Kecil atau Besar, Tetap Indah
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Orang yang bicara saja namun tidak melaksanakan dapat diibaratkan awan hujan yang mengguntur tetapi tidak mencurahkan air hujan. Tidak bicara namun melaksanakan diibaratkan pada hujan tanpa guntur. Tidak bicara maupun tidak melaksanakan bagai tiada hujan sekaligus tiada guntur. Sedangkan orang yang bicara maupun melaksanakan diibaratkan awan hujan yang mengguntur sekaligus mencurahkan hujan.[1]
Ada guntur dan ada hujan di tengah kampanye pemilu. Semua kontestan adu omong dan adu membuktikan praktiknya. Biar kecil itu indah, tak ada yang ingin tetap kecil. Kalau bisa ya menjadi besar. Yang besar ingin tambah besar. Bagaimana dengan yang indah itu? Semua juga memilih indah daripada tidak indah. Artinya menjadi besar pun tetap mempertahankan atau memelihara keindahan. Kecil atau besar, semua ingin indah. Tidakkah yang penting itu keindahan tersebut? Dalam memperebutkan 98 juta orang pemilih, menang hanya bilamana yang indah tambah indah, atau setidak-tidaknya tetap indah. Menang atau kalah bukan semata-mata soal besar atau kecil. Biaya Pemilu yang besar, paling tidak 132 milyar itu tentu bukan untuk mendapatkan yang tidak indah.
Salah satu yang indah itu: Negara Pancasila tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap mayoritas atau minoritas. Yang kecil tidak duduk lebih rendah dan kepentingannya tidak diabaikan. Dalam kehidupan beragama, hari raya terpenting dari semua golongan merupakan hari libur nasional. Sekalipun Hari Nyepi dan Waisak dirayakan oleh golongan minoritas, kedua hari raya itu sekarang tidak diperlakukan berbeda dan hari raya golongan mayoritas. Diakui atau tidak, itulah salah satu jasa Golkar sebagai kekuatan sosial politik terbesar umat Hindu dan Buddha. Sekaligus hal ini menunjukkan kepentingan untuk selalu indah, bukan soal besar atau kecil dalam kehidupan kita bernegara dan berbangsa. Tidak ada masalah memenangkan atau mengalahkan salah satu golongan. Yang ada memenangkan kebersamaan dan kerukunan.
“Orang-orang akan memberi sesuai dengan keyakinan mereka dan menurut kesenangan hati mereka. Karena itu barang siapa merasa iri atas makanan dan minuman orang lain, maka tidak akan ia memperoleh kedamaian batin, baik siang maupun malam.”[2]
Seringkali kelebihan yang dipandang sebagai kemenangan pada satu pihak menimbulkan kebencian pihak yang kurang atau dipandang kalah, yang menjadi tidak puas atau menderita. Kerelaan untuk menghadapi kenyataan adanya perbedaan perolehan dibanding pihak lain akan memberi kedamaian. Tidak ada kebahagiaan sejati yang datang dengan membuat orang lain menderita. Tetapi kebahagiaan itu datang karena penyempurnaan dari diri sendiri.
Seorang siswa yang dikenal unggul, memiliki kualitas, hidupnya memberi keberuntungan, kegembiraan, dan manfaat bagi masyarakat banyak. Kualitas yang dimaksud adalah kemampuan untuk membesarkan hati dan membuat orang lain bertindak sesuai dengan Dharma, berbicara sesuai dengan Dharma, dan berpikir sesuai dengan Dharma.”[3]
Bertepatan dengan Hari Raya Nyepi, kita diingatkan pula pada tradisi toleransi dari zaman kaisar Kanishka. Kanishka adalah kaisar ketiga dinasti Kushan di India, yang diperkirakan memerintah mulai pada tahun 78 Masehi. Ia memeluk agama Buddha, tetapi juga sekaligus dipandang sebagai pelindung agama Hindu. Ia berusaha memelihara kerukunan antara berbagai aliran atau perguruan agama sebagaimana juga telah ditunjukkan jauh sebelumnya oleh Kaisar Asoka. Di bawah kekuasaan Kanishka diselenggarakan Konsili keempat dari Sanggha, Persaudaraan rahib Buddha. Jasanya tidaklah kecil dalam penyebaran agama Buddha di Asia Tengah sampai ke Cina melalui Gandhara dan Kashmir. Tarikh Saka bermula dari tahun pertama pemerintahan Kanishka, dikenal di Indonesia tak lepas dari legenda Aji Saka yang mengajarkan huruf Hanacaraka di Jawa. Nyepi adalah hari pertama tahun Saka menurut tradisi Indonesia.
Nyepi dirayakan di tengah suasana kampanye pemilu. Upacara Nyepi hening dan membersihkan, mendekatkan diri pada Tuhan. Suasana yang tertib dan tenang amat menyejukkan. Hiruk pikuk pertikaian dan huru-hara tindak kekerasan sangat menakutkan. Siapa yang ingin dicengkeram perasaan was-was dan tegang? Hidup yang mengandung kesukaran dan penderitaan jangan lagi ditambah beban yang menakutkan. Umat beragama yang cinta damai memilih kesejukan. Kesejukan dalam kampanye yang konon sepantasnya menggeledek berapi-api bukanlah omong kosong. Kita tidak mempertentangkan ideologi. Semua kontestan memiliki asas yang sama. Kita punya tradisi toleransi dan berpengalaman atau semakin dewasa. Juru kampanye dan organisasi kontestan berbicara soal politik. Politikus tidak memperalat agama tetapi menaati ajaran agama dengan sebaik-baiknya. Suaranya lantang mengguntur disertai hujan menyejukkan. Sebagaimana diserukan oleh Kepala Negara, kampanye pemilu menjunjung tinggi etika dan moral Pancasila. Sejauh mana kedalaman kita menghayati dan mengamalkan agama dan Pancasila, tampak antara lain dari kemampuan mengendalikan diri, memadamkan kebencian dan kedengkian, memelihara segala yang indah.
“Walaupun seseorang banyak membaca Kitab Suci, tetapi tidak berbuat sesuai dengan ajaran, maka orang yang lalai itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain tidaklah ia akan memperoleh manfaat kehidupan suci.”[4]
1 April 1987
[1] Anguttara Nikaya IV, 11:101
[2] Dhammapada 249
[3] Anguttara Nikaya III, 2:11
[4] Dhammapada 19