Konsep Pemikiran Perencanaan
- By admin
- March 29, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Disadari atau tidak, manusia menentukan jalan hidup dan nasibnya sendiri. Segala keadaan yang dialami, suka dan duka, merupakan hasil atau akibat dari perbuatan (karma) yang pernah dilakukan olehnya sendiri. Dengan demikian manusia memiliki kesempatan untuk merencanakan perbaikan nasib bahkan mencapai Penerangan Sempurna di kemudian hari.
Semua orang pada dasarnya memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai Penerangan Sempurna atau menjadi Buddha. Menjadi Buddha itu adalah tujuan akhir dari siklus kehidupan yang dicapai bukan tanpa rencana. Ikrar para calon Buddha (Bodhisattwa) Cuma omong kosong saja bila tidak disertai rencana yang kemudian dilaksanakan sebaik mungkin.
Masalah sentral dalam pandangan Buddha adalah penderitaan manusia. “Apa pendapatmu, para Siswa, mana yang lebih banyak, air dalam keempat samudra, ataukah air mata dari ratap tangis yang kau tumpahkan sepanjang menjalani lingkaran kehidupan yang lama nian, karena yang menjadi bagianmu adalah yang tidak kau senangi, sedangkan yang kau cintai tidak menjadi bagianmu?”[1] Permasalahan yang dihadapi tidaklah untuk diterima secara pasrah, tetapi perlu dipahami dengan benar agar dapat diatasi.
Agama Buddha pun dibabarkan dengan tujuan untuk menyelamatkan manusia dari penderitaan. Semua manusia tentu. Namun sasaran yang pertama ternyata orang-orang yang tertentu. Dharma itu sulit dimengerti, pelik, dan tak mudah diterima oleh orang sembarang yang sangat terbelenggu sebagai budak nafsu. Maka Buddha mengambil kebijaksanaan dengan memilih dan mendahulukan orang-orang yang tergolong siap sehingga mampu menangkap ajaran-Nya dan terjamin dalam waktu singkat berhasil meraih Penerangan Sempurna. Ia tidak memulai pembabaran di hadapan siapa saja yang ditemui-Nya di jalan.[2] Ia membuat perencanaan untuk mengajarkan Dharma.
Suatu perencanaan mengandung tujuan, kebijaksanaan dan cara mencapai tujuan, kegiatan yang akan dilakukan secara sistematis dan didasarkan pada perhitungan. Dalam perencanaan, Buddha mempertimbangkan situasi permasalahan dengan hambatan dan potensinya. Ia menghindari atau membatasi ketidakpastian, dan sebaliknya memastikan prospek perkembangan pada masa yang akan datang. Dengan bahasa kita sekarang. Ia memilih alternatif yang terbaik dan prioritas yang tepat, sehingga dapat memanfaatkan sumber daya dengan efektif sekaligus efisien.
Setiap orang memiliki masalah sendiri. Masing-masing bisa berbeda pendapat. Buddha tidak mengabaikannya dan akan bertanya, “Apa pendapatmu?” atau “Bagaimana pikiranmu?” Berbagai dialog yang tercatat dalam Kitab Suci dimulai dengan pertanyaan itu. Setiap orang bisa berbeda kebutuhan dan keinginan. Buddha pun tidak mengabaikannya. Merencanakan suatu pertolongan atau penyelamatan perlu memperhatikan pendapat dan keinginan orang yang akan ditolong.
“Apa yang kau kehendaki?”
Misal sekelompok pemuda Bhaddavaggiya mencari wanita penghibur yang telah menipunya. Buddha bertanya, “Anak muda, apa perlumu dengan seorang perempuan?” Pertanyaannya tidak berhenti di situ saja. Tanya-Nya lebih lanjut, “Mana yang lebih baik, menemukan perempuan itu atau menemukan diri sendiri?” Kemudian mereka sepakat bahwa menemukan diri sendiri lebih baik.[3] Suatu perencanaan yang menyangkut kepentingan pihak lain memerlukan kesamaan pendapat dan kesamaan sisi pandang.
Buddha bertanya dan tahu betul apa yang dikehendaki oleh seseorang yang memerlukan pertolongan-Nya. Ia tidak pernah tidak menolong, namun tidak harus dengan memenuhi keinginan semua orang itu. Justru dengan cara demikian tujuan penyelamatan tercapai. Itulah sikap Buddha menghadapi Pangeran Nanda yang menjadi biksu karena mengimpikan lima ratus bidadari atau Kisa Gotami yang membawa mayat anaknya untuk dihidupkan kembali. Seandainya orang-orang itu bertahan pada keinginan semula, tentu saja Buddha tidak berhasil menolongnya.
Ketika Putri Pajapati dan lima ratus wanita lain mengajukan permohonan menjadi rahib, Buddha pernah menolaknya. Menjadi rahib berarti mencari kemudahan untuk mencapai Penerangan Sempurna atau terbebas dari penderitaan. Dengan jalan ini pula terbuka pemerataan kesempatan dan kedudukan bagi semua golongan masyarakat, baik bangsawan atau pun rakyat jelata. Apakah jalan tersebut monopoli kaum pria?
Buddha sendiri menjawab tidak. Kemudian Buddha mengizinkan wanita menjadi biksuni dengan menambahkan delapan peraturan keras. Ini bukan diskriminasi, tetapi sebagai cara untuk melindungi golongan wanita. Lagi pula Buddha mengantisipasi kelestarian ajaran-Nya di hari kemudian.
Penahbisan biksu semulanya hanya dilakukan oleh Buddha sendiri. Para calon biksu dari segala penjuru dibawa menemui-Nya. Namun untuk kepentingan mereka yang jauh, Buddha melimpahkan kewenangan kepada murid-murid-Nya.[4] Pertimbangan regional dan desentralisasi ini diperkuat oleh sikap Buddha yang menghindari ketergantungan pengikut kepada diri-Nya sendiri.
Pada hari-hari terakhir sebelum mangkat, Buddha menegaskan bahwa ia tidak menginginkan adanya ketergantungan pengikut-Nya pada seseorang tertentu. Ia menekankan Dharma sebagai pelita dan Dharma sebagai pelindung.[5] Dharma itu adalah suprasistem yang menjadi acuan sekaligus kontrol dari penyusunan suatu rencana dalam lingkup agama Buddha.
6 April 1988
[1] Samyutta Nikaya XV, 1:3
[2] Maha Vagga I, 6
[3] Maha Vagga I, 14
[4] Maha Vagga I, 12
[5] Digha Nikaya 16