Keterbukaan yang Bertanggung Jawab
- By admin
- March 18, 2022
- Di Atas Kekuasaan dan Kekayaan
Dulu orang hidup telanjang. Segalanya tampak baik, sehingga tidak beralasan untuk tidak terbuka. Membuka mulut lebar-lebar bukanlah masalah, karena tidak ada orang yang menderita halitosis (hawa napas yang bau busuk). Gigi yang putih bersih tersusun rapi atau lidah yang tidak pernah bercabang tidak perlu disembunyikan. Hati manusia yang tidak kelihatan pun terbuka, bersih, tanpa dosa, tanpa prasangka. Bisa jadi ketika itu berbisik-bisik menjadi tidaklah sopan, lain dari apabila tidak ada keterbukaan.
Namun dunia selalu berubah. “Apa yang dulunya dipandang tidak sopan, sekarang bisa menjadi sopan,” demikian ujar Buddha. “Ketika orang-orang lain melihat pasangan yang melakukan hubungan intim, sebagian darinya melempari dengan pasir, sebagian melempari dengan abu, sebagian melempari dengan kotoran sapi seraya berteriak: Kurang ajar!” demikian tercatat pembicaraan Buddha dengan Vasettha. “Oleh karena mereka mencela perbuatan itu tidak sopan, orang-orang mulai memerlukan tempat tertutup untuk berlindung menyembunyikan perbuatan tersebut.”
Kehidupan seks diambil sebagai contoh, karena keterbukaan seks mengesankan sigap berpacu dengan keterbukaan dalam kehidupan politik dan ekonomi. Begitu angin glasnost dihembuskan oleh Gorbachev, apa yang dulunya hanya ditemukan tertutup dalam kamar tidur menjadi bebas terpajang di muka umum. Padahal di pihak lain orang di negara komunis itu tidak perlu lagi berbisik-bisik mendiskusikan pentingnya agama bagi manusia.
Dalam kehidupan bermasyarakat, kebebasan memerlukan batas. Tidak ada keterbukaan tanpa batas terkecuali manusia kembali hidup telanjang.
Dalam suatu rentang perjalanan kehidupan manusia, ada waktunya timbul pertanyaan, apa lebih terbuka itu berarti lebih maju? Bagi negara Soviet, glasnost (keterbukaan) itu seiring dengan perestroika (pembangunan ekonomi) dan demokratizatya (demokratisasi) menandai kemajuan. Sebaliknya, Cina tidak bisa lebih terbuka, karena bagi Deng yang memimpin, hal itu tak lain dari berarti mundur.
Dalam kacamata Buddhis, apa yang dinamakan lebih maju atau mundur harus dinilai tersendiri, karena keterbukaan ada batasnya. Buddha mengemukakan ada tujuh hal yang membawa kemajuan dan kemuliaan, yakni: (1) memiliki keyakinan, (2) merasa malu kalau berbuat salah, (3) merasa takut pada akibat perbuatan yang salah, (4) banyak mendengar atau belajar, (5) bersemangat, (6) memiliki kesadaran, dan (7) memiliki kebijaksanaan. Tujuh hal yang sebaliknya menimbulkan kemunduran.[1]
Keterbukaan itu tak lepas dari tanggung jawab. Keterbukaan yang bertanggung jawab menghendaki adanya iktikad yang baik. Sedangkan iktikad yang buruk merupakan salah satu rintangan batin (nivarana) yang harus disingkirkan. Rintangan batin lain adalah pemuasan indrawi, kemalasan atau kelambanan, kekhawatiran dan keragu-raguan. Dengan adanya kekhawatiran dan keragu-raguan, orang mudah menaruh prasangka dan cenderung menimbulkan ketidakpuasan terhadap sesuatu atau seseorang.
Dalam naskah yang sama bisa kita peroleh petunjuk Buddha selanjutnya yang dibacakan oleh Sariputta. “Inilah ajaran yang harus diingat, agar dicintai dan dihormati, demi kerukunan, bebas dari pertentangan, harmonis dan persatuan tetap terpelihara: Dengan diliputi cinta kasih (metta) seorang siswa melakukan segala tindakan atau perbuatan jasmani (kaya-kamma) terhadap sesamanya, baik secara pribadi atau pun di depan umum. Demikian pula dalam tutur kata (vaci-kamma) dan pikirannya (mano-kamma) selalu diliputi oleh cinta kasih. Ia memberi kesempatan kepada sesamanya untuk ikut menikmati apa yang diperolehnya secara halal, membagi secara adil, bahkan kalau perlu isi mangkuk makannya sendiri sekalipun. Di depan umum atau pun pribadi ia menjalankan kehidupan bermoral (sila) sesuai dengan peraturan, tanpa cela dan murni, dipuji oleh orang-orang yang bijaksana dan tidak tergoda oleh nafsu keduniawian yang rendah serta pikirannya terarah dengan baik. Ia memiliki pandangan yang sama di depan umum atau pun pribadi, mempertahankan pandangannya yang benar, yang bersifat membebaskan dari penderitaan dan membawanya berbuat sesuai dengan pandangan tersebut.” Keenam hal yang harus diingat itu dinamakan Saraniya-dhamma.[2]
“Sehubungan dengan keterbukaan ini, ada empat batas keterbukaan yang disampaikan oleh Presiden. Pertama, cara mengemukakan pendapat harus rasional. Kedua, jangan sampai pendapat yang dikemukakan bertentangan dengan kepentingan rakyat. Ketiga, jangan sampai keterbukaan itu merusak persatuan bangsa. Keempat, pendapat itu tidak bertentangan dengan Pancasila.
9 Agustus 1989
[1] Digha Nikaya 34
[2] Digha Nikaya 34