Kwan Im (Tiongkok)
- By admin
- June 4, 2022
- Aneka Cerita dari Dunia Timur
Dahulu kala Raja Miao-Cuang memerintah Negara Hsin-lin. Ia mempunyai permaisuri yang bernama Po-ya. Mereka dikarunia tiga orang putri. Yang sulung bernama Miao-cing, yang kedua bernama Miao-yin, dan yang bungsu bernama Miao-san.
Keduanya kakaknya sudah menikah, Miao-san pun didesak oleh ayahnya untuk segera memiliki laki-laki idamannya. Tetapi putri bungsu ini menolak kehendak sang ayah. Sekalipun Raja Miao-cuang merencanakan akan menyerahkan warisan takhtanya kepada pasangan yang bungsu. Miao-san memilih jalan hidup yang berbeda. Putri ini ingin menjadi seorang rahib yang bisa menolong semua manusia. Cita-cita menjadi Buddha, juru selamat dunia.
Raja Miao-cuang tidak berhasil membujuk putrinya. Permaisuri Po-ya juga tidak mampu mengubah pendirian Miao-san. Karena murkanya, raja mengusir putrinya sendiri. Setelah meninggalkan istana, Miao-san meminta izin untuk menetap di Wihara Burung Putih. Di sana terdapat lima ratus orang biksuni.
Atas perintah raja, di wihara itu Miao-san diberikan tugas yang berat-berat. Ia harus menyapu, membersihkan wihara, menimba dan mengangkut air, mengumpulkan kayu bakar, mencari sayur-sayuran, dan memasak makanan untuk penghuni wihara. Apabila ia lalai atau tidak sanggup mengerjakannya, kepala wihara akan mengusirnya pergi.
Karena sujudnya kepada Buddha, para dewa, makhluk halus, naga, harimau, dan burung-burung membantunya bekerja. Semua biksuni terpesona dan menghormatinya. Mereka melaporkan kepada raja agar Miao-san dikembalikan ke istana. Tetapi Raja Miao-cuang sebaliknya mengirimkan lima ratus orang tentara yang ditugaskan untuk membumihanguskan wihara dan penghuninya.
Semua rahib wanita itu berdoa. Begitu pula Miao-san. “Oh Junjunganku, hamba mengikuti jejak Sakyamuni, meninggalkan istana dan segala kemewahannya. Dengan setulusnya hamba mohon rakhmat dan perlindungan.” Ia mencabut tusuk kondenya lalu menusuk langit-langit mulutnya sehingga berdarah. Darah itu disemburkannya ke langit. Tiba-tiba timbullah awan bergumpal-gumpal, dan tak lama kemudian hujan turun dengan lebatnya. Kobaran api yang membakar wihara pun padam. Semua tentara takjub dan gentar. Mereka tidak berani melanjutkan niatnya.
Raja Miao-cuang bertambah murka. Ia memerintahkan panglimanya kembali ke Wihara Burung Putih dan menangkap Miao-san. Permaisuri Po-ya membujuk lagi putrinya dengan menyelenggarakan pesta yang meriah. Karena tidak juga berhasil, maka raja menjatuhkannya hukuman mati.
Ketika saat pelaksanaan hukuman mati itu tiba, langit gelap gulita, tetapi Miao-san diliputi cahaya yang gemilang. Raja tidak membatalkan keputusannya. Algojo mengayunkan pedangnya ke leher putri itu. Tetapi pedang itu patah menjadi dua. Raja memerintahkan untuk menggantinya dengan tombak. Tombak pun senasib dengan pedang. Sedangkan Miao-san tepekur dalam doa yang khusyuk. Wajahnya ceria, tiada duka, tiada juga benci.
Raja yang angkara murka memerintahkan algojonya untuk menjerat leher Miao-san sampai sesak napas yang penghabisan. Sekonyong-konyong muncul seekor harimau besar. Semua algojo lari pontang-panting ketakutan. Harimau itu menyambar jenasah Miao-san lalu lari ke arah hutan. Ternyata harimau itu adalah penjelmaan dewa yang bermaksud menyelamatkan jenasah Miao-san.
Bagai mimpi, Miao-san melayang-layang memandang sekelilingnya. “Tempat apakah ini?” Tidak tampak matahari ataupun bulan. Tidak ada gunung, pohon-pohon, dan bangunan. Tidak terdengar suara orang, salak anjing ataupun kicau burung-burung. Sunyi sepi seorang diri. Tiba-tiba muncul di hadapannya sesosok makhluk seperti manusia tetapi diselubungi cahaya kebiruan.
“Aku datang menjemputmu atas perintah Dewa Neraka,” makhluk bercahaya itu berkata.
Maka sadarlah Miao-san bahwa ia sudah tidak berjasad lagi. Dan ia sedang menuju Neraka. Kemudian para dewa dari seluruh Neraka menyambut dan menghormatinya.
“Siapa aku ini?” tanya Miao-san. “Siapa pula kalian yang memberikan hormat kepadaku?”
Mereka menjawab, “Kami dewa-dewa Neraka telah mendengar mengenai engkau yang suci. Kalau engkau berdoa maka segala kejahatan pun lenyap. Dan kami akan amat bergembira mendengar engkau berdoa.”
“Baiklah, aku akan berdoa apabila para penghuni Neraka diberi kesempatan untuk ikut mendengarkannya.”
Ketika Miao-san selesai membaca doa. Neraka pun berubah menjadi Surga. Karena menurut hukum alam selalu harus ada Neraka selain Surga, maka dewa-dewa Neraka pun mengembalikan arwah Miao-san ke dunia. Neraka harus selalu ada untuk menghukum mereka yang telah berbuat dosa.
Maka bangkitlah Miao-san dari kematiannya. Jasadnya yang masih utuh terbaring di dalam hutan, mulai bergerak. Lalu ia duduk bersemadi. Tidak lama kemudian muncul Sri Buddha Sakyamuni.
“Nona mengapa engkau berada seorang diri di tempat seperti ini?”
Miao-san menceritakan riwayat hidupnya. Dan Sri Buddha mengajukan beberapa pertanyaan yang dijawabnya dengan baik. Akhirnya Sri Buddha memperkenalkan dirinya sendiri dan Miao-san cepat-cepat berlutut menyembahnya. Miao-san diundang untuk menyempurnakan dirinya di wihara pulau Pu-to di Annam. Seorang dewa yang menjelma sebagai harimau telah menolongnya pergi ke Annam.
Setelah sembilan tahun bertapa di pulau Pu-to, Miao-san berhasil mencapai kesempurnaan. Pada hari kesembilan belas, bulan keenam dari tahun itu para dewa mengadakan upacara memuliakannya. Terdapat dua orang muda yang membaktikan diri sebagai muridnya. Seorang rahib laki-laki bernama San-tsai dan seorang lagi wanita bernama Lung-nu.
Ada pun Raja Miao-cuang kemudian jatuh sakit. Sakitnya itu disebabkan karena hukuman dewata. Seluruh badan raja diliputi ruam dan bisul menjijikkan. Semua tabib yang tekenal tidak ada yang mampu menyembuhkannya. Sehingga raja mengadakan sayembara. Barang siapa yang berhasil mengobatinya akan diangkat menjadi ahli warisnya.
Miao-san yang arif telah mengetahui nasib ayahnya. Ia bersalin rupa menjadi seorang rahib laki-laki lalu pergi menghadap raja. Setelah memeriksanya, ia berkata kepada raja, “Maafkanlah Tuanku, obat untuk menyembuhkan Tuanku adalah ramuan yang dicampur biji mata dan tangan dari manusia yang ikhlas.”
Raja terkejut dan berteriak marah. “Jahanam, engkau mempermainkanku. Belum pernah aku mendengar obat seperti itu.”
Rahib itu diusirnya. Tetapi pada malam harinya raja bermimpi bahwa rahib itu sajalah yang bisa menyembuhkannya. Maka rahib itu dipanggil kembali ke istana.
“Katakanlah Bhante,” Raja Miao-cuang bertanya, “Bagaimana caranya untuk memperoleh ramuan obat yang aneh itu? Siapakah orang yang ikhlas mengorbankan mata dan tangannya untuk diriku?”
Rahib itu menjawab, “Tuanku utuslah beberapa menteri yang mematuhi peraturan agama ke pulau Pu-to. Di sana ada seorang petapa suci yang senantiasa menolong makhluk-makhluk yang menderita!” Dengan segera raja mengirimkan utusan ke Pu-to.
Mendengar bahwa raja bisa disembuhkan, kedua menantu raja dan beberapa menteri merencanakan usaha membunuh raja dan rahib itu. Tetapi usaha tersebut mengalami kegagalan. Dan mereka dijatuhi hukuman.
Sedangkan utusan raja kembali ke istana dengan membawa talam emas berisi sebuah biji mata dan sepotong tangan kiri manusia. Darah merahnya harum seperti wangi dupa.
“Siapakah dewa yang amat pemurah sehingga rela mengorbankan mata dan tangannya?” tanya permaisuri Po-ya. Ia amat terharu menerima persembahan untuk suaminya itu. Lalu setelah ia melihat sendiri potongan tangan itu, ia terperanjat dan meratap, “Kasihan anakku. Tangan ini… tidak salah lagi milik Miao-san tangan ini…Miao-san!” Para dayang-dayang ikut berduka.
Tetapi raja tidak percaya kepada kesaksian isterinya. “Bukankah banyak tangan manusia di dunia yang mempunyai andang-andang semacam itu?”
Kemudian rahib itu membuatkannya ramuan. Setelah diobati, penyakit raja lenyap sebagian. Bagian kiri tubuhnya sembuh sehat kembali. Tetapi bagian kanan masih penuh ruam dan bisul-bisul. Agar sembuh seluruhnya, ternyata diperlukan juga korban biji mata dan tangan yang sebelah kanan. Maka sekali lagi raja mengirim utusan ke Pu-to.
Di Pu-to, San-stai menyamar sebagai Miao-san menyambut utusan raja. Ia menyerahkan mata kanan dan tangan kanannya kepada mereka. Benar saja, ramuan kali ini telah melenyapkan penyakit raja seluruhnya.
Raja Miao-cuang mengadakan upacara menghormati tabibnya. Rahib yang juga tabib itu mengajarkan kepada raja dan pembesar-pembesar Negara Hsin-lin agar hidup sesuai dengan petunjuk agama dan mencintai seluruh rakyat. Kemudian ia pergi, melayang bersama awan lenyap di angkasa.
Setelah sadar dari kekeliruannya. Raja Miao-cuang bersama keluarga istana pergi ke Pu-to. Di sana ia membuktikkan bahwa manusia suci yang menolongnya adalah Miao-san. Anaknya bersemadi tanpa kedua mata dan tangannya. Tampaknya mengerikan sekali. Permaisuri Po-ya jatuh pingsan. Dan raja berlutut, menyembah langit serta bumi, menyesali kesalahannya.
Ketika itu juga kedua mata dan tangan Miao-san kembali utuh seperti semula. Ia bangkit mengangkat ibu dan ayahnya. Mereka semua terharu dan merasa girang. Mereka semua membaca doa syukur ke hadirat Ilahi.
Miao-san melambangkan wujud seorang bodhisattwa yang disebut Awalokiteswara atau Kwan Im. Sedemikian besar cinta-kasihnya sehingga ia bertekad tidak menikmati Nirwana sebelum jiwa setiap manusia dapat tertolong. Ia senantiasa memandang ke bawah dengan welas asih dan mendengar semua keluhan serta permohonan manusia.