Kebenaran Bukan Pembenaran
- By admin
- January 23, 2022
- Kebenaran Bukan Pembenaran
Sidney Sheldon, seorang penulis novel, berpikir kebanyakan perkara dimenangkan atau dikalahkan sebelum sidang pengadilan dimulai. Aparat hukum yang mestinya menegakkan kebenaran mudah terjerumus merekayasa atau memaksakan pembenaran. Keadilan hukum pun tidak selalu memenuhi rasa keadilan. Ini bukan hanya cerita fiksi, karena faktanya dapat ditemukan dalam dunia nyata.
Polisi penyidik, jaksa penuntut, begitu pula majelis hakim yang menjatuhkan vonis secara bersama bisa salah. Contoh, apa yang terjadi pada Sengkon dan Karta (1974). Mereka dipenjara karena sangkaan merampok dan membunuh, namun belakangan terungkap pelaku sesungguhnya Gunel, yang mengaku sendiri dan terbukti bersalah.
Kasus lain, Risman Lakoro dengan istrinya Rostin Mahadji (2002) menjalani hukuman karena tuduhan membunuh anaknya, Alta Lakoro. Lalu kebenaran terkuak, ketika Alta yang diyakini telah tewas, pulang ke rumahnya. Devid dan Kemat (2007) divonis bersalah karena melakukan pembunuhan terhadap Asrori, kesudahannya berdasarkan tes DNA diketahui bahwa Asrori adalah salah satu dari sekian banyak korban Ryan.
Mencari Kebenaran
Kebenaran adalah sesuatu yang benar, betul terjadi atau sungguh-sungguh ada. Apa yang benar cocok dengan kenyataan, terbukti tanpa bias atau dusta. Pembenaran adalah proses atau perbuatan membenarkan, mungkin membuat supaya benar, mungkin juga menganggap atau mengakui benar.
Ketika sulit menemukan kebenaran di tengah kegelapan, seringkali orang menghibur dirinya dengan pembenaran, seolah-olah apa yang dicarinya ada di tempat lain. Seperti yang ditunjukkan oleh Nasrudin saat mencari kuncinya. Seorang sahabat melihat Nasrudin jongkok dan merangkak di bawah lentera di luar rumah. Ia bertanya, ”Apa yang kaulakukan Mullah?” ”Aku sedang mencari kunciku.”
Maka sahabatnya itu ikut merangkak, dan mereka berdua mencari sampai lama di tempat kotor di bawah lentera. Karena tak menemukan apa-apa, sahabatnya itu bertanya, ”Di mana persisnya Mullah kehilangan kunci itu?” Nasrudin menjawab, ”Di dalam rumah.” ”Astaga! Lantas kenapa Anda mencarinya di sini?” ”Karena di sini lebih terang.”
Setiap klaim kebenaran bisa diperdebatkan karena tidak mustahil untuk berbeda tergantung pada siapa dan bagaimana memandangnya. Sampai pun kebenaran kitab suci agama berhadapan dengan tafsir yang sering menimbulkan perbedaan pendapat. Bukan hanya menyangkut sudut pandang dan metodologi, tetapi juga bisa jadi sarat dengan berbagai kepentingan. Untuk mencapai tujuannya, lewat pembenaran seseorang akan menempuh cara apa saja, yang baik maupun kotor.
Apa yang benar atau salah sering ditentukan hanya berdasar otoritas. Ada hal-hal yang sekalipun benar, tetapi dipandang salah secara turun-temurun. Seperti kasus Giordano Bruno dan Galileo yang dihukum karena menggoyang kepercayaan dan kebenaran yang dianut kalangan agama. Kebenaran yang sesungguhnya baru disadari berabad-abad kemudian.
Seorang pencari kebenaran akan memperhatikan hati nurani dan bersikap kritis. Jangan lekas percaya, kata Buddha kepada kaum Kalama. Ia memberi petunjuk untuk melakukan verifikasi atas suatu laporan, berita, atau kesaksian, menyelidiki kebenaran yang diwariskan lewat tradisi, bahkan juga yang tertulis dalam kitab-kitab suci atau yang disebut sebagai wahyu (A. I, 189). Kesangsian itu wajar, bukan skeptisisme, melainkan justru menjadi langkah pertama untuk memastikan kebenaran.
Kebenaran Relatif
Sumber-sumber utama dari pengetahuan dan pengertian dikenali melalui indra. Sedangkan persepsi indra memiliki keterbatasan dan bisa keliru. Penglihatan misalnya menghadapi ilusi (vipallasa), entah karena kekeliruan persepsi pengamatan, kekeliruan pikiran yang mengenali atau kekeliruan pandangan yang membentuk gagasan.
Indra pun tidak berdiri sendiri. Secara internal saja berkaitan dengan kesehatan fisik dan mental, kepekaan perasaan, emosi, praduga, dan imajinasi. Embusan angin yang dirasakan nyaman oleh orang yang sehat, akan terasa lain bagi orang yang sakit. Seorang pencari kebenaran harus memiliki kesediaan untuk mengakui adanya kemungkinan keliru.
Objektivitas diperlukan tidak hanya menyangkut bukti dan fakta yang dianggap sebagai kebenaran, namun juga dalam sikap dari orang yang mencarinya. Yang menjadi masalah, bagaimana manusia bisa melihat sesuatu sebagaimana adanya, sementara ia terperangkap oleh prasangka subjektif, perasaan suka dan tidak suka, terikat oleh nafsu, kebencian, kegelapan batin, atau ketakutan?
Kebenaran duniawi bersifat relatif. Karena itu Buddha mengingatkan: ”Jika seseorang telah mendengar, kemudian mengatakan inilah yang telah aku dengar, ia melindungi kebenaran, sepanjang tidak secara kategorik mengambil kesimpulan bahwa hanyalah ini yang benar, dan semua yang lainnya keliru” (M. II, 171).
Jakarta, November 2009