Kasihani Pelacur
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Kamala punya peran dalam perjalanan hidup Siddhartha. Seorang perempuan memang mendapat tempat dalam hidup setiap laki-laki. Tetapi Kamala bukan milik satu pria. Ia akrab benar dengan dua dari tiga laki-laki yang tidak puas hanya dengan seorang perempuan. Siddhartha, sebuah nama yang bisa dipakai oleh banyak orang. Siddhartha yang bergaul dengan pelacur dalam novel Herman Hesse, pemenang hadiah Nobel dari Jerman, adalah seorang petapa yang meninggalkan kesempatan untuk belajar dari Buddha Gotama yang dikaguminya.
Siddhartha ini pergi, bukan untuk menemukan ajaran lain dan yang lebih baik, karena ia tahu itu tidak akan ada, tetapi untuk meninggalkan semua ajaran, semua guru dan mencapai tujuannya sendiri. Kebanyakan orang seperti daun gugur yang terguncang oleh angin, melayang-layang di udara, lalu jatuh ke tanah. Hanya sedikit yang seperti bintang-bintang, mengitari satu garis edar tertentu dan tiada sampai angin menyentuhnya. Di antara semua orang bijaksana, ada satu yang sempurna. Begitu tulis Herman Hesse. Dialah Buddha Gotama. Siddhartha tidak dapat melupakannya. Ribuan orang mendengarkan ajaran Buddha tiap hari dan mengikuti petunjuk-Nya tiap jam, tetapi mereka semua adalah daun yang jatuh. Mereka tidak mempunyai kebijaksanaan dan petunjuk di dalam diri mereka.
Siddhartha laki-laki muda yang dilanda krisis pencarian spiritual itu datang kepada Kamala. Semua laki-laki yang datang kepada wanita itu berpakaian perlente dan membawa banyak uang. Tidak demikian dengan Siddhartha, hingga Kamala pun menertawakan. Kamala mudah melempar senyum kepada setiap pria yang dilihatnya. Seperti juga perempuan lain di mana-mana, yang menjajakan diri. Tak ada bedanya zaman dulu atau sekarang. Bibirnya yang merah menjanjikan kemanisan, tetapi tidak ada orang yang dapat memperoleh kemanisan itu dengan memaksa. Ujar Kamala, cinta tak dapat dicuri, tetapi orang dapat mengemis, membeli, atau dihadiahi dengan dan mendapatkan cinta di jalanan.
Perempuan itu memberi kesempatan. Siddhartha dapat berpikir, dapat menunggu, dapat berpuasa. Ia harus belajar untuk mencari uang sehingga dapat membeli cinta. Laki-laki ini merasa beruntung. Ia menjadi kaya dan pantas menjadi teman Kamala. Timbul rasa bangga bahwa ia bukan seorang petapa lagi. Namun kenikmatan dan kepuasan yang diperolehnya sekaligus membebaninya dengan keserakahan, kelicikan, kecemasan, dan keletihan. Sampailah kemudian ia merasa jemu. Agaknya tidak ada yang berharga dalam hidupnya selama itu. Lalu ia pergi melanjutkan pencarian.
Kamala yang ditinggal pergi mengandung seorang bayi hasil hubungannya dengan laki-laki itu. Ia tidak menerima tamu lagi. Kemudian ia mendanakan hartanya dan melakukan perjalanan suci untuk menemui Buddha, untuk mendapatkan kedamaian. “Dunia ini terselubung kegelapan. Hanya sedikit yang dapat melihat dengan jelas. Seperti burung yang dapat melepaskan diri dari jerat, begitulah hanya sedikit yang pergi ke alam surga.”[1]
Ambapali bukan tokoh fiktif. Banyak laki-laki bersaing memperebutkannya. Perempuan ini senang dimanjakan dan mau menyenangkan laki-laki mana saja yang membayar sedikitnya 500 kahapana. Langganannya tidak hanya orang-orang kaya, tetapi juga para raja. Daya tariknya membuat kota Vesali jadi makmur. Maka, penguasa melindungi pelacur ini, ia mendengar semua orang membicarakan kemuliaan Buddha dan tertarik untuk menemui laki-laki itu. Tetapi apakah orang suci mau memperhatikan seorang pelacur seperti dia? Ternyata Buddha tidak mengusirnya. Tidak juga menghindar darinya.
Konon dalam kehidupan yang silam Ambapali pernah terlahir di surga Tavatimsa. Sebelumnya ia adalah wanita yang saleh dan senang berdana. Dalam salah satu kehidupannya sebagai manusia, pada zaman Buddha Sikkhi, ia adalah seorang rahib. Ia pernah mempersalahkan seorang rahib suci yang dituduhnya pelacur. Di kemudian hari berulang-ulang ia sendiri dilahirkan menderita sebagai seorang pelacur. Perempuan-perempuan yang menjual cinta adalah sampah masyarakat, yang sekarang ini dalam setiap razia disamakan dengan gelandangan dan dikurung bersama-sama pencoleng. Banyak cerita haru yang melatarbelakangi kehidupan perempuan-perempuan malang itu tidak membuat orang berbelas kasih. Laki-laki dengan bebasnya tanpa merasa salah menggaulinya. Buddha menyatakan bahwa laki-laki yang tidak puas dengan istri sendiri dan laki-laki yang berhubungan dengan wanita pelacur, itulah sebab kemerosotan. Laki-laki yang melacur harus dinamakan sampah (vasala).
Buddha tidak mengutuk Ambapali. Ia mengasihi dan mengasihaninya. Bagaimana pun orang-orang akan mempergunjingkan, Buddha menerima undangan Ambapali dan bersedia makan siang di rumahnya. Buddha jelas berbeda dari semua laki-laki yang pernah dikenal Ambapali. Biasanya perempuan itu menghibur laki-laki yang kesepian. Kini Buddha yang menghibur dan menyejukkan jiwanya. Biasanya perempuan itu mengeruk kocek laki-laki. Kini ia menyumbangkan tanahnya untuk dipergunakan oleh para rahib dan pengikut Buddha.[2] Di tempat itu selain biara, ditemukan pula sebuah stupa pada waktu Fa-hsien dan Hsuan-tsang berkunjung ke sana.
Agama melarang pelacuran. “Perzinahan, melakukan sendiri, menganjurkan, mengizinkan, ini membawa orang ke neraka, ke alam binatang, ke alam setan. Sekurang-kurangnya menjadikan orang itu akan dimusuhi lingkungannya.”[3] Buddha memberi jalan. Agama itu jalan. Agama bukan alat untuk mengutuk dan menindas perempuan-perempuan yang malang itu. Kasihani pelacur.
27 Juni 1990
[1] Dhammapada 174
[2] Digha Nikaya 16
[3] Anguttara Nikaya VIII. 4;40