Hierarki Kedudukan Manusia
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Dalam hubungan antar manusia terdapat tatanan sosial yang mengatur bagaimana seseorang bersikap terhadap orang-orang di sekitarnya. Sikap hormat dan cara berbicara menunjukkan bagaimana ia menempatkan diri dan mengakui kedudukan orang lain. Hierarki atau tingkatan kedudukan biasanya berpola pada perbedaan pangkat jabatan dan senioritas, mungkin pula melihat perbedaan usia, perbedaan peran pada jenis kelamin, dan perbedaan kasta.
Sikap yang paling tidak toleran ditemukan dalam sistem kasta yang bersifat turun-temurun. Kasta tertentu memiliki hak-hak istimewa dan dipandang lebih mulia atau terhormat dari kasta lain. Seperti yang pernah dikatakan oleh Ambattha, “Gotama ada empat jenis kasta: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Di antara keempat jenis kasta ini, tiga kasta, yaitu Ksatria, Waisya, dan Sudra sesungguhnya hanya merupakan pelayan dari kaum Brahmana.” Ia menghina Buddha, membuat pemuda itu menyadari kesalahannya.
“Ksatria adalah yang terbaik di antara manusia yang mempertahankan garis keturunannya. Tetapi ia yang sempurna pengetahuan serta tindak tanduknya adalah yang terbaik di antara para dewa dan manusia.” Kata-kata ini diucapkan oleh Brahma Sanam Kumara, yang dibenarkan dan diulangi oleh Buddha. Ksatria mengandung arti prajurit dan pemimpinnya yang berperan sebagai administrator serta berjuang mengatasi kejahatan. Buddha Gotama sendiri berasal dari golongan Ksatria. “Ambattha dalam kesempurnaan pengetahuan dan tingkah laku tidak terdapat paham mengenai kelahiran, keturunan, serta suatu kebanggaan bahwa engkau sederajat dengan aku atau engkau tidak sederajat dengan aku,” demikian ujar Buddha.[1]
Buddha membedakan sistem kasta yang membedakan derajat dan kedudukan manusia. Kepada Vasettha, Buddha menjelaskan bahwa kedudukan manusia tergantung dari perbuatan, perkataan, pikiran, dan pandangan yang dianut oleh orang yang bersangkutan. “Di sini dan di mana pun terdapat ksatria yang membunuh, mencuri, berzina, berdusta, memfitnah, berbicara kasar, omong kosong, serakah, kejam, dan menganut pandangan yang keliru. Vasettha, demikianlah kita lihat adanya sifat-sifat buruk, yang tercela, yang tidak boleh diperbuat, yang tidak patut dilakukan oleh orang yang terhormat, sifat-sifat yang mencelakakan, yang tidak dianjurkan oleh orang-orang bijaksana dapat ditemukan pada golongan Ksatria maupun pada golongan Brahmana, Waisya, dan Sudra. Sebaliknya di sini dan di mana pun terdapat ksatria yang menahan diri dari pembunuhan, pantang mencuri, pantang berzina, pantang berdusta, pantang memfitnah, tidak berbicara kasar, tidak omong kosong, tidak serakah, tidak kejam, dan tidak menganut pandangan yang salah. Sifat-sifat baik, yang terpuji, yang seharusnya diperbuat, yang patut dilakukan oleh orang terhormat, yang bermanfaat, yang dianjurkan oleh orang-orang bijaksana, dapat ditemukan pada golongan Ksatria ataupun Brahmana, Waisya, dan Sudra.” Hal-hal yang baik atau yang buruk, yang tercela atau terpuji, tidak ada bedanya ditemukan pada keempat golongan kasta.[2]
Dengan menolak adanya perbedaan kasta, anak-anak keturunan bangsawan sepantasnya menghormati orangtua yang berasal dari golongan rendah sekalipun. “Ia yang selalu menghormati dan menghargai orang yang lebih tua akan memperoleh empat berkah, yaitu panjang umur, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan,” demikian sabda Buddha[3]. Biasanya seseorang dipandang lebih tua karena faktor usia, dan dapat pula karena pertimbangan senioritas atau pangkat jabatannya.
Di mata Buddha orang dipandang tua tidaklah karena umurnya yang sudah lebih lanjut. Seseorang yang menjadi tua secara fisik ditandai kelapukan, dan selebihnya hanya berupa kepalsuan atau kesombongan saja jika tidak diimbangi kebijaksanaan dan kesucian. Sebaliknya seseorang yang muda usia mungkin pantas dihormati sebagai orang tua karena kemajuan hidup batiniahnya melampaui orang-orang lain. Sumana, putri bungsu Anathapindika, adalah seorang wanita yang berbudi luhur. Ketika Sumana jatuh sakit, menjelang napasnya terakhir ia memanggil ayahnya dengan sebutan adik. Anathapindika tercengang dan disangkanya Sumana mengalami gangguan kesadaran. Ia menemui Buddha dan menceritakan apa yang terjadi dengan putrinya. Buddha menjelaskan bahwa kesadaran Sumana menjelang ajalnya tidaklah terganggu. Ia memanggil sang ayah dengan sebutan adik, karena tingkat kesucian yang ia peroleh memang melampaui ayahnya. Sumana telah mencapai tingkat kesucian kedua (sakadagami) sedangkan ayahnya baru mencapai tingkat kesucian pertama (sotapatti).[4]
Dalam hubungan antar manusia tidak dapat diabaikan adanya hierarki kedudukan yang membedakan manusia yang satu dari yang lainnya. Orang yang patut ditempatkan pada kedudukan yang lebih tinggi dipandang sebagai orang yang lebih tua menurut ajaran Buddha adalah orang yang memiliki kebenaran maupun kebajikan, yang tidak bersifat kejam, yang terkendali dan terlatih, yang pandai dan bersih dari noda.[5]
10 Oktober 1990
[1] Digha Nikaya 3
[2] Digha Nikaya 27
[3] Dhammapada 109
[4] Dhammapada Atthakata 18
[5] Dhammapada 261