Kepercayaan
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Manusia sering merasa tak berdaya dan tidak pula dapat mengharapkan bantuan sesamanya. Bekerja keras tidak kaya-kaya, berobat ke dokter tidak sembuh-sembuh, misalnya; lalu orang mencari pertolongan pada dunia gaib. Dukun dan tempat-tempat keramat menjadi ramai dikunjungi orang, yang ingin cepat kaya, yang minta pangkat, yang mencari jodoh, dan sebagainya.
Percaya pada kekuatan halus menjadi penting bila karenanya memengaruhi perjalanan hidup seseorang. Percaya itu berarti menggantungkan harapan. Ada makhluk halus yang dianggap bisa mengabulkan, bisa pula sebaliknya menghalangi keinginan seseorang. Roh-roh baik atau dewa-dewa memenuhi keinginan yang baik. Sebaliknya roh-roh jahat atau setan menghalangi yang baik dan membawa bencana. Ternyata bagaimana pun kekuatan halus itu, yang baik atau yang jahat, bisa diatur oleh manusia. Dewa-dewa dibuat senang dengan segala bentuk persembahan supaya mau melindungi. Setan diusir, kalau bisa tanpa membuatnya marah. Itulah yang terjadi dalam upacara pengusiran setan, seperti yang dibiayai sampai 140.000 dolar AS oleh pemerintah Hongkong di bulan Maret yang lalu, untuk mengamankan terowongan air limbah di desa Ha Tsuen.
Kepercayaan akan luntur kalau keinginan manusia yang menaruh percaya itu tidak terkabul. Kepercayaan terhadap sesuatu yang mistis seringkali tidak berbeda pola dari kepercayaan yang dikenal dalam hubungan antar manusia sehari-hari. Rakyat percaya kepada penguasa yang bisa memenuhi harapannya. Orang berusaha membuat senang pejabat-pejabat dengan mengirim segala macam bingkisan untuk mendapatkan perhatian dan perlindungan. Jika keinginannya tidak tercapai, hilanglah kepercayaan itu.
Kepercayaan dalam agama Buddha tidaklah menggantungkan harapan kepada Buddha yang akan mengabulkan keinginan seseorang. Ia dipuja, tetapi bukan tempat meminta. “Engkau sendiri yang harus berusaha, sedangkan Tathagata hanya menunjukkan jalan,” demikian sabda-Nya.[1] Kepercayaan tidak pula berarti memasrahkan diri, menyerahkan nasib kepada kekuatan di luar diri sendiri. Buddha mengajarkan agar tidak menyandarkan nasib kepada makhluk lain, dan menjadi pelindung bagi diri sendiri dengan berpegang teguh pada kebenaran.[2]
Orang percaya pada sesuatu hal bukanlah dengan menuntut agar apa yang terjadi sesuai menurut keinginannya. Keinginan yang mementingkan diri sendiri sering kali merupakan sumber penderitaan. “Terbebaslah orang bijaksana yang tidak terbawa oleh perasaan dan tidak mempunyai kebutuhan untuk menuntut sesuatu. Tenanglah mereka setelah bebas dari rasa senang dan tidak senang.”[3] Percaya itu terkait erat dengan kebenaran, sekalipun berbeda dari apa yang diinginkan. Percaya kepada Tuhan tiada lain dari percaya kepada kebenaran. Kebenaran itu tidak memihak, tetapi manusia yang harus memihak kepadanya.
Maka kepercayaan sebagai gerakan kebatinan atau gerakan moralitas, seharusnya membangkitkan kepercayaan pada peran dari perbuatan manusia sendiri. Dunia mengenal banyak agama dan aliran yang mengajarkan agar manusia berbuat baik. Namun hidup yang lebih baik itu masih berupa angan-angan, tidak juga menjadi kenyataan. Mengapa demikian? Karena manusia hanya mempersoalkan bagaimana menjadi percaya, bukan sebaliknya bagaimana agar ia sendiri dapat dipercaya memihak pada kebenaran.
Sutasoma adalah sosok Bodhisattwa yang tiada ragu sedikit pun mengorbankan dirinya untuk menunjukkan bagaimana ia dapat dipercaya. Pangeran Sutasoma jatuh tertawan ketika berhadapan dengan Purusada, orang kanibal yang mengumpulkan tumbal seratus orang ksatria. Ketika ia teringat akan janjinya kepada seorang brahmana yang tidak akan sempat lagi terpenuhi, ia tidak bisa menutupi perasaannya, sehingga air mata pun jatuh menetes. Lawannya mencemooh karena disangkanya Sutasoma gentar melihat mayat-mayat yang berserakan berlumuran darah, di tengah serigala yang melolong dan burung-burung gagak yang menjerit di sekeliling pancaka yang mengepulkan asap pembakaran jenasah.
Dengan terus terang Sutasoma mengemukakan alasan yang membuatnya sedih. Purusada dapat dibujuk sehingga memberi kesempatan baginya untuk melaksanakan janji kepada sang brahmana, dengan syarat setelah itu Sutasoma akan kembali menyerahkan diri kepadanya. Maka Sutasoma pulang ke istana dan melayani brahmana yang masih menantinya. Ia mendengar syair yang indah-indah karya brahmana itu dan memberi hadiah sebagaimana yang pernah dijanjikan. Lalu ia bergegas kembali menemui Purusada. Tidaklah pernah terlintas dalam benaknya untuk mengingkari janji, sekalipun dengan demikian jelas ia mengantarkan nyawa. Di pihak lain, hati Purusada tergerak melihat Sutasoma tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Akhirnya ia membebaskan Sutasoma dan semua ksatria yang pernah ditangkapnya; bahkan berjanji akan meninggalkan kebiasaannya memakan daging manusia.[4]
Ketulusan untuk menjadikan diri sendiri dapat dipercaya oleh orang lain perlu sebagai jiwa dari gerakan kepercayaan. Dunia akan menjadi lebih baik kalau setiap manusia tidak hanya percaya, tetapi juga dapat dipercaya.
2 Mei 1990
[1] Dhammapada 276
[2] Digha Nikaya 16
[3] Sutta Nipata
[4] Jataka 536