Karma dan Pengampunan
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Seorang biksu yang ditangkap karena membunuh Perdana Menteri Sri Lanka (1959), dijatuhi hukuman mati. Konon ia menentang upaya kompromi dengan golongan Tamil. Sebelum pelaksanaan hukum mati, ia beralih memeluk agama lain. Kenapa? Menurut pernyataannya sendiri, alih agama itu membuatnya dapat meminta pengampunan, yang tidak ia dapatkan dalam agama Buddha.
Penganut Buddha berpegang pada hukum karma. “Sesuai dengan benih yang telah ditabur, begitulah buah yang akan kau peroleh darinya. Ia yang berbuat baik akan mendapatkan buah kebaikan. Ia yang berbuat jahat akan memperoleh buah kejahatan. Tertaburlah benih itu dan tertanam baik, engkau akan menikmati buah daripadanya.”[1] Sebagaimana halnya menanam, dari benih jagung, buah yang akan dipetik pun jagung, bukan padi, atau lainnya. Karena karma mengandung hubungan sebab akibat, orang melihatnya sebagai hukum pembalasan. Lalu bagaimana diartikan pada utang, utang nyawa bayar nyawa. Maka muncul pula ungkapan “tiada ampun bagimu.”
Namun karma tidaklah sesederhana itu. Dalam aspek moral, karma berupa perbuatan, harus berhubungan dengan kehendak. Kehendak itu sendiri adalah karma. “Kehendak itulah yang Kusebut karma. Setelah timbul kehendak dalam batinnya, seseorang melakukan perbuatan melalui jasmani, ucapan, dan pikiran,” demikian dinyatakan oleh Buddha.[2]
Karma dibedakan atas karma hitam yang berakibat hitam, karma putih berakibat putih, karma hitam dan putih berakibat hitam dan putih, karma bukan hitam dan putih berakibat pada pengakhiran karma.[3]Hitam itu buruk, putih itu baik. Karma baik atau pun buruk berbagi-bagi lagi menurut penggolongan waktu, kekuatan, dan fungsinya. Setiap karma memiliki waktu tertentu untuk matang, ada yang menghasilkan buah lebih cepat, ada yang lambat. Ada bermacam-macam karma yang akibatnya akan berhubungan dengan lebih dari satu kehidupan. Ada karma yang mencegah munculnya akibat dari suatu karma tertentu. Mekanisme bermacam-macam karma memungkinkan pengakhiran karma. Pengakhiran karma ini menunjukkan adanya penghapusan utang atau penghentian pembalasan.
Buddha mengemukakan sejumlah perumpamaan. Andaikan segumpal garam dimasukkan ke dalam semangkuk kecil air, maka air yang tidak seberapa banyak itu menjadi asin dan tak terminum. Namun bilamana segumpal garam itu dimasukkan ke dalam sungai Gangga, akankah air sungai itu menjadi asin sehingga tidak dapat diminum?
Andaikata ada orang yang disalahkan karena tidak membayar utang satu bahkan setengah kapahana, atau mencuri barang seratus rupee, ia dihukum masuk penjara. Tetapi ada pula orang yang tidak sampai masuk penjara walau ia dinyatakan melakukan kesalahan yang sama. Ada orang yang tertangkap mencuri kambing lalu dianiaya bahkan dibunuh oleh pemiliknya. Tetapi ada orang lain dengan kesalahan yang sama, diperlakukan berbeda.
Katakanlah orang yang bersalah atau pencuri itu datang dari keluarga kaya, mungkin pula penguasa. Bisa saja ia tertangkap tetapi tidak kena aniaya. Kalau ini diartikan sebagai pengampunan, sebenarnya harus dipahami bahwa ia tidaklah lepas dari pertanggungjawaban. Ia bisa bebas karena keseganan orang padanya, ia memiliki sesuatu hal lain untuk dijadikan jaminan atau penebusan sehingga nasibnya berbeda dari orang yang kecil atau lemah.
Suatu kesalahan yang kecil dapat membawa orang tertentu ke neraka. Kesalahan serupa pada orang lain dengan kualitas berbeda, misal dalam hal potensi dan kompensasi yang dimilikinya, memberi akibat yang lain. Karena itu Buddha menganjurkan setiap orang pada segala kesempatan agar melatih kehidupan bersusila, melatih semadi dan mengembangkan kebijaksanaan. Ia yang tidak mengembangkan kemampuan lahir dan batin, tidak memiliki simpanan jasa dan potensi mencegah timbulnya akibat karma buruk, hidupnya tidak berarti, jiwanya kerdil, sehingga mudah tergelincir dalam penderitaan.[4]
Hukum karma merupakan hukum kosmis tentang sebab dan akibat yang sekaligus pula merupakan hukum moral yang impersonal. Kemahakuasaan dan keadilan Tuhan dilihat dari hukum universal ini. Yang Maha Pengasih tanpa diminta pun akan senantiasa mengampuni. Kita diajar untuk selalu memaafkan dan mengampuni. Tetapi hukum karma tetap menuntut setiap pelaku perbuatan untuk bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Memahaminya, orang terdorong untuk senantiasa aktif melawan karma buruk dengan memperbanyak karma baik. Orang tidaklah mengharap dengan pasrah.
Banyak orang melakukan sembahyang dan tiba-tiba menjadi sangat religius manakala menghadapi permasalahan. Shodo Okano mengilustrasikan bagaimana orang-orang di Tokyo mengunjungi Kuil Kannon (Bodhisattwa Avalokiteshvara) untuk meminta pertolongan. Seorang korban pencurian berdoa semoga si pencuri dapat cepat tertangkap agar barang miliknya dapat diperoleh kembali. Si pencuri pun datang ke kuil dengan sejuta harapan akan pengampunan dan meminta perlindungan supaya tidak tertangkap demi menolong keluarganya yang menghadapi kesulitan. Lalu seorang polisi memohon petunjuk atau bantuan supaya ia dapat menangkap pencuri itu. Siapa yang doanya dikabulkan? Mereka yang mendalami Dharma akan merujuk jawabannya pada hukum karma. Tuhan, begitu pula Makhluk Suci seperti Kannon tidak akan memihak. Hukum karma yang akan berbicara.
“Tidak di langit, di tengah lautan atau pun di celah-celah gunung; tidak di mana pun dapat ditemukan tempat bagi seseorang menyembunyikan diri dari akibat-akibat perbuatan buruknya.”[5]
3 Juni 1987
[1] Samyutta Nikaya XI, 2 : 1 (I,227)
[2] Anguttara Nikaya III, 6 : 9
[3] Anguttara Nikaya IV, 24 : 232
[4] Anguttara Nikaya III, 10 : 99
[5] Dhamapada 127