Judi atau Bukan Judi
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Mengapa ada orang yang hidupnya selalu miskin? Dengan sederhana guru agama Buddha menjawab, bahwa orang itu dalam kehidupannya yang lalu tidak suka berdana. Undian-undian menjanjikan harapan, dan telah melahirkan jutawan mendadak. Bagaimana pula menerangkannya? Jawabannya masih sederhana: Sewaktu miskin orang itu sedang menerima buah dari perbuatan buruk (akusala-kamma) dan dengan matangnya hasil perbuatan baik (kusala kamma) yang pernah diperbuat dalam kehidupan yang lampau, nasibnya pun berubah.
Hukum karma yang mengatur. Hukum karma menunjukkan betapa Tuhan Yang Mahaesa juga Mahaadil. “Sesuai dengan benih yang telah ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya.”[1] Nasib seseorang bisa berubah dan tergantung pada karma masing-masing. Orang mendapatkan jalan pintas untuk kaya mendadak. Barangkali dengan memenangkan undian atau lotre. Barangkali pula antara lain lewat taruhan atau judi. Tetapi apakah berjudi itu baik? Seraya menikmati buah karma masa lalu, sekarang kita berbuat sesuatu yang akan ikut menentukan nasib di hari kemudian. Untuk menikmati buah karma yang baik kita harus menimbun perbuatan baik.
Sebagai mata-pencaharian, Buddha menyatakan bahwa memperdagangkan senjata, manusia, binatang untuk disembelih, barang yang memabukkan dan racun, adalah perbuatan yang buruk.[2] Mata-pencaharian ini tidak sesuai dengan Sila yang dianut oleh umat-Nya. Berbuat baik sering diartikan secara terbatas dengan ketaatan menjalankan Sila. Seorang umat Buddha berusaha untuk melaksanakan sedikitnya Lima Sila, yakni: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak berdusta, tidak makan minum barang yang memabukkan.[3] Judi memang tidak termasuk dalam Panca Sila ini. Dalam Dasa Sila, sepuluh pantangan yang dianut oleh umat pada tingkatan lebih lanjut, terdapat pantangan menerima mas dan perak, yang diartikan pula sama dengan uang. Sila-sila ini tidak menunjukkan hubungan langsung dengan judi.
Terdapat 8 hal yang harus dinilai untuk menyatakan apakah suatu perkara dibenarkan atau ditolak dalam agama Buddha. Buddha tidak membenarkan hal-hal berikut: 1) Suatu yang merangsang hawa nafsu, 2) Yang menambah belenggu penderitaan, 3) Yang memupuk kotoran batin, 4) Yang menginginkan banyak berlebihan, 5) Yang menimbulkan ketidakpuasan, 6) Yang tidak membatasi pergaulan, 7) Yang membuat atau bersifat malas, 8) Yang bermewahan. [4]
Perbuatan buruk pada umumnya dikelompokkan dalam sepuluh bentuk, yang terdiri dari 3 perbuatan dengan jasmani, 4 perbuatan dengan ucapan, dan 3 perbuatan dengan pikiran. Perbuatan buruk dengan jasmani adalah membunuh, mencuri, dan berzinah. Dengan ucapan adalah berdusta, fitnah, kata-kata kasar, dan omong kosong yang tak berguna. Dengan pikiran dicakup keserakahan, keinginan merugikan orang lain, bentuk-bentuk pengertian yang salah atau tidak sesuai dengan Dharma.[5] Suatu bentuk perbuatan hadir lebih dahulu dalam pikiran. Pikiran adalah komandan. Terlepas dari perbuatan berupa tindak nyata, berpikir buruk saja termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan.
Menurut Abhidhamma, pengertian yang salah atau kebodohan (moha) adalah akar dari semua perbuatan buruk atau jahat. Keserakahan (lobha) dan keinginan jahat atau kebencian (dosa) tidak berdiri sendiri, tetapi bergabung dengan pengertian yang salah. Perjudian berakar pada pengertian yang salah dan keserakahan. Perjudian pun melahirkan ekses buruk lain termasuk peluang melanggar Sila.
Kepada Sigala muda, Buddha mengemukakan tentang 6 jalan yang menghabiskan harta, yaitu: 1) Ketagihan minuman keras, 2) Sering berkeliaran di jalan pada waktu yang tak pantas, 3) Sering mengunjungi tempat pelesiran, 4) Gemar berjudi, 5) Pergaulan yang tak baik, 6) Kebiasaan bermalas-malasan. Khusus bagi penggemar judi, Ia mengingatkan adanya 6 bahaya, yakni: 1) Jika menang ia dibenci orang, 2) Jika kalah ia meratapi kehilangan hartanya, 3) Menghamburkan harta sehingga jatuh miskin, 4) Ucapannya tidak dipercaya dalam penegakan hukum, 5) Dipandang rendah oleh kawan dan Iawan, 6) Ia tidak disukai oleh orang yang mencari menantu, karena seorang penjudi tidak bisa memelihara keluarganya dengan baik. [6]
Apa dan bagaimana suatu perkara digolongkan perjudian mungkin saja diperdebatkan mengingat sangat beragamnya suatu ‘permainan’. Namun etika agama Buddha lebih didasarkan pada pengertian yang benar dari motif atau akar mula suatu perbuatan serta pengertian terhadap bahaya dan manfaatnya.
4 Februari 1987
[1] Samyutta Nikaya XI, I:10 (I,227)
[2] Anguttara Nikaya V, 18:177
[3] Anguttara Nikaya V, 18:171
[4] Anguttara Nikaya VIII, 6:53
[5] Digha Nikaya 33 (III, 269)
[6] Digha Nikaya 31 (III, 181-183)