Khotbah Api
- By admin
- June 4, 2022
- Keselamatan di Bumi
Segala apa terbakar. Demikian dikhotbahkan oleh Buddha kepada seribu biksu di Gaya. Mata, telinga, hidung, lidah, dan tubuh terbakar. Pikiran pun terbakar. Segalanya terbakar oleh api keserakahan, api kebencian, dan api kebodohan. Mereka yang arif memadamkannya.[1]
Keserakahan, kebencian, dan kebodohan, masing-masing ataupun bersama, juga menyulut kebakaran secara fisik. Peristiwa kebakaran di lingkungan pemukiman dan lingkungan kegiatan manusia pada umumnya berhubungan dengan perbuatan (karma) manusia, apakah itu disengaja atau tidak disengaja. Ketika bumi makin panas, kebakaran hutan sering terjadi. Bisa jadi api timbul secara alamiah karena sengatan langsung terik matahari. Namun jauh lebih mungkin sulutan api datang dari perbuatan manusia pula. Katakanlah karena kelalaian, dan kita bisa menyatakannya sebagai salah satu bentuk kebodohan.
Hutan mendapat tempat yang khusus dalam hati umat Buddha, tidak hanya karena merupakan sumber daya alam dengan berbagai tumbuh-tumbuhan dan makhluk hidupnya. “Hutan adalah tempat yang menyenangkan, di mana orang duniawi tidak menemukan kesenangan, tetapi di sana orang-orang yang telah bebas dari nafsu merasa gembira karena mereka tidak lagi mengejar kesenangan indra.”[2]
Pada peristiwa kebakaran, api yang membesar, berkobar tak putus, sungguh menakutkan. Sebelum api membinasakan dan menelan segalanya, kita berusaha untuk menguasai dan memadamkan. Misalnya kebakaran hutan di Kalimantan dibom dengan berpuluh-puluh ton air dari pesawat terbang. Bila kebakaran sudah meluas, acap kali tidak banyak usaha yang bisa dilakukan. Karenanya upaya pencegahan dan kesiagaan mengandung arti yang sangat penting.
“Orang dungu dan berpengertian dangkal terlelap dalam kelengahan, orang arif bijaksana senantiasa menjaga kewaspadaan bagai harta yang paling berharga.”[3] Orang yang cermat, waspada, tekun melatih semadi, memanjat menara kearifan, mencampakkan kebodohan, kebencian, dan keserakahan.
Ketika menyaksikan suatu peristiwa kebakaran, dalam perjalanan di Kosala, Buddha bertanya kepada pengikutnya, mana yang lebih baik: Orang yang duduk di dekat kobaran api dan terjilat panasnya atau orang yang duduk di pelukan wanita yang lembut kaki tangannya. Jawaban mereka, tentu lebih baik duduk di pelukan wanita. Barangkali jawaban itu kita benarkan. Siapa yang akan memilih api yang menakutkan? Ternyata Buddha berpendapat lain.
Menurut Buddha, orang yang buruk watak dan perilakunya lebih baik duduk di tempat kebakaran itu. Mengapa? Ia mungkin menderita dan mati, tetapi bukan api kebakaran itu yang membuatnya kemudian lahir di neraka. Sebaliknya, orang yang buruk watak dan perilakunya, tenggelam di pelukan wanita, hari demi hari melakukan kejahatan, maka setelah meninggal dunia, ia dilahirkan di neraka.[4]
Watak dan moral hidup sekarang menentukan nasib setelah kematian. Manusia sepantasnya tidak memiliki sesuatu yang menyenangkan sekarang ini, namun mengakibatkan penderitaan di kemudian hari. Pada kesempatan lain, Buddha menegaskan bahwa moralitas dan perbuatan baik saja belum cukup untuk membebaskan seseorang dari penderitaan. Kiamat di bumi ini pun tidak mengakhiri segalanya.
“Para siswa, akan tiba suatu saat setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, ratusan ribu tahun, tiadalah hujan turun. Pada masa tiada hujan itu, segala benih dan tumbuh-tumbuhan, semua pohon, termasuk bahan obat-obatan, nyiur dan pohon-pohon raksasa di hutan, menjadi layu, kering dan mati. Demikianlah, segala yang terbentuk tidak kekal, tidak stabil, tidak tetap adanya. Janganlah engkau merasa puas dengan segala bentuk keduniawian, rasakan jemu, dan bebaskan dirimu darinya.”
Selanjutnya Buddha menyatakan bagaimana kekeringan di bumi ini semakin menjadi dengan menggambarkan munculnya matahari kedua, lalu matahari ketiga, dan seterusnya. Sungai dan danau menjadi kering, air samudra berangsur surut hingga dalamnya semata kaki cuma. Gunung Sineru sebagai pusat bumi memuntahkan asap dan api, akhirnya ketika muncul matahari ketujuh, bumi terbakar bagai bola api berpijar, hancur lebur tidak tersisa. Itulah kiamat.
Namun kiamat di bumi tidak mengakhiri penderitaan yang terjadi menyertai lingkaran tumimbal-lahir. Sunetta, seorang Guru membimbing murid-muridnya dengan baik, sehingga banyak di antara mereka yang dilahirkan di alam-alam menyenangkan termasuk surga para dewa. Ia sendiri yang telah menyempurnakan cinta kasih terlahir di alam Brahma Abhassara. Setelah berakhir masa hidupnya di alam itu, ia dilahirkan pula di alam lain. Maka sekalipun Sunetta panjang usia dan hidup senang di alam itu, ia belum bebas dari usia tua, mati, sakit, keluh kesah, putus asa, dan segala bentuk derita atau ketidakpuasan.
Apakah sebabnya? Ia belum lepas dari kehausan untuk hidup terus, ia masih terbelenggu ikatan kelahiran kembali, ia belum menyempurnakan moralitas (sila), semadi (samadhi), kearifan (panna) dan penyelamatan (vimutti). Hanya dengan merealisasi keempat Dharma itu maka tiadalah kelahiran kembali, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh Buddha dan kemudian diajarkannya kepada para siswa.[5]
30 September 1987
[1] Samyutta Nikaya XXXV, 28
[2] Dhammapada 99
[3] Dhammapada 26
[4] Anguttara Nikaya VII, 7 : 68
[5] Anguttara Nikaya VII, 7 : 62