Ilusi Tidak Hanya Sulap
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Sulap adalah tipuan. Orang mudah tertipu karena pengamatannya yang keliru. Pengamatan yang tidak tepat atas suatu rangsangan indra yang dialami seseorang menghasilkan ilusi. Ilusi adalah kesan yang salah, tidak sesuai dengan keadaan yang obyektif. Sesuatu yang benar dianggap keliru atau sesuatu yang salah dianggap benar. Bentuk kepalsuan dan kekhayalan ini tidak hanya terjadi pada tontonan sulap. Di tengah kehidupan sehari-hari manusia sering mengalami ilusi.
Ilusi dalam terminologi Buddha dinamakan vipallasa. Ilusi timbul karena kekeliruan pencerapan (sanna-vipallasa) yang mengamati, kekeliruan pikiran (citta-vipallasa) yang mengenali, dan keliruan pandangan (ditthi-vipallasa) yang membentuk gagasan. Sebagai akibat dari kekeliruan ini, timbul pendapat yang tidak benar tentang kekekalan (niccavipallasa), kebahagiaan (sukha-vipallasa), keindahan (subhavipallasa), dan keakuan (atta-vipallasa).
Apa yang tidak kekal dianggap dan diharapkan kekal. Apa yang menimbulkan atau merupakan penderitaan dianggap kebahagiaan. Apa yang buruk dianggap indah. Apa yang bukanlah aku, bukanlah punyaku, dianggap sebagai aku dan punyaku. Ilusi itu membuat manusia tidak dapat menghindari diri dari perasaan melankolik dan luapan emosional. Ketika menyadari adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang harus dihadapi, manusia hanyut dalam penderitaannya.
Ada empat konsepsi pengelompokan (ghana) yang merintangi pengamatan sehingga terjadi kekeliruan, yaitu: kesinambungan (santati ghana), keseluruhan atau kesatuan wujud (samuha ghana), kesatuan fungsi (kriya ghana) dan kesamaan obyek (arammana ghana). Konsepsi tersebut dapat dibandingkan dengan hukum kesinambungan (continuity), keterdekatan (proximity) ketertutupan (closure), dan hukum kesamaan (similarity), dalam pengamatan menurut teori psikologi yang dikenal sekarang.
Konsep kesinambungan melihat serangkaian titik yang sebenarnya terpisah satu sama lain sebagai satu garis yang tidak terputus. Sebuah sumber cahaya yang diputar hasilnya adalah satu lingkaran cahaya. Banyak lampu-lampu etalase yang menimbulkan ilusi penglihatan. Lampu-lampu yang menyala bergantian secara urut dari waktu ke waktu mengesankan adanya gerakan yang bersambungan. Apa yang terjadi pada satu momen, tampaknya berlangsung terus dari waktu ke waktu. Konsep keseluruhan melihat segala bagian atau unit sebagai satu kesatuan yang dianggap utuh. Contohnya, apa yang dinamakan tangan adalah kesatuan dari jari-jari, tulang, sendi, otot, dan sebagainya. Rumah terdiri dari lantai, dinding, jendela, pintu, dan atap. Dalam pengaruh konsep ini dua buah garis lengkung membusur yang diletakkan berhadapan pada satu bidang memberi kesan sebagai satu lingkaran, sekalipun sebenarnya tidaklah utuh. Konsep kesatuan fungsi menerima satu fungsi dalam satu perbuatan, padahal seharusnya terdapat sejumlah fungsi dan gerakan. Kaki yang melangkah ke depan tampak sebagai satu gerakan, walaupun sebenarnya terdiri dari banyak gerakan. Konsep kesamaan obyek melihat sasaran dari suatu hal yang sama dan mengabaikan perbedaannya. Apa yang dikelompokkan sama berwarna merah misalnya, dapat berbeda intensitas warna, berbeda pula jenis ukuran dan bentuknya. Pengamatan atas seberkas sinar menjadi jelas dengan bantuan sebuah prisma, bahwa sebenarnya terdapat sejumlah warna.
David Copperfield, raja sulap yang menciptakan ilusi, menyimpan banyak rahasia. Apa yang mesti dijelaskan ketika ia menembus tembok besar Cina? Atau ketika membuat gaib patung Liberty? Bisa jadi ia menggunakan kekuatan di luar normal Pesulap ini memancing keingintahuan orang banyak, yang bertanya-tanya sebelum atau pun setelah menyaksikan pertunjukannya. Tetapi kewajiban seorang pesulap hanya mempertontonkan keahliannya untuk menghibur. Itu saja.
Seorang guru Zen bertanya kepada muridnya, “Terciumkah olehmu harum bunga-bunga itu?” “Ya,” jawab sang murid. Lalu guru itu berkata, “Sesungguhnya aku tidak menyembunyikan apa-apa terhadapmu.” Buddha tidak menyembunyikan apa-apa dalam ajaran-Nya. Ia pernah membuat Yasa, seorang murid-Nya gaib, agar tidak dapat terlihat oleh orang yang mencarinya. Ia menciptakan ilusi bidadari, terbang dan berjalan-jalan di udara, dan sebagainya. Tentu saja tidak untuk menipu, tidak juga untuk pamer atau tontonan. Tetapi Ia menunjukkan kemampuan supra normal untuk kepentingan orang yang dibimbing-Nya. Itulah salah satu cara untuk membuat orang percaya atau membuka mata dan telinga agar mudah menerima apa yang diajarkan-Nya. Kemampuan yang serupa dimiliki pula oleh sejumlah murid-murid-Nya. Di antaranya Cula Panthaka pernah memperbanyak diri menjadi seribu orang, Yasa dan Pindola Bharadvaja yang mampu terbang, atau Ananda yang memilih muncul dari dalam tanah di tengah konsili pertama setelah Buddha meninggal.
Tenaga batin (abhinna) menghasilkan kegaiban di mata orang-orang awam. Ada 6 macam tenaga batin, yakni: (1) kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir yang terdahulu; (2) kemampuan melihat alam-alam halus; (3) kemampuan mendengar suara dari alam-alam lain; (4) kemampuan untuk membaca pikiran makhluk lain; (5) kemampuan magik, di antaranya berupa kemampuan untuk menghilang atau menyalin rupa, mengubah diri sendiri menjadi banyak, mencipta ilusi dengan kekuatan pikiran, menembus dinding, berjalan di atas air, terbang, melawan api, dan sebagainya; (6) kemampuan memusnahkan kotoran batin.[1]
Kelima jenis kemampuan yang disebut terdahulu digolongkan sebagai tenaga batin duniawi (lokiya-abhinna). Sedangkan kemampuan memusnahkan kotoran batin merupakan tenaga batin yang luhur (lokuttara-abhinna).
8 Agustus 1990
[1] Digha Nikaya 34