Kemerdekaan dan Pembangunan
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah, tetapi direbut dan dipertahankan dengan penuh pengorbanan. Kemerdekaan itu merupakan anugerah Tuhan berkat segala usaha perjuangan putra-putri Indonesia sendiri. Manusia memiliki kekuasaan terhadap dirinya sendiri untuk menentukan ke arah mana dan bagaimana perjalanan hidupnya. “Diri sendiri inilah yang dipertuan oleh dirinya pribadi, siapa pula lainnya yang dapat dipertuan?”[1]
Karma Perjalanan Sejarah
Pada zaman penjajahan gerakan kemerdekaan tak henti-hentinya muncul. Dimulai dari gerakan-gerakan bersifat kedaerahan sampai timbullah kemudian kesadaran nasional, bahwa yang terpecah belah selalu menghadapi kelemahan dan kekalahan. Sejarah mencatat Kebangkitan Nasional pada tahun 1908, Sumpah Pemuda pada tahun 1928, dan mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945. Negara Kesatuan RI masih menghadapi berbagai macam ancaman, namun kemudian lahir Orde Baru pada tahun 1966, yang mempertahankan Pancasila dan memasuki era pembangunan dengan kestabilan nasional yang tak tergoyahkan.
Umat Buddha memahami hukum karma sebagai hukum Tuhan. Apa pun yang dialami seseorang adalah sebab hukumnya yang tak bisa ditawar lagi. Kelahiran di salah satu alam kehidupan dan di lingkungan tertentu, termasuk lahir sebagai bangsa Indonesia merupakan hasil dari karma. Karma adalah perbuatan yang dalam arti umum meliputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, lahir atau batin, dilakukan oleh pikiran, perkataan, dan tindakan. “Para makhluk bertanggung jawab terhadap karma (perbuatan) mereka, dan merupakan ahliwaris dari perbuatannya. Perbuatannya adalah rahim dari mana ia dilahirkan dan menentukan sanak keluarganya. Kepada mereka sendiri perbuatannya akan berpulang. Perbuatan apa pun yang mereka lakukan, baik atau buruk, untuk hal itu pula mereka adalah ahliwarisnya.”[2]Pemahaman tentang karma ini tidaklah lepas dari kepercayaan bahwa para makhluk menjalani hidup tidak hanya sekali. Segala sesuatu yang telah diperbuat pada masa lampau ikut mempengaruhi keadaan masa kini. Tetapi karma itu pun tentu sedang kita lakukan sekarang ini. Berarti keadaan masa yang akan datang ditentukan oleh kita sendiri pada saat ini. Kita menentukan perjalanan sejarah bangsa. Kita tidak akan kembali ke zaman yang lampau. Kehidupan berbangsa adalah dalam proses yang senantiasa menjadi, setiap saat terjadi pembaharuan.
Meningkatkan Kesejahteraan
Kemerdekaan suatu bangsa baru punya makna apabila tidak berhenti pada kedaulatan, tetapi menyalurkan aspirasi seluruh golongan masyarakat yang mengabdi kepada kesejahteraan bangsa. “Kita harus sadar bahwa kemerdekaan adalah tanggung jawab kita akan nasib dan masa depan kita.” Demikian pernah dinyatakan oleh Presiden Soeharto pada penyerahan hadiah-hadiah teladan tahun 1976.
Buddha memang tidak mengajarkan kesejahteraan material sebagai tujuan akhir dari hidup ini, tetapi ia memperhatikan sekali kesejahteraan sosial-ekonomi sebagai alat untuk mencapai Kebahagiaan Tertinggi. Kebahagiaan itu hanya dapat diraih melalui hidup yang suci bersih berdasarkan prinsip-prinsip moral. Sedangkan menjalani hidup yang bersih adalah sukar sekali tanpa adanya kesejahteraan materil yang memadai. Ia mengutus para siswanya ke segenap penjuru dengan amanat, “Pergilah untuk menyelamatkan orang banyak, untuk kebahagiaan orang banyak, demi kasih sayang kepada dunia. Bekerjalah untuk kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan para deva dan manusia.”[3]
Keseimbangan perikehidupan dunia dan akhirat, keselarasan antara kepentingan materil dan spiritual merupakan salah satu asas Pembangunan Nasional. Pembangunan sektor agama merupakan salah satu usaha untuk mewujudkan keseimbangan materil dan spiritual tersebut. Ajaran agama menghendaki perbaikan nasib dari penganutnya.
Kualitas Manusia
Agar seorang siswa mampu memenuhi amanat itu, ia harus memiliki kualitas yang memadai. “Hendaklah setiap orang terlebih dahulu membangun dirinya di jalan yang lurus.”[4] Bagaimana etos kerja yang diharapkan? Dalam percakapan dengan Bharadvaja, Buddha menyatakan, “Aku pun membajak dan menanam bibit. Setelah membajak dan menanam bibit aku makan.” Buddha menjelaskan dengan perumpamaan bahwa keyakinan merupakan bibit, disiplin merupakan hujan, Pandangan Terang adalah bajak yang serasi dengan kuknya, tahu malu adalah tangkai bajak, akal sehat adalah tali pengikat, serta kesadaran merupakan mata bajak dan gandar. Selain itu waspada dalam tindakan dan ucapan, sewajarnya memenuhi kebutuhan pangan. Rumput liar dicabutnya dan keinginan menyelesaikan tugas sebaik-baiknya muncul dari dorongan hati sendiri, berkemauan keras untuk selalu maju dan pantang mundur. Apa yang dilakukannya tidak lain untuk melepaskan belenggu penderitaan.
Peran umat Buddha menjadi berarti apabila mampu mengembangkan segi kualitas sumberdaya yang diarahkan untuk menyingkirkan penderitaan, sebagaimana cita-cita bodhisattwa dan pahlawan yang menempatkan kepentingan orang banyak di atas kepentingan diri sendiri. “Pahala segala jasa yang telah kita timbun, semoga ikut dinikmati seluruh makhluk, agar mereka mencapai kebahagiaan yang beraneka warna,”[5] demikian harapan yang dinyatakan setiap membaca paritta Ettavata. Kebahagiaan batin seorang makhluk utama timbul karena melihat orang lain berbahagia. Kiranya jiwa kepahlawanan tetap hidup abadi menembus waktu atau zaman. Kita senantiasa diingatkan, menghargai para pahlawan dengan meneruskan cita-cita dan perjuangannya.
Di tengah Pembangunan
Jelas, hanya dengan memiliki kualitas umat Buddha dapat mengambil peranan dalam menyukseskan Pembangunan Nasional. Pemimpin agama dituntut untuk membimbing dan meningkatkan kualitas umatnya, agar tidak malah menjadi beban yang menghambat pembangunan. Kegiatan keagamaan tidak lain berarti mendukung pembangunan. Pusat kegiatan keagamaan bisa menjadi pusat pembangunan. Kita berterimakasih kepada Menteri Agama, H. Munawir Sjadzali, juga pejabat sebelumnya H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, yang senantiasa menuntun umat beragama, agar agama termasuk agama Buddha, tidak kehilangan inisiatif dan momentumnya di tengah perubahan sosial dan pembangunan. Usaha-usaha mengkaitkan agama dengan permasalahan masyarakat secara nyata, menunjukkan bahwa agama bukan hanya untuk dikhotbahkan, tetapi memberi seperangkat nilai yang muncul dalam cara hidup. Peran ini membantu menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, yang berkualitas unggul dalam wujud kesatuan rohani, jasmani, dan perikehidupan sosial.
Pembangunan dan pertumbuhan tingkat kehidupan berhubungan erat dengan kestabilan nasional. Menghadapi tantangan yang besar di bidang ekonomi, kestabilan nasional membantu ketahanan kita sebagai bangsa yang sedang berkembang. Keadaan ekonomi sebaliknya pula mempengaruhi kestabilan. Hidup memang ditandai untung dan rugi, kedudukan yang baik dan keruntuhan, puji dan cela, suka dan duka. Apabila salah satu dari delapan lokadhamma ini timbul, seseorang harus menyadari bahwa kondisi yang dialami tersebut tidaklah kekal, tidaklah akan menetap. Keadaan ini patut dikenali sebagaimana adanya, sehingga kita senantiasa siaga dan tidak seharusnya dicengkam oleh kepedihan.[6] Kesiapan dalam menghadapi kondisi yang suram akan menolong kita untuk senantiasa mantap, tak mudah terombang-ambing.
Demikianlah menjawab tantangan yang kita hadapi, Presiden Soeharto menyerukan antara lain peningkatan efisiensi dan produktivitas segala kegiatan pembangunan. Kita patut menyambutnya dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri.
Setiap usaha pemerintah memerlukan peran serta masyarakat. Perjuangan yang akan berhasil adalah perjuangan yang penuh kerjasama. Kerjasama pemerintah dan rakyat dapat dinyatakan sebagai usaha saling melindungi. “Dalam melindungi diri sendiri, orang melindungi lain-lainnya. Dalam melindungi lain-lainnya, orang melindungi diri sendiri,” sebagaimana telah dinyatakan oleh Buddha.[7] Dirgahayu 41 tahun Proklamasi Kemerdekaan RI.
20 Agustus 1986
[1] Dhammapada 160
[2] Anguttara Nikaya X, 21 : 205
[3] Mahavagga 1 ; 11
[4] Dhammapada 158
[5] Samyutta Nikaya VII, 2 : 1
[6] Anguttara Nikaya VII, 1 : 5
[7] Samyutta Nikaya XLVII, 19