Kemandirian Bukan Keakuan
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Buddha mengajarkan bahwa setiap manusia adalah majikan dirinya sendiri. Mereka yang mandiri, bersandar pada diri sendiri, mengembangkan diri dan menentukan nasibnya sendiri. Ia tidak menunggu bantuan atau mengharap belas kasihan orang lain. Bahkan tidak perlu menggantungkan diri kepada Buddha sekalipun. “Engkau sendiri yang harus menjalankan, sebab Tathagata hanyalah Penunjuk Jalan.”[1]
Penekanan pada kemandirian ini mendorong setiap orang berprestasi dan merangsang kreativitas. Tidaklah menjadi soal apakah seseorang itu lahir dengan pembawaan malas atau sebaliknya, senang bekerja. Pembawaan merupakan sifat yang berasal dari karma kehidupan masa lampau. Sedangkan hidup yang dijalani sekarang justru kesempatan untuk mengubah diri menjadi lain, menjadi lebih baik dari masa sebelumnya.
Orang yang berprestasi baik, biasanya dengan kerja keras, tentu menginginkan pengakuan dan perlakuan yang berbeda dari orang yang tidak atau kurang berprestasi. Aspek individualistik ini tumbuh seiring dengan modernisasi. Mengabaikan kepentingan dan keuntungan perorangan, berarti tidak merangsang upaya mendapatkan penemuan baru dan menghambat kemajuan selanjutnya. Adanya hak cipta, hak patent, hak merk dagang atau intellectual property rights, misalnya, berkaitan dengan permasalahan aspek individualistik yang muncul bersamaan dengan penemuan atau ciptaan baru.
Hak seseorang sudah tentu harus diakui. Orang pandai yang terjaga di antara yang tertidur dan waspada di antara yang lengah pantas dihargai. Pengakuan atas hak pemilikan intelektual memang merupakan salah satu bentuk penghargaan. Pengakuan itu merupakan perlindungan sehingga seorang penemu atau pencipta tidak dirugikan. Namun pengakuan atas hak yang dimiliki seseorang tidak dimaksudkan untuk mempertebal konsepsi keakuan. Sifat keakuan dan keterikatan pada rasa memiliki yang timbul karena keserakahan tidaklah dibenarkan dalam agama Buddha.
Keakuan ditolak oleh Buddha, dan kemandirian yang diajarkan-Nya. Kemandirian diperlukan untuk mencapai keselamatan atau penyempurnaan diri. Sedangkan keakuan menjauhkan penyempurnaan diri. Manusia suci yang mandiri, misalnya Shantideva berdoa, “Semoga aku menjadi penawar bagi mereka yang sakit, penyembuh, dan perawat sehingga penyakitnya lenyap tak kambuh kembali. Semoga aku mencurahkan makanan bagai hujan lebat, memuaskan segala rasa lapar dan dahaga.” Tanpa kemandirian, ia cuma omong kosong. Dan ia membuang keakuan untuk mengabdikan seluruh hidupnya bagi mereka yang menderita.
Tanpa keakuan kepentingan perseorangan tidak berarti diabaikan. Kepentingan perseorangan terlindung di dalam kepentingan kelompok atau masyarakatnya. Kesejahteraan perseorangan dapat dinikmati sebagai bagian dari kesejahteraan bersama. Dalam kehidupan suatu kelompok atau masyarakat, kita temukan semangat solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Seseorang menemukan kebahagiaan di tengah sesamanya yang juga bahagia. Bagaimana sesosok manusia bisa merasa senang hidup di antara manusia lain yang menderita?
Hidup ditandai ketidakkekalan (anicca). Yang tidak kekal ini, menyimpang dari yang diharapkan, sehingga menyakitkan, menimbulkan ketidakpuasan dan penderitaan (dukkha). Kejadian yang kita harapkan terjadi, ternyata kemudian tidak terjadi. Atau kejadian yang tidak kita harapkan terjadi malah justru terjadi. Kemungkinan timbul penyimpangan yang tidak diharapkan atau yang tidak menguntungkan itu merupakan risiko yang dihadapi oleh setiap orang.
Hidup juga ditandai hubungan berbagai hal yang saling bergantung atau saling mempengaruhi. Semua bentuk kehidupan terjadi dari gabungan sejumlah unsur. Tidak ada substansi inti yang semata-mata berdiri tersendiri. Itulah yang dinamakan “tiada inti” (anatta) atau ketiada-akuan. Sesuai dengan aspek ini dapat dimengerti bila seseorang manusia tidak mungkin hidup sendiri dan mungkin tidak mampu menghadapi risiko dalam kehidupan ini seorang diri. Ia memerlukan bantuan manusia lain. Risiko bisa muncul dalam bentuk bencana alam misalnya. Bencana itu sendiri mungkin tidak sempat atau tidak dapat dicegah. Tetapi penderitaan akibat bencana itu, seperti kelaparan dan penyakit, dapat diatasi dengan bantuan sesama manusia yang kebetulan tidak terkena bencana.
Ketidakkekalan, penyimpangan yang menyakitkan, dan ketiada-akuan merupakan tiga ciri kehidupan (tilakkhana). Tahu, memahami, dan menerima kenyataan bahwa hidup itu tidak kekal, mengandung penyimpangan yang menyakitkan atau tidak memuaskan itu saja tidaklah cukup. Bilamana manusia bertahan pada keakuan, tertipu oleh keakuan, tiadalah ia akan mencapai kebahagiaan.
Sebaliknya dengan menanggalkan keakuan, menerima aspek ketiada-akuan, seseorang bisa menumbuhkan kemandirian dengan bergabung di antara sesamanya, terlindung dalam kelompoknya. Ia memang tidak bisa tidak bersandar pada diri sendiri. Misalnya pada asuransi, risiko perseorangan digabung ke dalam suatu kelompok untuk menanggung suatu kejadian yang merugikan atau menyakitkan. Atau dalam bidang usaha, kekuatan ekonomi perseorangan digabung ke dalam suatu kelompok koperasi, usaha patungan, dan perusahaan go publik. Penggabungan perseorangan ini tidak meniadakan kemandirian, tetapi benar mengurangi keakuan.
Memelihara kepentingan perseorangan tidak lantas berarti mempertebal keakuan. Dan tanpa memperhatikan kepentingan perseorangan, kemandirian tinggal kerdil tidak berkembang.
21 September 1988
[1] Majjhima Nikaya 107