Keyakinan dan Kepercayaan
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Nyadran, acara setahun sekali orang-orang berziarah ke makam dan berdoa, konon warisan budaya Buddha di Jawa, Dilihat dari asalnya, sadran atau sraddha, upacara menghormat untuk kebaikan keluarga yang meninggal itu dilatarbelakangi keyakinan dalam agama Buddha.
Dalam perjalanan waktu yang panjang barangkali segala bentuk upacara dan tradisi telah kehilangan semangat yang menjiwainya. Jangan lupa, Buddha mencela segala upacara keagamaan yang dilakukan oleh para brahmana. “Meskipun dari bulan ke bulan, seseorang menyelenggarakan upacara dengan ribuan persembahan selama seratus tahun, masih lebih baik dia yang sesaat saja menghormati orang suci yang memiliki pengendalian diri. Penghormatan itu lebih berharga daripada seabad persembahan korban.”[1]Menghormati orang yang hidupnya lurus jauh lebih baik daripada percaya pada pentingnya suatu upacara pemujaan.
Menghadapi hidup yang tidak berkepastian dan untuk memperoleh rasa aman dalam hidupnya, ada dua cara yang ditempuh oleh manusia. Yang pertama, mengambil hati kekuatan-kekuatan yang memengaruhi atau menentukan nasibnya, apakah itu melalui doa permohonan, upacara korban, dan pemujaan magis misalnya. Yang lain, yang diajarkan Buddha, yaitu mengembangkan diri dan menyempurnakannya sehingga terlepas dari kekangan penderitaan. “Dengan upaya yang tekun, semangat, disiplin, dan mengendalikan diri, hendaklah orang yang bijaksana membuat pulau untuk dirinya sendiri, yang tidak akan ditenggelamkan oleh air bah.[2]
Sraddha (Pali: saddha) atau keyakinan diungkapkan dengan pernyataan Tisarana (Tiga Perlindungan):
“Buddham saranam gaccahami”
Aku berlindung pada Buddha.
“Dhammam saranam gacchami”
Aku berlindung pada Dharma.
“Sanggham saranam gacchami”
Aku berlindung pada Sanggha.
Buddha, Dharma, dan Sanggha adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan keyakinan kepada Tisarana ini sekaligus merupakan perwujudan dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Keyakinan atas perlindungan ini sama sekali bukan bersifat pasif memasrahkan diri atau mengharapkan datangnya berkah dari langit. Keyakinan dalam agama Buddha menuntut adanya kesadaran, kemauan, dan tindakan aktif untuk berusaha melaksanakan apa yang telah ditunjukkan oleh Buddha, apa yang diajarkan sebagai Dharma, apa yang telah diteladani oleh Sanggha.
Keyakinan dalam agama Buddha berlandaskan pengertian yang benar (sammaditthi). Tidak ada dogma dalam ajaran-Nya yang harus dipercaya, sehingga umat Buddha memiliki kebebasan berpikir dan mengembangkan dirinya sendiri. Apa yang tidak dialami atau dilihat dengan mata kepala sendiri pantas saja dipersoalkan dan keragu-raguan bukan merupakan dosa. Pada saat melihat atau membuktikan, apa yang dinamakan kepercayaan tidak menjadi persoalan lagi. Buddha menghindari pembahasan metafisika yang dipandang-Nya tidak berguna atau hanya menghasilkan pertentangan pendapat dan kepercayaan.
“Para biksu, Aku akan mengajarkan tentang segala sesuatu. Dengar, apakah segala sesuatu itu? Mata dan bentuk materi, telinga dan suara, hidung dan bau-bauan, lidah dan yang dikecap, badan dan objek sentuhan, pikiran dan objek mental. Itulah yang disebut segala sesuatu. Para biksu, siapa saja yang menyatakan: Aku menyangkal tentang segala sesuatu tersebut dan akan mengungkapkan tentang segala sesuatu yang lain, barangkali ia dapat mengemukakan pendapatnya, tetapi bila ditanya sia-sia saja ia menjawabnya. Lagi pula hanya akan menghasilkan kejengkelan. Mengapa? Karena ia tak akan termasuk dalam jangkauan pengalaman.”[3]
Buddha tidak mempersoalkan bagaimana seseorang itu percaya atau tidak, tetapi Ia menuntun agar setiap orang memahami pengalaman hidup sebagaimana adanya. Keyakinan terhadap kesempurnaan seorang Buddha, terkait erat dengan keyakinan lain, yakni: (1) Keyakinan terhadap hukum karma (kamma-saddha). (2) Keyakinan terhadap akibat dari karma (vipaka-saddha). (3) Keyakinan bahwa semua makhluk mempunyai karma masing-masing dan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri (kammassakata-saddha). Keyakinan ini dapat diperoleh dan tumbuh dari pengalaman empiris sehari-hari.
Seorang guru berkata, “Seekor lembu lewat dekat jendela. Kepalanya, tanduknya, juga keempat kakinya telah lewat, mengapa ekornya tidak lewat?” Manusia masih meminta dan mencari jawaban dari dunia gaib. Itulah karena lemah, kurang keyakinan.
4 April 1990
[1] Dhammapada 106
[2] Dhammapada 25
[3] Samyutta Nikaya 4;15