Hukum dan Keadilan
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Cinta sebagaimana yang diajarkan agama membuat penganutnya bertindak tanpa-keakuan dan tanpa-kekerasan. Thich Nhat Hanh menegaskan bahwa setiap orang dapat melakukan aksi tanpa-kekerasan, bahkan tentara sekalipun. Ia menolak perlakuan yang diskriminatif atau menyingkirkan sebagian orang yang dipandang sebagai musuh.
Sebaliknya mereka harus didekati dengan cinta sehingga bergerak ke arah tanpa-kekerasan. Katanya, tindakan tanpa-kekerasan yang muncul dari kesadaran terhadap penderitaan dan berlandaskan cinta adalah sebuah jalan yang paling efektif untuk menghadapi kesulitan. Tentu saja memperjuangkan sesuatu tanpa-kekerasan memerlukan kecerdikan dan kebijaksanaan, jangan menunggu sampai keadaan kritis terjadi.
Manfaat Hukum
Selain aksi tanpa-kekerasan, ada waktunya tanpa-aksi juga penting. Tanpa-aksi tidak dapat dibenarkan ketika menghadapi situasi yang memerlukan pertolongan, atau ketika melihat ketidakadilan. Kehadiran negara dengan hukumnya jelas dibutuhkan untuk menegakkan keadilan.
Kebebasan menghendaki kearifan, kebajikan, dan ketaatan pada hukum, agar dapat mewujudkan ketertiban. Tanpa adanya ketertiban, kebebasan akan membuat masyarakat terjerumus ke dalam hukum rimba.
Hukum harus memenuhi tuntutan rasa keadilan, berpihak kepada siapa yang benar. Hukum melindungi orang-orang yang berkelakuan baik; mengendalikan dan memperbaiki mereka yang berkelakuan buruk, serta mencegah terjadinya pelanggaran atau kejahatan secara efektif. Dengan itu hukum sebagaimana sila dan winaya akan membawa kerukunan, kedamaian, dan kemajuan sosial. Tradisi Buddhis tidak menempatkan hukuman sebagai pembalasan demi keadilan. Hukum yang baik, yang melindungi kebenaran dan keadilan, memiliki dasar moral yang dapat diterima secara universal dan mengandung unsur pendidikan. Ini menyangkut kemanfaatan hukum.
Berdasarkan kemanfaatan, penggunaan cara-cara yang menyakitkan kadang-kadang tidak terhindarkan. Hukum bersifat memaksa dan wujud hukuman sedikit atau banyak mengandung kekerasan. Benar, cinta kasih tidak memberi tempat pada kekerasan, tetapi juga tidak akan membiarkan suatu kejahatan terjadi. Ada waktunya kita memerlukan pendekatan keras sebagaimana yang dikemukakan dalam pembicaraan Buddha dengan Kesi, pelatih kuda (A. II, 111). Justru karena terdorong oleh cinta kasih, Buddha akan mencela apa yang salah sekalipun dengan demikian melukai hati orang lain. “Apa yang akan kaulakukan,” kata-Nya kepada Pangeran Abhaya, “seandainya ada anak yang tersedak karena kemasukan potongan kayu atau batu di mulutnya?” Jawab sang pangeran, “Aku akan mengeluarkannya, Bhante. Apabila tidak bisa mengeluarkannya dengan spontan, aku akan memegang kepalanya erat-erat dengan tangan kiriku dan mengorek keluar benda itu dengan jari tangan kananku, sekalipun mungkin menyebabkan luka atau berdarah. Kenapa demikian? Aku mengasihi anak itu, Bhante.” (M. I, 395).
Usaha penegakan hukum menghendaki kepastian hukum. Apa yang telah diundangkan dan melembaga harus ditaati. Penguasa tidak boleh semena-mena memberlakukan apa yang tidak ada peraturannya. Tanpa kepastian hukum, sulit dibayangkan suatu negara akan sejahtera. Jika hukum tidak dihargai dan orang tidak percaya pada penegakan hukum, kejahatan atau kekerasan akan meningkat. Timbul kecenderungan main hakim sendiri. Berdasarkan sejumlah contoh yang diriwayatkan dalam Tripitaka, Ratnapala menyimpulkan bahwa salah satu kelemahan dari pendekatan hukum adalah penyalahgunaan hukum oleh aparat atas nama penguasa atau negara, dan apa yang disebut terorisme negara tidak terhindari karena kondisi yang diciptakannya itu. Pada gilirannya kemudian, akan terjadi perlawanan dari masyarakat. Rakyat akan menggunakan kekerasan mengikuti dan menandingi apa yang dipraktikkan oleh penguasa. Karena itu pendekatan hukum seharusnya terkait dengan pendekatan moral dan memperhatikan suara rakyat (demokrasi).
Kontrol Sosial
Apa yang disebut kontrol sosial menyangkut kesadaran bersama sebagai manusia untuk bertingkah laku berdasarkan hukum, etika, dan moral yang melindungi kepentingan semua pihak. Kita harus bertanya: apakah jalan hidup kita merugikan dan membahayakan orang lain? Tidakkah kita hidup di atas penderitaan orang lain? Apakah kita merusak dunia ini? Bila kita menjawab dengan jujur, kita akan tahu bagaimana mengarahkan hidup dan tindakan kita.
Setiap manusia dapat takut sendiri merasa salah, takut disalahkan oleh orang lain, takut terhadap hukuman, dan takut menghadapi akibat-akibat yang tidak diinginkan dalam kehidupan yang akan datang (A. II, 121).Perasaan semacam itu memungkinkan kontrol sosial terjadi. Ada dua prinsip moral yang menunjang kontrol sosial, yaitu tahu malu (hiri) dan takut akan akibat perbuatan yang salah (ottappa). Kedua hal itu merupakan cahaya yang melindungi dunia (A. I, 51).
Dalam ajaran agama pertentangan nilai dari kebaikan dan kejahatan atau cinta kasih dan kebencian merupakan tema yang sangat mendasar. Kejahatan adalah lawan dari kebaikan dan kebencian adalah lawan dari cinta kasih. Kedua kutub nilai yang bertentangan ini tidak pernah dapat dipertemukan. Orang melakukan kebaikan dengan menyingkirkan kejahatan. Orang yang penuh cinta kasih tidak mungkin sekaligus pula dirasuki kebencian. Kejahatan bukan harus dibalas dengan kejahatan. Kita mengharapkan agar orang yang jahat bertobat dan bukan mengutuknya.
Jakarta, Februari 2011