Hukum dan Keadilan
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Barangsiapa berbuat jahat atau melanggar undang-undang ia harus dihukum. Hukum tidak pandang bulu. Berat ringannya hukuman sesuai dengan besar kecilnya kesalahan yang dilakukan. Itulah yang dinamakan adil. Keadilan tersebut mengacu pada hukum karma. Setiap manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri; Dan dari sebab yang baik menghasilkan akibat yang baik, dari sebab yang buruk menghasilkan akibat yang buruk.
Pencuri yang tertangkap akan dijatuhi hukuman penjara. Penjahat narkotika dan pembunuh dapat dihukum mati. Polisi bertugas menangkap penjahat, tetapi ia yang salah tangkap bisa saja digugat. Hakim yang terima suap akan kena pecat dan masuk kurungan. Harus diakui menegakkan keadilan tidak sesederhana mempelajari hukum atau membuat undang-undang itu sendiri. Raja Seniya Bimbisara misalnya, akan menghukum siapa saja yang mencuri sesuai dengan undang-undangnya. Tetapi terhadap Dhaniya, seorang rahib Buddha yang mencuri kayu milik negara, ia berkata, “Mana mungkin aku akan mencambuk atau memenjarakan atau menghukum buang seorang petapa atau brahmana di negara ini.” Raja Bimbisara sangat menghormati Buddha. Maka Dhaniya dibebaskan karena kepala gundulnya. Buddha sendiri mencela, menghukum, dan memecat muridnya yang mencuri.[1]
Sebaliknya Angulimala, seorang bromocorah yang konon telah membunuh 999 orang sebelum ditaklukkan oleh Buddha, beruntung ditahbiskan menjadi biksu dan dibebaskan dari hukuman. Ia membunuh sesuai dengan permintaan gurunya, untuk mengumpulkan seribu buah jari tangan kanan manusia. Calon korbannya yang terakhir adalah ibunya sendiri. Buddha yang waskita muncul di saat-saat yang tepat, menghalangi terjadinya peristiwa yang tragis itu. Ia menyadarkan Angulimala, dan menerima bekas penjahat tersebut sebagai murid.
Raja Pasenadi yang mengerahkan pasukan untuk menangkapnya menemukan Angulimala telah menjadi murid Buddha. Buddha bertanya pada Raja Pasenadi, “Baginda, jika sekiranya engkau menjumpai Angulimala, penyamun itu telah mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi biksu; Ia telah menjauhkan diri dari pembunuhan, menghindari pencurian, tidak lagi berdusta; Ia hanya makan sekali sehari, menempuh kehidupan suci yang luhur; menjadi saleh, menyenangkan; Apa yang akan kau lakukan terhadapnya?” Jawab Raja Pasenadi, “Aku akan menghormatinya, bahkan mengundangnya untuk menerima hadiah jubah, makanan, pemondokan, dan obat-obatan, atau aku akan menjamin keamanan, keselamatan, dan perlindungan yang pantas baginya. Tetapi bagaimana mungkin Yang Mulia, orang jahat yang berwatak buruk menjalankan kehidupan suci seperti itu?” Ternyata Angulimala memenuhi ajaran Buddha dengan tekun sehingga berhasil mencapai tingkat kesucian.
Angulimala bebas dari tuntutan hukum negara. Juga di kemudian hari, setelah meninggal dunia, ia berhasil mencapai nirwana, berarti bebas dari siksa alam neraka. Namun masih ada sisa karma buruk di masa lalu yang menimbulkan penderitaan baginya sendiri. Ia mengalami kecelakaan hingga kepalanya luka bercucuran darah. Menurut Buddha, “Kau alami di sini dan sekarang ini matangnya karma; Yang seandainya tidak demikian, engkau akan menderita kelak di neraka bertahun-tahun, beratus-ratus tahun, beribu-ribu tahun lamanya.”[2]
Siapa saja yang melakukan kesalahan, ia akan tersiksa oleh perbuatannya sendiri. Kalaupun ia tidak dihukum oleh orang lain, mungkin ia akan mengalami penderitaan dalam bentuk lain di dunia ini dan setelah meninggal kelak akan dilahirkan di neraka. “Sebagian orang lahir kembali melalui kandungan, pelaku kejahatan lahir di alam neraka, yang berkelakuan baik pergi ke surga, dan orang yang telah bebas dari kotoran batin mencapai nirwana.”[3]
Tetapi karma bukanlah hukum pembalasan. Kejahatan bukan harus dibalas dengan kejahatan. “Para siswa, jika seseorang menyatakan bahwa tepat sebagaimana orang ini melakukan suatu perbuatan, demikian pula pasti pembalasan yang harus dialaminya, maka tidaklah terdapat manfaat dari penghidupan suci, tidaklah terdapat kesempatan untuk memusnahkan penderitaan sepenuhnya. Tetapi benar jika seseorang menyatakan bahwa sebagaimana orang ini melakukan suatu perbuatan dalam rangkaian pengalamannya, maka demikian ia mengalami penyelesaiannya.”[4]
Tuhan akan mengganjar manusia yang baik dengan segala kebahagiaan dan menghukum yang jahat dengan segala penderitaan. Namun Tuhan pun mengampuni mereka yang bertobat. Maka kita mengharap agar yang jahat bertobat dan bukan mengutuk agar yang jahat mendapat hukuman yang setimpal.
27 September 1989
[1] Suttavibhanga, Parajika II
[2] Majjhima Nikaya 86
[3] Dhammapada 126
[4] Angutara Nikaya III, 10 : 99