Konsep Sakit dan Pengobatan
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Indeks mutu hidup ditentukan berdasar tingkat kematian bayi, harapan hidup dan kemelekan huruf. Indeks ini cuma salah satu cara untuk mengukur dan membandingkan mutu hidup. Katakanlah masyarakat yang sakit-sakitan, angka kesakitan tinggi dan tidak produktif, bukan tidak mungkin memiliki tingkat kematian yang rendah dan harapan hidup tinggi, namun mutu hidup tentunya tidak pantas dinyatakan baik.
Sakit adalah sebagian dari hidup manusia sehari-hari di dunia. “Tubuh ini terbuat dari tulang-tulang yang dibalut daging dan darah. Di situ bercokol kelapukan dan kematian. Kesombongan dan kepalsuan.”[1]Manusia tidak boleh pasrah pada keadaan tubuhnya. Pemahaman yang benar mengenai tubuh yang rapuh, yang merupakan sarang penyakit itu justru mendorong agar manusia memperhatikan perawatan tubuhnya dengan tepat.
Nasihat Buddha: “Bilamana badanmu sakit, jangan biarkan pikiranmu juga menjadi sakit. Demikianlah hendaknya engkau melatih dirimu sendiri.”[2] Jasmani dan rohani saling bergantung dan saling mempengaruhi. Gangguan pada jasmani akan diikuti gangguan pada rohani, demikian pula sebaliknya. Namun pikiran adalah komandan. “Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, dan segala sesuatu dibentuk oleh pikiran.”[3]
Seorang Manusia Buddha masih bisa mengalami penderitaan jasmani yang disebabkan oleh penyakit, khususnya karena proses menjadi tua dan rapuh. Diriwayatkan pada hari-hari persiapan menjelang saat wafat, Buddha menanggung sakit akibat keracunan makanan. Makanan itu persembahan seorang umat yang sengaja tidak ditolak oleh Buddha, tetapi diminta agar tidak dimakan oleh orang lain. Buddha menahan sakit dengan kekuatan pikiran, mempertahankan batin yang waspada, tenang, dan penuh pengertian.[4]
Menahan sakit tidak berarti mengobati. Tubuh yang terkena penyakit, yang rapuh atau terganggu fungsinya memerlukan pengobatan agar menjadi sembuh. Itulah yang dikerjakan oleh para tabib atau dokter. Jivaka misalnya, adalah seorang dokter terkemuka yang seringkali mendampingi Buddha. Ia yang mengobati kaki Buddha yang terluka kena batu karang. Pengobatan dengan menggunakan bermacam-macam ramuan, makanan bergizi, hingga tindakan bedah tidak asing di kalangan rahib Buddha. Buddha menempatkan ilmu pengobatan semacam itu sebagai disiplin tersendiri di luar keagamaan.
Terdapat tiga jenis orang sakit: (1) Orang yang tetap sakit, terlepas dari hal mendapatkan atau tidak mendapatkan diet, obat, dan perawatan yang tepat. (2) Orang yang akan sembuh pada waktunya walau tidak mendapatkan diet, obat, dan perawatan. (3) Orang yang akan menjadi sembuh apabila ia mendapatkan diet, obat, dan perawatan yang tepat, tetapi tidak akan sembuh apabila mendapatkan diet, obat, dan perawatan yang salah.[5]
Sebagai orang biasa, kita tidak akan mengetahui sebelumnya, tergolong jenis yang mana seorang yang sakit itu. Maka segala usaha harus dilakukan dengan anggapan sebelumnya bahwa kesembuhan dapat dicapai bila memperoleh diet, obat, dan perawatan yang sebaik-baiknya. Sikap pasrah, tidak melakukan suatu usaha atau menghentikan usaha pengobatan berarti mengabaikan kesempatan untuk sembuh. Setiap orang sakit pantas berdoa mengharapkan kesembuhan, bukan sebaliknya memohon kepada Tuhan agar ajal dipercepat.
Bagaimana seseorang berusaha mencari pengobatan dipengaruhi oleh konsepnya tentang sakit. Penyakit ditandai oleh suatu gejala atau perubahan fungsi tubuh yang sifatnya objektif. Namun tidak semua orang yang terkena penyakit merasakannya sebagai sakit. Golongan ini biasanya menjalankan kegiatan sehari-hari seperti orang sehat, dan tidak akan memeriksakan diri atau berobat. Sampailah pada suatu ketika penyakit menjadi parah, sehingga tidak kuat lagi bekerja, dan tidak jarang berarti terlambat mendapatkan pengobatan. Petunjuk Buddha agar pikiran tidak ikut sakit sekalipun badan menderita sakit, tidak dimaksudkan untuk menunda kunjungan ke fasilitas kesehatan.
Mungkin pula seseorang merasa sakit yang secara subjektif dirasakan tidak nyaman, tetapi gejala penyakitnya sendiri tidak terbukti dalam pemeriksaan klinis. Besar kemungkinan gangguan itu bersifat mental atau kejiwaan. Dalam hal ini doa, membaca mantera dan paritta, upacara pemberkahan, memuja dan mengharapkan bantuan supernatural misal dari Bhaisajyaguru dan Avalokitesvara mungkin saja bisa menolong. Tetapi umat yang menghayati Buddha Dharma dengan tepat tidak akan menyerahkan diri kepada kepercayaan takhayul.
Doa dan segala kegiatan keagamaan tidak mengabaikan pengobatan secara medis. Sebagian petunjuk Buddha kepada Girimananda, mengemukakan antara lain udara pernapasan, perubahan cuaca atau musim, kepanasan atau kedinginan, kelaparan dan kehausan, hambatan dalam buang air, stress, dan matangnya karma seseorang dapat menjadi penyebab penyakit. Tidak disebutkan sebab-sebab penyakit yang gaib.[6]
Tindakan pengobatan tergantung pada persepsi sakit dan sebab sakit. Sakit adalah salah satu bentuk penderitaan. Berulang-ulang Buddha menyatakan; “Ia yang telah melihat derita akan dapat melihat sumbernya derita, selanjutnya pula melihat terhentinya derita dan jalan menuju terhentinya derita.”
13 April 1988
[1] Dhammapada 150
[2] Samyutta Nikaya XXII, 1:1
[3] Dhammapada 1
[4] Digha Nikaya 16
[5] Anguttara Nikaya III, 3:22
[6] Anguttara Nikaya X, 6:60