Kepedulian pada Adu Jago
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Hanya dalam waktu 93 detik Mike Tyson meraup 4 juta dolar. Juara dunia tinju kelas berat ini boleh dikagumi dunia karena keperkasaannya mendatangkan nama besar dan kekayaan yang diimpikan kebanyakan manusia. Dia yang asalnya orang miskin mengeruk duit dengan memukuli lawan. Namun tak salah lagi, banyak orang membenarkan karena ikut memuja kekerasan.
Tinju memang legal. Indonesia pun memiliki juara dan memupuk banyak calon jagoan. Anak-anak Indonesia yang lebih banyak mendapatkan perhatian di bulan ini boleh belajar bagaimana mengembangkan cinta kasih sekaligus dengan mudahnya pula melupakan kasih sayang agar mampu melesakkan pukulan yang menggeledek. Di satu pihak orang belajar melaksanakan cinta kasih agar meraih kebahagiaan, di pihak lain diperkenalkan bagaimana menjadi seorang manusia besi untuk mendapatkan kesenangan dengan mematikan lawan.
Seorang siswa Buddha tidak hanya menjauhi pembunuhan, tetapi juga menahan diri dari segala bentuk kekerasan. “Setelah membuang alat pemukul dan pedang, malu untuk melakukan tindak kekerasan atau berbuat kasar, ia hidup dengan penuh cinta kasih, menaruh kasih sayang dan berbuat bajik terhadap semua makhluk.” Bahkan menonton segala bentuk pertunjukan yang mengandung kekerasan pun tidak dibenarkan-Nya. “Menonton adu gajah, adu kuda, adu sapi, adu banteng, pertandingan senjata, tinju, gulat, perang-perangan, pantang untuk seorang siswa Buddha.” Pantangan ini dikemukakan bersamaan dengan berbagai pantangan lain, termasuk beraneka macam permainan judi dan praktik ramal-meramal atau perdukunan, Buddha menyatakan berulang-ulang dalam sejumlah Sutta, khususnya Brahmajala Sutta, Samanaphala Sutta, dan Ambattha Sutta, yang merupakan bagian dari Kitab Digha Nikaya.
“Apa sembilan hal yang harus disingkirkan? Kesembilan hal itu berakar pada nafsu yang rendah (tanha), yakni: pencaharian atau pengejaran (pariyesana) yang timbul karena adanya nafsu; keuntungan (labha) yang timbul karena adanya pencaharian tersebut; pertimbangan (vinicchaya) yang timbul karena adanya keuntungan; keinginan dan keserakahan (chanda raga) yang timbul karena adanya pertimbangan; keterikatan (ajjhosana) yang timbul karena adanya keinginan dan keserakahan; penguasaan atau pemilikan (pariggaha) yang timbul karena adanya keterikatan; kekikiran (macchariya) yang timbul karena adanya pemilikan; penjagaan (arakha) yang timbul karena adanya kekikiran demikianlah timbul banyak hal yang buruk (papa dhamma), seperti pemukulan hingga terjadi luka, pertengkaran dan balas dendam, fitnah, dan kebohongan, karena adanya penjagaan atas pemilikan.”[1] Pemikiran Buddhis menekankan apabila seseorang ingin berbahagia, bukanlah demi untuk diri sendiri, melainkan juga untuk orang-orang lain. Tidak ada kebahagiaan sejati yang dicapai dengan merugikan, menyakiti atau melukai, apalagi hingga mencabut nyawa makhluk lain.
Mahatma Gandhi pernah menyatakan, “Kebesaran suatu bangsa dan kemajuan moralnya dapat dinilai dari cara-cara bagaimana memperlakukan hewan-hewan.” Kalau hewan saja diperlakukan dengan baik, sewajarnya makhluk yang sesama manusia dihargai dan dihormati. Seorang calon Buddha yang penuh belas kasihan kalau perlu akan mempertaruhkan nyawanya untuk menolong seekor domba yang terjepit di tengah semak berduri. Ketimbang menganggur, membiarkan waktu terbuang sia-sia, ia lebih senang menggendong anak domba yang tersesat untuk mencari induknya. Menurut Buddha, orang yang tidak memiliki rasa belas kasihan terhadap makhluk hidup, harus dinamakan sampah masyarakat (vasala).”
Baru-baru ini seorang penyair, Taufiq Ismail, menulis Puisi Sapi Aduan. Secuplik di antaranya:
Hewan yang diadu itu sakit sekali
Keluhan bisa kita fahami
Tapi mengapa hati kita total tuli
Menganiaya dengan sangat sengaja.
Ia menaruh simpati kepada ulama NU Probolinggo yang melempar fatwa bahwa adu sapi itu haram. Tidak cuma sapi, adu hewan itu sadistis, diikuti praktik judi, perdukunan, dan maksiat. Lalu bagaimana dengan adu manusia? Penyair kita ini berulang-ulang menulis menggugat tinju. Tetapi siapa saja yang ikut menaruh peduli?
Apakah ada suara jika sebatang pohon ambruk di hutan sedangkan tak seorang pun ada di dekatnya dan mendengarnya! Tidak, sekalipun ada gelombang suara, kalau tidak ada orang yang menangkapnya, maka tidak ada suara. Juga tidak, walau ada orang di dekatnya, kalau orang itu tuli sehingga tidak bisa mendengar adanya suara itu. Mungkin pula tidak ada apa-apa yang berarti ketika orang tidak menaruh peduli. Tetapi bukan mengada-ada, gemuruh adu hewan dan tinju agaknya menutup pintu surga.
26 Juli 1989
[1] Digha Nikaya 34