KB Mandiri
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Mereka semua akseptor KB. Sebagian darinya memakai cara yang sama. Namun bagi Tai-chu Hui-hai (abad ke-8), seandainya biksu itu masih di zaman ini, ia tidak melihat hal yang sama. Sebagaimana ia tidak melihat semua orang akan makan ketika lapar dan tidur ketika mengantuk.
“Ketika makan mereka tidaklah makan, pikirannya mengembara dan penuh kekhawatiran. Ketika tidur mereka tidak mau tidur, namun selamanya gelisah. Karena itulah dikatakan tidak sama.” Tidak mengherankan bilamana ibu-ibu yang sama memakai spiral, katakanlah Lippes Loop, berbeda kisahnya. Ada yang senang, ada yang berkeluh kesah. Mereka yang semula mantap memilih sterilisasi bahkan ada yang kemudian menyesal karena timbul keinginan untuk punya anak lagi.
Keluarga Berencana mengandung pengertian bahwa terbentuknya keluarga dan kehadiran anak merupakan hal yang memang direncanakan atau diharapkan. Setiap orang diakui memiliki kebebasan untuk merencanakan jumlah anak yang dikehendakinya.
Memenuhi rencana itu orang mencegah kehamilan atau kelahiran dengan ber-KB. Ikut KB diartikan memakai salah satu metode atau alat kontrasepsi. Ada banyak metode. Semua orang bebas pula memilih cara yang paling sesuai untuk dirinya.
Agama Buddha sangat mengutamakan kehendak bebas manusia sesuai dengan martabatnya untuk menentukan pilihan sendiri. Buddha memberi petunjuk agar umat-Nya tidak mudah jatuh percaya, tidak mudah hanyut terbawa oleh suatu pendapat, tradisi, atau suatu bentuk otoritas. “Sebaiknya apabila engkau sendiri memahami suatu hal itu tak tercela, patut dipuji oleh orang-orang yang bijaksana, dan bila dilakukan akan menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan, maka engkau pantas menjalankan dan mematuhinya.”[1]Prinsip ini tidak lepas dari ajaran bahwa setiap manusia merupakan tuan dan pelindung bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu setiap manusia memiliki pertanggungjawaban perseorangan, tidak menyangkut soal kebijaksanaan atau kekuatan di luar dirinya sendiri. “Pemilik dari suatu perbuatan adalah makhluk yang bersangkutan. Ia adalah ahli waris dari perbuatannya. Perbuatannya adalah rahim dari mana ia dilahirkan. Kepada perbuatannya ia terikat, namun perbuatannya juga merupakan pelindungnya.”[2]
Adanya kebebasan yang diikuti tanggung jawab tiap peserta dimungkinkan dalam program KB dan pelayanan kontrasepsi yang tidak mengandung unsur paksaan. “Barangsiapa yang melaksanakan maksudnya dengan cara kekerasan adalah tidak benar. Ia yang dapat membedakan antara yang benar dan yang salah adalah bijaksana.”[3]
Penerimaan ide KB bukan masalah lagi. Kelangsungan program KB selama ini telah melahirkan pula kesadaran peserta sebagai subjek atau pelaku aktif, tidak hanya sebagai objek. Banyak peserta yang mulai kenal KB lewat pelayanan gratis, kini dengan senang hati membayar sendiri dan memilih pelayanan yang sesuai dengan seleranya.
Kemandirian itu datang dari kebebasan dan tanggung jawab yang dimiliki peserta KB. Spanduk raksasa KB yang dipasang baru-baru ini di ibukota menegaskan kebulatan tekad ber-KB (lewat logo lingkaran biru), dan siap mandiri. Hanya kampanye KB Mandiri sendiri dibiayai bantuan luar negeri.
KB Mandiri tidak cukup diartikan dibiayai sendiri. Kemandirian dalam pandangan moral agama menghendaki peserta KB itu dapat mengambil keputusan yang tepat, tidak bertentangan dengan ajaran agama dan siap menghadapi setiap konsekuensinya dengan penuh tanggung jawab. Semua cara dalam program KB nasional dibenarkan oleh agama. Sepanjang tidak bertentangan dengan sila, khususnya tidak mengandung unsur pembunuhan, semua metode termasuk sterilisasi yang di luar program, dapat diterima menurut pandangan agama Buddha. Namun tidak semua cara sesuai untuk semua orang. Karena itu peserta perlu memahami dasar-dasar pemilihan metode kontrasepsi.
Seorang petugas kesehatan atau dokter akan amat membantu untuk menentukan cara yang terbaik ditinjau dari bidang kedokteran. Setiap cara KB mempunyai kelebihan dan kekurangan untuk setiap kasus. Kegagalan dan risiko efek samping dari suatu cara mungkin saja terjadi. Akseptor perlu memperhatikan nasihat dari petugas kesehatan. Namun ia harus menyadari bahwa memakai salah satu cara KB sesuai dengan petunjuk itu tetap menjadi tanggung jawab dari dirinya sendiri. Pasangan akseptor yang memakai suatu cara yang kurang efektif sepantasnya juga siap memikul tanggung jawab dalam menghadapi kegagalan.
Hubungan suami istri sebagaimana dinyatakan dalam Sigalovada Sutta merupakan perwujudan cinta dan kesetiaan. Cinta memang merupakan dasar perkawinan. Suami dan istri saling menghargai, tolong menolong dalam kedudukan yang sederajat. Berdasarkan hal itu, maka pemilihan cara KB hendaknya merupakan kesepakatan bersama tanpa menekan atau merendahkan salah satu pihak.
Ide KB berkembang untuk menghindari perderitaan akibat ledakan jumlah penduduk. Cara ber-KB itu pun tentunya tidak pantas menimbulkan atau menambah penderitaan dalam bentuk lain. Buddha mengajarkan agamanya justru untuk menolong manusia mengatasi segala jenis penderitaan.
2 Desember 1987
[1] Anguttara Nikaya III, 7;65
[2] Anguttara Nikaya X, 21;205
[3] Dhammapada 256