Kisah Ular (Srilanka)
- By admin
- June 4, 2022
- Aneka Cerita dari Dunia Timur
Sekali peristiwa adalah seekor ular yang amat ganas. Semua binatang di hutan takut kepadanya. Apalagi manusia penduduk desa di sekitarnya. Sekalipun ia tidak lapar, sering kali ia menyerang makhluk lainnya. Ia membunuh hanya untuk menunjukkan kegagahannya.
Ketika ia berkeliling hutan, binatang-binatang lain lari menjauhkan diri darinya. Dan dengan sombongnya ia mendesis, menjalar ke tempat lain.
Tibalah ia di tepi hutan. Ia melihat segerombolan binatang dengan tenang di situ. Ular itu merasa keheranan, karena biasanya binatang lain akan lari ketakutan melihatnya. Dan ia lebih heran lagi melihat kelinci, ayam, kerbau duduk berdampingan dengan harimau yang biasa amat buas. Masih banyak binatang-binatang lain yang duduk dengan tenangnya mengelilingi seorang petapa.
“Mengapa binatang buas itu tidak menerkan si petapa?” kata ular dalam hatinya. Ia mendekati mereka. Dan mendengar petapa itu sedang menguraikan Metta Sutta. Isinya adalah khotbah cinta kasih. Ular itu ikut mendengarkan dengan khidmat. Makin lama hatinya makin tertarik.
“Jangan menipu orang lain,
Atau menghina siapa saja dan di mana pun juga,
Dalam keadaan marah ataupun bermusuhan.
Jangalah menghendaki atau membuat orang lain celaka.”
“Bagaikan seorang ibu yang melindungi anak tunggalnya.
Sekalipun harus mengorbankan jiwa sendiri
Demikian hendaknya memperlakukan semua makhluk
Memupuk kekuatan cinta kasih yang tiada tara.”
“Biarlah pikiran yang diliputi cinta kasih,
Tiada banding menembus seluruh dunia
Atas, bawah, dan sekitarnya,
Tiada rintangan, tanpa kebencian, dan tanpa iri hati.”
Ketika khotbah itu berakhir, ular itu maju menghadap sang petapa. Ia menceritakan riwayat hidupnya yang penuh dengan pembunuhan. Tetapi setelah mendengar khotbah itu ia menyesal dan menyadari masih memiliki seberkas rasa cinta dalam hatinya.
“Janganlah bersedih,” petapa itu menghibur dan memberikan dorongan. “Tiada sesuatu yang terlambat untuk memulai penghidupan yang suci, dan aku akan menolongmu.”
Maka ular yang semula ganas itu lalu menjadi murid sang petapa. Ia melatih dirinya agar menjadi jinak dan bisa mencintai makhluk lain. Setelah cukup lama ia berhasil mengendalikan dirinya, ular itu diizinkan oleh gurunya pergi mengembara. Ular itu merasa gembira dan berjanji tidak akan mencelakai makhluk lain, bahkan ia akan mengajarkan Dharma kepada semua makhluk.
Kini apabila ia berkeliling hutan, semua binatang mengelu-elukannya. Ia tidak lagi ditakuti, tetapi ia sekarang dihormati oleh seisi hutan. Justeru karena menjalankan ajaran cinta kasih ia disukai dan dihargai sebagai raja. Dan binatang-binatang lain banyak yang berguru kepadanya.
Pada suatu hari seorang manusia masuk ke hutan itu untuk mengumpulkan kayu bakar. Setelah kayunya terkumpul cukup banyak, ia mencari rotan untuk mengikatnya. Sang ular kebetulan sedang melingkar di dekatnya. Ia berpikir bahwa biasanya manusia takut kepada ular, maka ia diam tidak bergerak agar tidak membuat manusia itu terkejut. Karena tidak bergerak, itu tampak seperti rotan. Manusia ini mengambilnya lalu mengikat kayu-kayu yang sudah dikumpulkannya dengan erat. Ular itu kesakitan. Tetapi ia tetap tidak bersuara dan tidak melawan. Orang itu memikul kayu dengan ikatan ular tersebut pulang ke desa. Setelah tiba di rumahnya, ikatan kayunya dibuka lalu dilempar ke jalan. Maka bebaslah ular itu. Ia menjalar pelan-pelan karena sakitnya.
Ketika ia menghadap gurunya, ia mengeluh, “Sungguh aneh sekali ajaran Guru,” kata ular itu. “Aku menjadi makhluk yang bodoh karena mentaati ajaran Guru.”
“Wahai muridku, katakanlah apa yang telah terjadi?” tanya sang petapa itu. “Tampaknya engkau adalah muridku yang berbakat dan amat taat sehingga pantas kalau dipuji hebat. Apakah kebodohan yang kau maksud?”
Ular itu menceritakan peristiwa yang dialaminya, sambil menunjukkan luka bekas ikatan di tubuhnya. Petapa itupun tertawa mendengarnya.
“Tentu saja engkau bodoh,” katanya. “Aku kira engkau cukup cerdas untuk menerima ajaranku.”
“Bagaimana itu, bukankah Guru mengajarkan kepadaku agar tidak menggigit makhuk lain?”
“Memang benar,” guru itu menjawab. “Tapi hal itu tidak berarti bahwa engkau tidak boleh bersuara dan bergerak. Apabila engkau bersuara atau bergerak, tanpa menggigit, tentunya engkau tidak dianggap sebagai tali bukan?”