Keinginan dan Keserakahan
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Jika ada kesempatan, orang akan berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya secara maksimal. Seharusnya tidak ada yang salah pada sikap seperti ini. Atau kalau tidak, mustahil ada orang-orang besar yang sukses di dunia. Hanya saja yang diinginkan itu terutama materialisme, kekayaan, dan kekuasaan. Materialisme membelenggu ego dan bukan ukuran sukses bagi orang-orang suci.
Dalam kitab Jataka diriwayatkan seorang tukang air mendapat kesempatan untuk menjadi kaya, bahkan menjadi raja. Bukan karena pekerjaannya tentu, karena ia cuma seorang pemikul air. Ia tidak akan menjadi raja kalau tidak berkeinginan dan tidak berusaha untuk memanfaatkan peluang yang ada. Tukang air ini di kemudian hari dilahirkan kembali sebagai Ananda, salah seorang biksu, murid Buddha Gotama yang terkemuka.
Dahulu atau sekarang sama saja, tidak ada pemikul air, seperti juga kuli-kuli lain, yang tidak tergolong miskin. Ia memiliki uang yang disembunyikan di celah batu tembok gerbang utara kota. Tidak banyak, hanya setengah kepeng. Pemikul air itu tinggal bersama istrinya di sekitar gerbang selatan kota. Ketika orang-orang mengadakan perayaan, mereka ingin ikut merayakannya. Perayaan di kota menawarkan banyak kesenangan. Tetapi kesenangan itu terutama untuk orang-orang yang beruang. Kalau saja ada sejumlah uang, kata istrinya, tidaklah sia-sia mereka bekerja keras. Wanita itu, juga bekerja sebagai pemikul air, dan memiliki uang yang sama banyaknya. Setengah kepeng. Maka mereka berdua mempunyai satu kepeng.
Suami istri itu berunding. Dengan uang sekepeng dapat diperoleh sedikit karangan bunga, dupa, dan minuman. Ini sudah cukup menyenangkan. Mengharapkan lebih akan membawa kepedihan. Laki-laki tukang air itu harus mengambil simpanannya di gerbang utara. Artinya ia mesti berjalan sejauh dua belas pal dari gerbang selatan kota. Sampai tengah hari ia baru menempuh setengah dari jarak itu. Panas terik matahari tidak membuat semangatnya surut. Bahkan ia bernyanyi. Kebetulan Raja Udaya melihatnya. Ia dipanggil oleh raja itu dan ditanya, apa gerangan yang membuatnya senang dan bernyanyi.
Si pemikul air menjawab bahwa ia akan mengambil uang simpanannya di gerbang utara kota. Ia tak dapat menahan sukacitanya, membayangkan bagaimana uang itu akan dimanfaatkan untuk bersenang-senang bersama istrinya. Raja bertanya apakah simpanannya di gerbang utara itu sebanyak seratus ribu keping uang emas? Tidak sebanyak itu, jawab tukang air. Raja mengulangi pertanyaan dan menerka, barangkali simpanan itu sebanyak lima puluh ribu, empat puluh ribu, tiga puluh ribu keping emas, dan seterusnya hingga angka yang terkecil yang dapat dibayangkannya. Orang kecil itu selalu menjawab bukan. Bahkan satu keping pun salah.
Cuma setengah kepeng, kata tukang air itu. Sedikit sekali, tetapi itulah hasil keringatnya sendiri. Ia merasa bangga karena akan mengambil simpanan itu untuk dipergunakan bersenang-senang. Raja Udaya merasa kasihan dan berkata agar ia tidak usah bersusah payah melanjutkan perjalanan untuk uang setengah kepeng saja. Raja akan menghadiahkan setengah kepeng kepadanya. Orang itu merasa sangat senang dan berterimakasih, tetapi ia tidak ingin melupakan uang setengah kepeng miliknya sendiri. Ia akan meneruskan perjalanan untuk mengambil simpanannya. Kemudian raja menawarkan hadiah satu kepeng, asal saja ia melupakan simpanan setengah kepeng itu. Si pemikul air tidak menolak hadiah raja, tetapi ia tidak mau mengurungkan niatnya. Sikapnya tidak berubah sekalipun raja menaikkan tawaran hingga berjuta-juta uang emas. Raja menjadi terangsang lalu menawarkan bermacam-macam harta kekayaan dan jabatan. Tetap saja si pemikul air tidak tertarik. Akhirnya ia setuju setelah raja menawarkan setengah dari daerah kekuasaannya. Ia memilih bagian yang utara karena di sanalah tersimpan uang setengah kepeng yang ingin diambilnya. Tukang air itu pun menjadi raja di sana. Orang-orang menamakannya Raja Setengah Kepeng.
Banyak orang yang serakah. Orang yang sudah menjadi raja pun seringkali tidak pernah puas dan akan berusaha untuk memperbesar kekuasaannya dengan menaklukkan dan merebut kekuasaan orang lain. Raja Setengah Kepeng termasuk di antaranya. Ia pernah berpikir ingin merebut kekuasaan Raja Udaya. Ketika menemani raja itu berburu, ia melihat adanya peluang untuk membunuhnya. Pada waktu istirahat, raja yang murah hati itu tertidur tanpa ditemani oleh para pengawal. Raja Setengah Kepeng sudah menghunus pedangnya. Namun hati nuraninya segera menghalangi dia berbuat seperti itu. Berulang kali niat buruk itu timbul. Akhirnya Raja Setengah Kepeng berhasil mengatasi konflik dalam dirinya. Ia mengaku dosa dan memutuskan untuk meninggalkan keduniawian. Ia tidak lagi membutuhkan kekayaan dan kekuasaan, yang menggelapkan matanya dan membuatnya berniat buruk.
Ia telah melihat sebab dari keinginan dan bagaimana keinginan tersebut berkembarg. Lalu ia ingin mencabutnya sampai ke akar-akarnya. “Sedikit keinginan tidaklah cukup, dan jikalau banyak mendatangkan kesukaran. Ah, manusia dungu! Jadilah seadanya kawan, jika ingin mencapai kearifan.”[1]
25 Juli 1990
[1] Jataka 421