan India tidak lain dari Hinduisme. Sampai kemudian penganut Hindu ini tahu bahwa sebenarnya ia berdarah Irlandia dan sejak bayi dipungut oleh seorang wanita brahmana. Hilang sudah kesombongannya. Gora berubah, tiada lagi ia membanggakan kastanya. Juga berhenti mempertentangkan Hindu dengan agama lain. Lenyap sudah semua prasangkanya yang menyangkut SARA.
Pengalaman menunjukkan perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan rawan konflik. Isu SARA mudah menimbulkan huru-hara. Agama-agama yang mengajarkan cinta kasih ternyata dapat diperalat untuk saling menghancurkan sesama manusia. Demi kepentingan politik, atau untuk mencari legitimasi, suatu justifikasi dan legalisasi kebijaksanaan serta tindakan tidak jarang memanipulasi dan mereduksi pesan-pesan suci agama.
Sumpah Pemuda
Pluralitas agama di Nusantara adalah sebuah kenyataan. Agama yang merupakan ikatan pemersatu bagi sekelompok masyarakat, juga bisa sekaligus menciptakan pemisahan dari kelompok lain. Mudah dimengerti kalau Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 hanya mengikrarkan pengakuan bertumpah darah yang satu – Tanah Indonesia, menjunjung bahasa persatuan – Bahasa Indonesia, dan pengakuan berbangsa yang satu – Bangsa Indonesia.
Seandainya rumusan Sumpah Pemuda ditambah dengan beragama yang satu, tentu tidak akan lahir Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti yang kita kenal sekarang. Jauh sebelumnya Sumpah Palapa Gajah Mada (1331) yang bertekad mempersatukan Nusantara juga tidak menunjukkan nasionalisme agama. Bahkan hidup kebangsaan di zaman itu ditandai semangat bhinneka tunggal ika, tan hana dharmma mangrwa, berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran bermuka dua.
Antara agama yang satu dan yang lain memang tidak mungkin menegosiasikan keyakinan atau nilai-nilai dan tingkah laku keagamaan masing-masing. Namun alangkah anehnya jika untuk kebaikan, sesama warga negara tidak bisa bekerja sama hanya karena berbeda agama. Apa pantas jika seseorang merasa lebih bersaudara dan lebih peduli pada orang asing yang seagama, ketimbang sanak dan tetangganya yang sama-sama orang Indonesia tetapi tidak seagama.
Kehidupan berbangsa senantiasa dalam proses menjadi, artinya tidak statis. Ketika dijajah Belanda, kita bisa bertanya apa yang salah pada bangsa yang dulunya bisa membangun Borobudur? Jelas, bangsa Indonesia di zaman itu tidak identik dengan bangsa di zaman Sriwijaya, Mataram, atau Majapahit, walau secara historis ada benang merahnya. Bangsa Indonesia sekarang pun adalah bangsa yang baru, dan negaranya bukan lagi kerajaan atau kesultanan.
Agama dan Kebangsaan
Penyiaran agama-agama yang keluar dari tanah kelahirannya mendahului fenomena globalisasi yang dikenal sekarang. Globalisasi secara positif harus diartikan menjadikan suatu bangsa lebih maju atau sama dengan tetangganya. Di mana-mana terdapat kecenderungan menuju homogenisasi atau standardisasi, tetapi juga bisa saja justru menghasilkan fragmentasi atau keanekaragaman. Kondisi ini membuat setiap orang menghadapi banyak pilihan.
Agama yang bersifat universal pun, ketika dipraktikkan coraknya berubah menjadi lokal, sesuai dengan kebudayaan setempat. Ada gaya hidup global, ada pula nasionalisme kultural, begitu tulis John Naisbitt. Agama rupanya tidak meniadakan kebangsaan. Tidak mengherankan kalau gambar-gambar dan patung-patung Buddha Gotama ditampilkan sebagai sosok yang berwajah menyerupai masing-masing bangsa penganutnya. Bukan roman orang India. Maka menghormati ikon Buddha yang dinasionalisasikan bagai menghormati bendera kebangsaan. Jelas, pemelukan agama Buddha tidak identik dengan penganutan budaya India.
Buddha mengakui eksistensi bangsa dan negara dengan bahasanya masing-masing. Posisi bahasa seperti yang ditulis Muhammad Yamin dalam sajaknya, Bahasa, Bangsa: Tiada bahasa, bangsa pun hilang. Buddha mengizinkan para siswa-Nya untuk mempelajari ajaran Buddha dengan menggunakan dialek atau bahasa masing-masing (Vin. II, 139). Ia menasihati para biksu untuk menyesuaikan diri dengan bahasa lokal tempat mereka membabarkan ajaran (M. III, 234-235).
Agama tentu tidak memerlukan pengakuan dari negara. Sebaliknya agama mengakui kekuasaan negara. Setiap agama pada dasarnya menunjukkan komitmen kuat pada martabat kemanusiaan, pemuliaan kemanusiaan, kesejahteraan, dan keselamatan manusia yang seharusnya menjadi tujuan dari penyelenggaraan negara. Maka di tengah kehidupan berbangsa perjumpaan agama-agama dapat mengembangkan kemitraan dan menyinergikan potensi, bukan bermusuhan.
Jakarta, Oktober 2009