Kritik, Bukan Baru Ada Sekarang
- By admin
- April 22, 2022
- Berebut Kerja Berebut Surga
Tidak seorang pun yang menyukai, tetapi kenaikan tarif listrik menurut menteri yang berkepentingan tak dapat dihindari. Siapa saja boleh mengemukakan kritik, dan pejabat yang berwenang memberikan penjelasan sehingga rakyat tidak menjadi resah. Masyarakat tidak cukup sekadar tahu memakai listrik dan membayar, namun semestinya juga merasa memiliki. Artinya menaruh peduli pada kesulitan dan nasib PLN, apalagi yang menyangkut kepentingan negara.
Sejumlah pensiunan dikabarkan jatuh pingsan akibat antrian di tempat pembayaran di Bandung. Tentunya pula tidak seorang pun yang bermaksud menyengsarakan orang-orang tua itu. Walau seandainya masyarakat tidak mengecam, dalam kasus semacam ini petugas yang memiliki tanggung jawab dan tanggap akan segera menyadari dan memperbaiki kekurangannya. Tetapi seringkali masyarakat sempat menyorot dengan tajam menghadapi pelayanan yang mengecewakan.
“Kesalahan orang lain mudah dilihat, kesalahan diri sendiri sukar diketahui. Seseorang dapat menunjukkan kesalahan orang lain seperti menampi dedak, tetapi ia menyembunyikan kesalahan sendiri seperti seorang penjudi yang curang menyembunyikan dadu berangka sial.”[1] Orang yang bijaksana tidak mencari-cari kesalahan pihak lain, tetapi akan memperhatikan tanggapan orang lain mengenai dirinya. Orang yang bekerja melayani masyarakat, untuk kepentingan orang banyak, justru memerlukan kritik dari mereka yang dilayaninya, dalam hal-hal yang kecil sekalipun.
“Tidaklah tepat bagi orang yang arif, yang melindungi kebenaran, jika dengan mendengar atau menemukan suatu hal, kemudian menyimpulkan secara kategorik bahwa hanya inilah yang benar, sedangkan lainnya keliru.”[2] Karenanya Buddha menganjurkan keterbukaan untuk mau mendengar, menghargai, dan memahami pendapat orang lain. Kesaksian yang lain dan perenungan yang setepat-tepatnya diperlukan untuk memperoleh pengertian yang benar.
Sikap subjektif seperti suka dan tidak suka, keterikatan atau kecondongan memihak, kebencian, kegelapan batin, dan ketakutan biasanya merintangi seseorang untuk memahami kebenaran menurut apa adanya. Mengemukakan kritik, demikian pula menanggapi kritik dengan baik, sudah tentu menyingkirkan prasangka subjektif. Orang bisa mencela tanpa menghina atau menjatuhkan karena maksudnya memperbaiki, dan memuji yang patut dipuji tanpa iri hati.
Kritik dalam bentuk apa pun selayaknya disalurkan dengan cara yang tepat, tidak bersifat destruktif atau mengganggu ketenteraman dan keamanan. Orang yang terkena kritik menanggapi dengan sabar, dingin kepala, menjaga simpati, dan sedia mawas diri. Segala peristiwa tak lepas dari hukum kausalitas atau sebab akibat yang saling bergantungan.
Menghadapi caci maki dan kekerasan acapkali orang terpancing akan membalas, sehingga diumpamakan bagai orang yang meludah menentang arus angin, ludah itu akan kembali mengenai diri sendiri. Atau seperti menyapu debu bertentangan dengan arah angin sehingga mengotori diri sendiri.
Pada orang yang menyimpan dalam dirinya pikiran sebagai berikut: Ia menghina aku, ia memukul aku, ia mengalahkan aku, ia merampas milikku. Kebencian akan berlangsung terus. Sedangkan bilamana tidak menympan pikiran-pikiran semacam ini, maka kebencian akan berakhir.”[3] “Barang siapa yang dapat menahan amarah bagai mengendalikan kereta yang sedang melaju, ia layak disebut sais yang pandai. Sedang yang lain hanya memegang tali kendali belaka, sehingga tak layak disebut sais.[4]
Biksu Narada almarhum pernah mengemukakan bahwa dunia yang penuh kecaman memamerkan kesalahan atau kekurangan kita, dan cenderung melupakan kabajikan. Kecaman diibaratkannya sebagai onak dan duri yang mustahil diberantas. Maka untuk berjalan dengan aman seseorang harus menggunakan alas kaki. Orang yang menjaga dirinya dengan waspada, yang telah berbuat sebaik-baiknya, tidak akan khawatir dicela dan sebaliknya berterima-kasih atas kritik yang disampaikan oleh orang lain.
Tidak jarang terjadi, orang yang bermaksud baik dan telah berbuat baik terkena kecaman karena orang lain yang salah menafsirkannya. Orang yang berjiwa besar tidak menjadi kecil hati bila dikecam karena mereka tidaklah mencari nama atau mengharapkan pujian. Tidak pula menjadi kecewa apabila jasanya tidak diakui, karena mereka tidak membutuhkan pengakuan. “Tidaklah pernah di zaman dahulu, sekarang, atau yang akan datang ditemukan orang yang selalu dicela atau selalu dipuji.”
Kepada Atula, Buddha berkata, “Telah ada sejak dahulu, bukan baru saja ada sekarang, manusia mencela orang yang banyak bicara, juga mencela yang sedikit bicara, dan mencela orang yang duduk diam. Tak seorang pun dalam dunia ini yang tidak dicela.[5]
12 April 1989
[1] Dhammapada 252
[2] Majjhima Nikaya 95
[3] Dhammapada 3-4
[4] Dhammapada 222
[5] Dhammapada 227-228