Kartini dan Semua Perempuan
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Tentu saja Karini akan menjadi Raden Ayu. Tetapi tradisi menghendaki perempuan kena pingit dan siap menikah dengan orang yang tidak dikenal. Maka ia sendiri, perempuan lain seperti Dewi Sartika, dan sesamanya harus berjuang memperbaiki nasib wanita. Perjuangan emansipasi wanita Indonesia itu yang kita peringati pada Hari Kartini.
Pengakuan terhadap peran keibuan ternyata tidak selalu diikuti penghargaan yang sewajarnya bagi kaum perempuan. Hanya kecantikan dan kasih sayang yang lazim diakui sebagai sifat wanita. Tetapi di luar dari itu seringkali perempuan dianggap jauh tertinggal dari laki-laki. Perempuan dipandang lemah dan pada suatu zaman juga bisa dibodohkan.
Dinyatakan dalam Sutra Prajnaparamita bahwa ibu dari para Buddha dan Bodhisattwa adalah Kebijaksanaan Yang Sempurna. Lalu seniman menciptakan arca wanita yang sangat elok sebagai lambang personifikasi Prajnaparamita, Kebijaksanaan Yang Sempurna tersebut. Biasanya kecantikan dan kelembutan wanita yang mengilhami para seniman. Tetapi arca Prajnaparamita dari zaman Singasari, yang konon mengabadikan kecantikan Ken Dedes, bukan hanya mengungkapkan keindahan dan kelembutan. Arca wanita itu luar biasa karena merupakan manifestasi kesempurnaan dari Kebijaksanaan. Wujud wanita juga muncul untuk menggambarkan pribadi Ibu Dunia sebagai Avalokiteshvara atau Kuan Yin.
Wanita semestinya tidak bodoh dan tidak terbelakang. Secara khusus Buddha pernah memuji keunggulan para wanita yang menganut ajaran-Nya. Misal, antara lain orang pertama yang berlindung padanya adalah Sujata, putri Senani. Orang yang paling berbakti, memenuhi keperluan Persaudaraan Rahib (Sanggha) adalah Visakha, ibu dari Migara. Wanita yang paling luas pengetahuannya adalah Khujjuttara, yang sangat penyayang adalah Samavati. Wanita yang teratas tingkat kemampuan meditasinya adalah Uttara, ibu dari Nanda. Wanita teladan dalam berdana makanan adalah Suppavasa dari kaum Koliya. Teladan dalam hal merawat orang sakit adalah Suppiya, dalam kesetiaan adalah Katiyani, dalam kecakapan berbicara adalah ibu dari Nakula. Yang mudah percaya adalah Kali, pengikut dari Kuraraghara.[1]
Murid Buddha yang utama, yang menjadi rahib tidak hanya laki-laki. Di antara biksuni terdapat pasangan Khema dan Uppalavanna, yang merupakan murid utama. Sebagaimana halnya dikenal pasangan Sariputta dan Moggallana di antara para biksu. Buddha mengangkat kedudukan wanita tidak hanya dalam hal duniawi. Adanya Sanggha dan kesempatan bagi wanita yang sama dengan pria, menandakan emansipasi meliputi pula pencapaian tingkat kesucian dan kesempurnaan.
Kedudukan wanita sebagai keturunan yang di kemudian hari menjadi ibu dari anak-anaknya, ibu dari masyarakat dan ibu dari bangsanya ditegaskan oleh Buddha di hadapan Raja Pasenadi. Seorang anak perempuan mungkin pula lebih baik daripada laki-laki.[2] Karena kedudukannya itulah kemajuan perempuan menjadi penting dalam usaha memajukan bangsa. Sangat wajar bila Kartini menginginkan perempuan berpendidikan, agar lebih cakap ia mendidik anak-anak, lebih cakap mengurus rumah tangga atau keluarga, dan lebih cakap mengabdikan diri kepada masyarakat, sehingga bangsanya menjadi lebih maju. “Hendaklah menjadi rakhmat, menjadi tempat orang banyak berlindung; menjadi pohon yang rindang tempat orang banyak dapat bernaung dari terik matahari,” demikian tulis Kartini tentang harapan orang tua-tua yang pernah didengarnya.
Seorang dewa pernah mengutarakan kepada Buddha, bahwa yang terbaik dari semua makhluk berkaki empat adalah lembu jantan, dan yang terbaik dari makhluk berkaki dua adalah manusia bangsawan. Istri yang keturunan ningrat dan anak sulung adalah yang terbaik menurut dewa itu. Tetapi Buddha tidak membenarkannya. Buddha mengingatkan bahwa yang terbaik di antara makhluk berkaki empat adalah hewan yang terlatih, dan dari makhluk berkaki dua adalah ia yang mencapai penerangan sempurna. Istri yang terbaik adalah ia yang paling cakap mendampingi atau melayani suami. Anak yang terbaik adalah yang patuh pada orangtuanya.[3]
Sebagai istri, seharusnya wanita adalah kawan terdekat dan terbaik bagi suami. Buddha mengamati kemudian mengelompokkan para istri menurut wataknya. Terdapat tujuh macam istri, yakni: (1) Istri yang mirip pembunuh, yang jahat pikirannya, kejam, melalaikan suami, atau serong. (2) Istri yang menyerupai perampok, yang mencuri atau menghamburkan pendapatan suami. (3) Istri gula-gula, yang rakus, penggunjing, cengeng dan membuat suami malas. (4) Istri yang menyerupai ibu, yang penuh kasih, merawat dan menjaga suami. (5) Istri yang menyerupai saudara, seperti adik memperlakukan kakak dengan hormat. (6) Istri yang menyerupai teman, kekasih pujaan yang penuh cinta. (7) Istri yang mirip pelayan, yang patuh, memikul beban dengan pasrah, bahkan tabah menghadapi amarah suami. Tentu saja istri jenis pembunuh, perampok, dan gula-gula itu tidak hormat, tidak bermoral, sehingga ganjarannya kelak adalah penderitaan. Istri jenis lain, apakah menyerupai ibu, saudara, teman atau pun pelayan dipuji oleh Buddha.[4] Istri yang baik, didampingi suami yang baik, berlipatgandalah hasil pengabdiannya.
Kartini menjelang perkawinannya, menulis bahwa akan lebih banyak lagi yang dapat dikerjakan untuk bangsanya bila ia ada di samping seorang laki-laki yang cakap, mulia, yang dihormatinya, dan yang mencintai rakyat jelata. Lebih banyak, katanya, daripada yang dapat ia usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri.
22 April 1987
[1] Anguttara Nikaya I, 14 : 7
[2] Samyutta Nikaya III, 2 : 6
[3] Samyutta Nikaya I, 2 : 4
[4] Anguttara Nikaya VII, 6 : 59b