Khotbah dari Arena Sirkus
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Mereka menuntun gajah yang telah terlatih ke hadapan orang banyak. dengan sangat bersahabat gajah-gajah tampil di arena sirkus. Gajah yang perkasa lagi ganas menjadi lembut dan lucu di antara pemain akrobat. Gajah dikenal cakap mempertontonkan kebolehannya di bidang seni dan olahraga, termasuk sepakbola.
Buddha pun menaruh perhatian pada binatang ini. Memang bukan berarti seperti kita semua, senang pada gajah sebagai tontonan yang menarik. Atau lebih jauh dari itu, memerlukan gajah untuk dijadikan buldoser, kuli angkut yang kuat, barangkali pula tunggangan yang bergengsi. Pernah seekor gajah yang baik menjaga dan melayani Buddha di hutan Parileyyaka. Sebaliknya gajah Nalagiri yang buas dilepaskan oleh Devadatta, dengan beringas menyerang Buddha, namun kemudian berhasil dijinakkan-Nya. Dengan mengulas tentang gajah atau binatang lain, Buddha sesungguhnya bermaksud mengajarkan manusia bagaimana harus memperlakukan diri manusia sendiri, bukan semata-mata bagaimana memperlakukan semua binatang itu.
“Sungguh baik, keledai-keledai yang terlatih baik begitu juga kuda-kuda Sindu dan gajah-gajah perang milik para bangsawan. Tetapi jauh lebih baik dari semua itu adalah orang yang telah menaklukkan dirinya sendiri,” demikian Buddha bersabda.[1] Kita bisa menonton binatang-binatang sirkus yang telah ditaklukkan, dijinakkan, dan dilatih dengan baik. Ketika itu pula, barangkali Buddha ingin mengusik hati kita dengan pertanyaan: Apakah engkau pun telah menaklukkan, menjinakkan, dan melatih diri sendiri? Yang terbaik di antara umat manusia adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya.
Orang dinyatakan telah menaklukkan seekor binatang yang buas, dengan membuat binatang itu menjadi patuh dan sabar. Orang yang telah menaklukkan dirinya pun akan mampu menahan sabar terhadap caci maki orang lain misalnya. “Seperti seekor gajah di medan perang dapat menahan serangan panah yang dilepaskan dari busur, begitu pula aku akan bersabar terhadap caci maki orang lain yang sebagian besar berkelakuan rendah.”[2]
Agaknya kurang pantas bahkan risi membandingkan manusia dengan binatang. Karena itu Buddha mengingatkan, bahwa, “Manusia mengatakan suatu hal dengan bibirnya, dan melakukan kenyataan yang tidak serupa. Jeritan serigala dan burung dapat dimengerti dengan mudah, tetapi kata-kata manusia jauh lebih sukar diartikan.”[3] Tidaklah aneh ada orang yang lebih percaya kepada seekor anjing ketimbang seorang manusia sebagai penjaga rumahnya.
Untuk menjinakkan dan melatih gajah liar yang baru, dipandang lebih mudah dengan bantuan gajah lain yang sudah jinak dan terlatih. Gajah liar diikat dekat gajah jinak yang patuh dan mulai melihat bagaimana seharusnya ia mengatur laku supaya diterima oleh lingkungannya. Gajah yang dibesarkan di tengah rombongan sirkus tidak bisa lain dari menjadi gajah sirkus. Kebiasaan itu ditularkan. Untuk menjadi pandai, Buddha menganjurkan agar bergaul dengan orang yang pandai. Sabda-Nya, “Karena itu mendapatkan orang yang pandai, bijaksana, terpelajar, tekun, patuh, dan mulia, hendaknya bisa selalu mengikuti orang seperti itu bagai bulan mengikuti peredaran bintang.”[4]
Buddha pernah mengulas bagaimana pemain akrobat bekerja sama mempertontonkan kebolehannya. Seorang guru akrobat menegakkan galah bambu di atas dahinya. Lalu Medakathalika, seorang murid yang menjadi pasangannya bermain, berdiri di atas pundaknya dan memanjat galah tersebut. Berbagai gerakan dan posisi dapat dilakukan dengan menjaga keseimbangan. Si guru berpesan kepada muridnya, “Nah Medakathalika, anakku, kau jaga aku baik-baik dan aku akan menjagamu. Dengan saling menjaga dan melindungi, kita akan mempertontonkan kemampuan kita, menyelesaikan pertunjukan ini dengan selamat dan menikmati imbalannya yang pantas.”
Medakathalika menanggapi pesan gurunya sebagai berikut, “Tidak, tidak begitu caranya. Guru engkau menjaga dirimu dan aku akan menjaga diriku sendiri.” Buddha berpendapat bahwa kata-kata Medakathalika itu tepat. Ujarnya, “Sebagaimana yang diucapkan Medakathalika kepada gurunya – Aku akan menjaga diriku –untuk itu engkau harus mengawasi pangkal kesadaran, dengan maksud – Aku akan melindungi diriku – berarti pula – Kita akan melindungi orang lain. Dengan melindungi dirinya, para siswa, seseorang itu melindungi orang lain. Dengan melindungi orang lain, seseorang melindungi dirinya sendiri.”
Selanjutnya Buddha menjelaskan, “Dan bagaimanakah para siswa, dengan melindungi diri sendiri seseorang melindungi orang lain? Dengan mengikuti contoh teladan, dengan memperkembangkan dan menonjolkan kesempurnaannya. Lalu bagaimanakah para siswa, dengan melindungi orang lain seseorang melindungi dirinya sendiri? Dengan penuh kesabaran, dengan menghindari kekerasan, dengan niat yang baik, dengan kasih sayang menghadapinya.”[5]
Gemerlapnya dunia pertunjukan semacam sirkus mungkin membuat orang terpesona dan terlena. Pertunjukan atau permainan yang mengasyikkan cuma beberapa jam, lalu berakhir dan bubar. Seperti itulah hidup di dunia ini: maya atau khayal. “Barangsiapa dapat memandang dunia ini seperti ia melihat busa atau seperti melihat fatamorgana, maka Raja Maut sekalipun tidak dapat menemukan dirinya.” [6]
22 Juni 1988
[1] Dhammapada 322
[2] Dhammapada 320
[3] Jataka, 482
[4] Dhammapada 208
[5] Samyutta Nikaya XLVII, 9
[6] Dhammapada 170