Jalan Tengah
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Prasasti Pananjakan (1402 M/1324 Saka) menyebutkan larangan untuk menarik pajak di lima desa pada bulan titi leman, akhir bulan Asadha. Pajak tidak ditarik pada saat itu karena warga Tengger tengah melakukan puja di Gunung Brama, Bromo sekarang.
Umat Buddha merayakan Asadha di hari purnama bulan ini, tetapi tidak berhubungan dengan pemujaan di Bromo. Asadha sebenarnya nama bulan, dua bulan setelah Waisak. Di hari Asadha 2.598 tahun yang lalu, di Taman Rusa Isipitana, Sarnath dekat Benares, untuk pertama kalinya Buddha memberi khotbah. Khotbah perdana itu berjudul Sutta Pemutaran Roda Dharma (Dhammacakkappavattana-sutta).
Semangat Asadha
Di hadapan lima petapa, Buddha menjelaskan Empat Kebenaran Mulia, yaitu kebenaran tentang duka atau penderitaan, asal mula duka, lenyapnya duka, dan jalan menuju lenyapnya duka. Ada dua jalan ekstrem yang harus dihindari. Jalan ekstrem yang pertama, mengikuti kesenangan hawa nafsu. Jalan ekstrem kedua, kebalikannya, menyiksa diri. Kedua jalan ekstrem membuat manusia terperangkap dalam siklus kehidupan yang sarat penderitaan (Vin. I, 10).
Jalan yang dipraktikkan dan diajarkan oleh Buddha adalah Jalan Tengah (Majjhima-patipada), pendekatan yang moderat. Pengertian ini sering dijelaskan dengan perumpamaan bermain kecapi. Senar kecapi harus disetel tidak terlalu tegang ataupun kendur. Hanya jika disetel menurut pola titinada yang serasi, kecapi bisa menghasilkan suara yang indah (Vin. I, 182). Kecenderungan menghindari bentuk-bentuk ekstrem dan polarisasi untuk mencapai keharmonisan merupakan watak dari agama Buddha.
Dalam kehidupan sehari-hari kita membedakan apa yang baik dan buruk, benar dan salah. Jalan Tengah tentu saja bukan berarti di antara baik dan buruk, apalagi toleran terhadap yang buruk dan salah. Bagaimanapun jalan ini sepenuhnya berpihak pada kebenaran, kebaikan, kesucian, keindahan, kasih sayang, dan nilai-nilai luhur lainnya. Jalan Tengah tak lain dari kebijaksanaan, kebajikan, dan konsentrasi yang menghadirkan kebebasan, kedamaian, kebahagiaan.
Jalan Tengah terdiri dari pengertian benar, pemikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, daya upaya benar, perhatian benar, dan semadi benar. Kedelapan unsur merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga merupakan satu jalan yang dinamakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Apa yang disebut benar berarti menghindari kejahatan, menambah kebaikan dan menyucikan pikiran (Dhp. 183),singkatnya tidak merugikan atau menyakitkan siapa saja. Misalnya pemikiran benar dipenuhi cinta kasih, melepaskan keakuan dan bebas dari kekerasan.
Ahimsa, Tanpa Kekerasan
Dengan pikiran yang bebas dari kekerasan, seseorang tidak akan berkata dan bertindak kejam. Ucapan benar bukan hanya tiada dusta dan omong kosong, tetapi juga menyingkirkan kata-kata kasar dan fitnah, kekerasan lewat perkataan. Perbuatan benar menghindari pembunuhan dan penganiayaan, tidak mencuri dan mengambil paksa, zina, dan kekerasan seksual. Mata pencaharian benar pun menjauhi kekerasan, termasuk pantang jual beli senjata.
Senjata dipakai untuk berkelahi, perang, dan membunuh. Sebenarnya senjata hanyalah sebuah alat. Alat berupa senjata bisa dipergunakan lain, bukan sebagai senjata. Kita mengenal cabang olahraga lempar lembing, panahan, anggar, dan menembak. Tidak ada yang salah dengan alat-alat olahraga ini. Sebaliknya, sebuah alat yang tidak pernah dianggap sebagai senjata, dapat disalahgunakan menjadi senjata. Berkelahi tanpa senjata, tangan kosong pun dapat mematikan.
Pemikiran mempersenjatai Satpol PP menjadi bahan perdebatan, karena berisiko menimbulkan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan. Polisi Pamong Praja awalnya didirikan di Yogyakarta (3 Maret 1950)dengan motto Praja Wibawa. Tugasnya menegakkan Peraturan Daerah, memelihara ketenteraman dan ketertiban umum. Tentu wibawa dijaga dengan mengayomi, bukan dengan memusuhi dan menindas rakyat.
Baik sekali jika aparat dipersenjatai dengan cinta kasih. Kasih sayang tanpa kekuatan memang bisa menjadi sebuah kelemahan, namun kekuatan tanpa kasih sayang berarti kezaliman. Dunia belajar dari Mahatma Gandhi yang mempraktikkan ahimsa dalam mencari kebenaran. Sejalan dengan ahimsa, ia menggerakkan satyagraha, perjuangan antikooperasi sipil melawan penjajah yang tak terbendung oleh kekuatan militer sekali pun. Ahimsa sebagai jalan tengah bukan pasif, tetapi aktif menghadirkan keharmonisan.
Kita perlu introspeksi ketika kekerasan hadir di tengah masyarakat juga di dalam rumah tangga. Apa benar anak bangsa sering mengamuk, sampai-sampai kata amuk diadopsi menjadi kosakata internasional (amok/Inggris). Amuk dan tindak kekerasan dilakukan oleh warga desa, pelajar dan mahasiswa, anggota organisasi massa, ataupun aparat pemerintah. Suporter sepak bola dan pendukung partai atau kontestan pilkada sama saja. Macam-macam alasannya, bahkan tidak jarang kekerasan dilakukan atas nama agama.
Kekerasan tentunya bukan budaya kita. Ahimsa, dibaca ahingsa, merupakan kosakata Jawa kuno atau Kawi. Ini menunjukkan bahwa prinsip tanpa kekerasan tidak asing bagi Indonesia. Kitab Dhammapada menyebutkan bahwa ahimsa merupakan salah satu ciri dari orang yang adil bijaksana, yang patut dituakan (ayat 261), ciri dari orang yang suci dan mulia (ayat 270).
Jakarta, Juli 2010