Kerja Keras, Kerja yang Benar
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Banyak orang bekerja keras tetapi tidak bisa menjamin kebutuhannya. Di antaranya, seperti hasil pemantauan Kepala Dinas P & K Jawa Tengah, banyak guru yang menjadi stres karena kondisi ekonominya yang kurang mencukupi. Produktivitas seorang guru, atau pegawai negeri umumnya, yang telah bekerja keras secara halal pada jam kerja, tidak dengan sendirinya langsung meningkatkan penghasilan. Sedangkan produktivitas bagi seorang pengusaha atau wiraswasta dapat segera memengaruhi tingkat perolehannya.
Kebanyakan orang bekerja guna mencari uang. Seorang majikan menginginkan pegawainya menghasilkan banyak dan membayar semurah-murahnya. Di pihak lain seorang pegawai, cenderung bekerja sesedikit mungkin tetapi mengharapkan penghasilan yang besar. Maka, hubungan kerja antara kedua pihak ditandai perbedaan kepentingan yang sangat terikat pada egoisme masing-masing. Untuk bekerja keras atau meningkatkan produktivitas, rata-rata pegawai pun mempertanyakan: Apa untungnya bagiku?
Bagi orang yang bekerja sebagai amal ibadah, kerja itu tak lain dari melakukan karma guna menyempurnakan diri. Menurut hukum karma, barangsiapa menanam cepat atau lambat tentu ia sendiri yang akan memetik buahnya. Maka, beruntunglah orang yang mengejar kekayaan hanya untuk mendapatkan kebahagiaan dengan cara membuat orang lain berbahagia. “Kekayaan diperoleh karena bekerja dengan giat, dikumpulkan dengan kekuatan tangan dan cucuran keringat sendiri secara halal, berguna untuk menyenangkan dan mempertahankan kebahagiaan dirinya sendiri, untuk memelihara dan membuat orangtuanya bahagia, demikian pula membahagiakan istri dan anak-anaknya, membahagiakan para karyawan dan anak buahnya. Inilah alasan pertama untuk mengejar kekayaan.”[1]
Hubungan kerja antara pihak majikan dan pegawai merupakan persekutuan demi kepentingan dan kebahagiaan bersama. Keduanya saling melindungi atas dasar cinta kasih dan tentu saja mencampakkan jauh-jauh egoisme masing-masing. Hasil produktivitas tidak bisa lain harus kembali dinikmati pula oleh para karyawan. Buddha memberi petunjuk agar majikan memberi pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan pegawainya, memberi makan dan penghasilan yang sepadan, menjamin pemeliharaan kesehatan, memberi hadiah dan kesempatan berlibur bagi para karyawannya. Sedangkan pegawai bekerja sebaik-baiknya, penuh dedikasi dan disiplin termasuk mematuhi jam kerja, setia, dan menghargai majikannya.[2]
Produktivitas seorang manusia dibatasi oleh waktu. Ketika usianya menjadi semakin tua, kemampuannya untuk bekerja keras semakin menurun. Ketika jatuh sakit ia tidak lagi produktif. Buddha melihat bahwa setiap orang khawatir menghadapi hari tua, khawatir jatuh sakit, khawatir mengalami paceklik, bencana kelaparan dan musibah lain, khawatir suatu saat terjadi huru-hara atau lenyapnya saat-saat hidup yang damai. Ia mengingatkan, “Dengan merenungkannya, seorang siswa bersungguh-sungguh, rajin, teguh, semestinya segera berusaha dengan giat mencapai apa yang belum tercapai, menguasai apa yang belum dikuasai, menyadari apa yang belum disadari.”[3] Dengan kata lain, janganlah menunda kesempatan untuk bekerja keras.
Meningkatkan produktivitas sendiri tidak selalu berarti bekerja lebih berat atau lebih lama. Peningkatan jumlah hasil produksi bisa diperoleh misalnya dengan memperbaiki prosedur atau cara kerja, dengan menambah sarana dan alat, atau mendayagunakan teknologi. Sedangkan bekerja lebih keras dan lebih lama tidak dengan sendirinya memberi hasil yang lebih baik. Apabila kuantitas saja yang menjadi perhatian, tidak jarang kualitas menjadi tidak terjamin. Lalu apa artinya kerja keras, bilamana hasilnya tidak bermutu? Maka, kerja keras harus diartikan kerja yang benar.
Menurut Buddha, seorang pengusaha tidak akan mampu memperoleh kekayaan yang belum dimiliki sebelumnya, atau mempertahankan apa yang diperoleh atau meningkatkan apa yang akan dicapainya jika ia bermalas-malasan. Untuk mencapai sukses ia harus mengurus pekerjaannya dengan giat pada waktunya. Tetapi pengusaha yang berhasil mestinya juga pintar atau panjang akal (cakkhuma), cakap atau terampil (vidhuro), dan dapat dipercaya (nissayasampanno).”[4] Jelas rajin bekerja atau bekerja keras saja tidaklah cukup, tetapi yang penting adalah melakukan pekerjaan dengan benar.
Ada empat kondisi yang menuntun seseorang untuk mencapai keberhasilan dan kebahagiaan di dunia ini, yakni tingkat ketekunan, kewaspadaan, persahabatan atau persekutuan, dan keserasian hidup. Apa pun kegiatan atau mata pencaharian seseorang, dalam segala keahlian ia cekatan dan tak kenal lelah, didukung akal yang tajam mempetimbangkan cara dan sarana, ia cakap mengatur dan melaksanakan tugasnya. Inilah yang dinamakan prestasi dalam ketekunan. Dalam hal kewaspadaan, apa pun sukses yang diperolehnya secara halal, ia berhemat dan mencegah terjadinya kerugian atau kehilangan. Sedangkan persahabatan yang baik diperlukan tidak hanya di lingkungan kerja, tetapi juga di lingkungan tempat tinggal, memantapkan keyakinan, kebajikan, kemurahan hati, dan kearifan. Selanjutnya dengan hidup serasi berarti mengendalikan keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran, sehingga tidak tergoncang oleh pasang surut penghasilan.”[5]
Kerja keras sebagai amal ibadah adalah kerja yang benar. Bekerja yang benar itu bertujuan untuk mengakhiri penderitaan. Dalam ajaran Buddha, jalan mengakhiri pernderitaan tersebut meliputi delapan faktor, yakni: pandangan, pikiran, ucapan, tindakan, penghidupan, daya upaya, kesadaran, dan konsentrasi yang benar.
20 September 1989
[1] Angutara Nikaya V, 4;41
[2] Digga Nikaya 31
[3] Anguttara Nikaya V, 8;78
[4] Anguttara Nikaya III, 2; 19-20
[5] Anguttara Nikaya VIII, 6;63