Lagi-lagi Sumbangan
- By admin
- March 30, 2022
- Belajar Menjadi Bijaksana
Hari raya dan permintaan sumbangan hampir pasti erat berhubungan. Di mana-mana semua orang tahu, tidak ada perayaan tanpa biaya. Dari mana datangnya dana itu? Suatu pesta peringatan atau upacara atau apa saja namanya yang diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat, wajar mendapatkan dukungan dana dari orang banyak. Apa boleh buat, lagi-lagi datang permintaan sumbangan, kali ini menjelang Hari Raya Waisak.
Biasanya panitia perayaan mengumpulkan sumbangan dari orang-orang yang dipandang cukup berada. Orang menyumbang karena diminta, itu pun sering setelah dibujuk atau didesak. Pemberian dana yang dilakukan atas dorongan orang lain dinamakan sankhara-dana dan dinilai tidak semulia pemberian yang dilakukan atas kehendak sendiri atau asankhara-dana. Sudah barang tentu panitia yang bijaksana tidak hanya rajin meminta sumbangan, tetapi pintar menggunakan kesempatan itu untuk mendahului menyumbang tanpa memerlukan dorongan pihak lain.
Buddha mengingatkan bahwa orang yang bijaksana akan menempatkan dirinya sendiri sebagai teladan. Ia mengajar atau mengajak orang lain ikut berbuat setelah memenuhi kewajibannya sendiri. Dengan cara ini orang bijaksana itu membuat dirinya tidak ternoda.[1] Tambahan pula pemberian dana yang dilakukan dengan penuh kesadaran karena memahami benar kepentingan atau buah akibatnya (jana-dana) akan menghasilkan kemajuan batiniah.
Dana yang diarahkan hanya untuk perayaan dan habis dihamburkan semata-mata untuk memeriahkan suatu hari raya tidaklah banyak bermanfaat. Dana yang digunakan untuk pesta hura-hura, yang seronok, merangsang nafsu dan mengotori batin, jelas merupakan penyimpangan yang tercela. Hari raya memang lazim dan boleh saja dijadikan kesempatan untuk memberi dan mengumpulkan dana, tetapi tujuannya tidak terbatas untuk perayaan. Dana itu sepatutnya jauh lebih banyak disalurkan untuk membiayai usaha-usaha yang luhur, yang mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan pengetahuan, kearifan dan kesucian, meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan sosial.
Sebagai praktik mencampakkan keakuan dan keserakahan atau melepaskan belenggu kepemilikan, kewajiban berdana itu tidak membedakan golongan, kaya atau miskin. Tidak salah, yang kaya memberi banyak dan yang miskin memberi sedikit. Setiap orang memberi sesuai dengan kemampuan yang ada padanya; bisa memberi sumbangan dalam bentuk uang dan bentuk materi lain atau menyumbangkan tenaga, pikiran, dan sebagainya.
Sebagai praktik mengembangkan cinta kasih, memberi dana itu menolong orang lain yang sedang menderita kekurangan. Orang yang kaya jelas wajib menolong orang yang miskin, orang yang pintar menolong orang yang bodoh. Sehubungan dengan cinta kasih inilah orang menyumbangkan darah, mengorbankan anggota badan bahkan nyawanya untuk kebahagiaan orang lain (ajjhatika-dana). Terdorong oleh cinta kasih pula manusia memelihara dan melindungi segala bentuk kehidupan, membebaskan burung atau hewan-hewan lain dari kurungan, menebar benih ikan, dan sebagainya (abhaya-dana).
Hari raya bagi kebanyakan orang ditandai baju baru, makanan yang lebih enak dan lebih banyak, atau segala bentuk kemewahan lain. Bagaimana orang bisa bersukacita tanpa memenuhi segala kebutuhan itu? Supaya bisa ikut berhari raya dengan pantas tiba-tiba banyak orang yang kekurangan. Tidak semuanya orang yang miskin betul. Yang merasa miskin mengemis sumbangan dan yang tidak merasa miskin mengharap bingkisan. Tetapi budaya meminta untuk kepentingan pribadi mencemari makna Waisak.
Sungguh, merayakan Waisak bagi tiap pribadi umat Buddha ditandai dengan memberi, bukan meminta. Mereka yang miskin sekalipun akan memberi dana. Walaupun lagi-lagi ada permintaan sumbangan dalam rangka perayaan Waisak, dan itu tidak untuk memenuhi kebutuhan kepentingan pribadi. Buddha yang dimuliakan pada hari itu justru melepaskan segala harta dan kemewahan.
Pemberian dana tidak dibatasi hanya untuk golongan sendiri. Vacchagotta pernah bertanya, apakah Buddha tidak membenarkan pemberian dana bagi golongan lain? Jawab Buddha, “Barangsiapa menghalang-halangi orang lain memberi dana, ia membuat rintangan dan menimbulkan kegagalan dalam tiga hal. Apakah tiga hal itu? Ia merintangi seseorang yang ingin berdana sehingga gagal memperoleh pahala perbuatan baik. Ia menghalangi orang yang seharusnya menerima sehingga gagal memperoleh dana tersebut. Ia pun menjatuhkan dirinya sendiri.”
Ujar Buddha selanjutnya, “Meski orang membuang sisa makanan dari cucian periuk atau bilasan mangkuk ke dalam sebuah tambak, seraya mengharap barangkali ada makhluk hidup di dalamnya dapat memperoleh makanan, aku nyatakan perbuatan ini pun merupakan sumber dari jasa kebaikan, apalagi dana yang diberikan kepada sesama manusia. Namun adalah benar Vaccha, aku nyatakan, bahwa dana yang menghasilkan buah jasa yang benar itu bila diberikan kepada mereka yang berbudi luhur, tidak yang diberikan kepada orang yang buruk laku.[2]
“Sebenarnyalah orang kikir tidak dapat pergi ke alam dewa. Sebenarnya pula orang yang dungu tidak akan memuji kemurahan hati. Sedangkan orang yang bijaksana bergembira dengan memberi, dan karenanya ia akan mendapatkan kebahagiaan di alam kehidupannya yang mendatang.”[3]
25 Mei 1988
[1] Dhammapada 158
[2] Anguttara Nikaya, III, 6:57
[3] Dhammapada 177